Fitur / Kolega

Merebut Ruang dalam Gelap

Tune Map: Teknologi dan Inovasi untuk Tuna Netra

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Kalut dan takut.

Mungkin, begitulah kurang lebih gambaran perasaan seorang difabel ketika melakukan perjalanan di kota-kota di Indonesia seorang diri. Bagaimana tidak? Bagi saya pribadi, kondisi sistem lalu lintas kita yang carut-marut begitu menyulitkan bagi pejalan kaki, termasuk saya. Di ruas-ruas jalan, di mana trotoar tidak tersedia, saya terpaksa harus turun ke jalan raya dan berebut ruang dengan para pengguna kendaraan bermotor. Syukur-syukur jika para pengendara tersebut memahami bahwa tidak ada trotoar yang memadai bagi saya untuk berjalan sehingga saya terpaksa turun ke jalan, jika tidak, yang saya terima saya malah bunyi klakson atau sumpah serapah.

Berjalan Sendiri-sendiri

Isu-isu terkait disabilitas memang merupakan perihal yang kerap kali menjadi pokok bahasan pada diskusi mengenai inklusivitas. Untuk dapat menjalani aktivitas sehari-hari seperti kebanyakan orang, orang-orang dengan disabilitas memerlukan usaha yang “lebih”, baik dari segi biaya maupun usaha. Sayangnya, keberadaan infrastruktur dan fasilitas — yang bahkan ketersediaannya belum merata dan kondisinya yang tidak keruan — ini bisa dijadikan formalitas belaka untuk menggaungkan jargon “kota inklusif”.

Salah satu bahasan penting terkait isu disabilitas adalah kebutuhan mobilisasi. Kebutuhan tersebut muncul untuk memenuhi keperluan lain seperti bekerja, bersekolah, dan mengunjungi tenaga medis, yang baru dapat dilakukan dengan melakukan perjalanan terlebih dahulu.

Untuk melakukan aktivitas ini, perbedaan kondisi tubuh, entah fisik, psikis, dan mental, menjadikan mobilisasi sebagai sebuah tantangan tersendiri. Salah satunya, mobilisasi menjadi lebih sulit dilakukan oleh orang-orang tunanetra.

Batasan bagi orang-orang dengan disabilitas untuk dapat bergerak secara “normal” bukan hanya disebabkan oleh kondisi tubuh yang dimiliki, tetapi juga diamplifikasi oleh kondisi eksternal yang cenderung kurang bersahabat, baik dari segi fisik maupun nonfisik (Asadi-Shekari, 2012).

Bagi mereka yang memiliki kerabat yang dapat diandalkan, hal ini mungkin tidak terlalu dirasakan. Namun, bagaimana dengan orang-orang tunanetra yang hidup sendiri? Bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa berpindah tempat atau sekadar menggunakan gawai? Bagaimana agar mereka dapat hidup secara mandiri?

Tersandung, lalu Tersungkur

Kebutuhan atas infrastruktur dan fasilitas berlalu lintas yang aman begitu penting bagi para tunanetra. Ketidakmampuannya untuk melihat dan mengamati lingkungan sekitar, yang tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, sangat berpotensi menyerang “mental” teman-teman difabel dan menjadikan mereka dis-able.

Berkaca pada terminologi yang diciptakan oleh WHO terkait disabilitas, pada dasarnya terdapat tiga istilah untuk menggambarkan kondisi seseorang yang memiliki kelainan tubuh. Pertama, impairment atau kelainan yang merujuk pada kondisi tubuh yang mengalami kelainan fisik, psikis, dan mental. Kedua, disability atau ketidakmampuan yang merujuk pada kondisi tubuhnya membuat seseorang tidak mampu beraktivitas sebagaimana mestinya. Yang ketiga, handicap atau kecacatan yang merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami keterbatasan, bukan hanya dari dirinya sendiri, tetapi juga dari lingkungan di luar dirinya.

Dari pendefinisian tersebut, kita dapat memahami bahwa menjadi “tidak normal” juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dengan kondisi lingkungan dan infrastruktur yang tidak mendukung, maka perjuangan mereka untuk melakukan kegiatan sehari-hari pun semakin berat — dan berarti semakin jauh dari apa-apa yang “normal”.

Ketiadaan infrastruktur pendukung yang mumpuni di Indonesia pun ditangkap oleh Gita Nofieka, salah satu founder Tune Map, sepulangnya ke Indonesia setelah menyelesaikan studi magister di Inggris. Pada tahun 2015, Gita menyadari betapa tidak ramahnya kondisi kota-kota di Indonesia terhadap penyandang disabilitas, termasuk Kota Bandung yang menjadi kota tempat tinggal Gita.

Berdasarkan cerita Gita, ia mengikuti sebuah pelatihan yang bertajuk Tourism for All. Seperti yang tersurat dari namanya, pelatihan tersebut memuat materi pariwisata inklusif, yakni pariwisata yang diperuntukkan bagi setiap individu, termasuk teman-teman difabel.

Pada pelatihan tersebut, Gita diperkenalkan pada konsep kesetaraan yang bertitik berat pada ketersediaan fasilitas umum di ruang-ruang kota. Masih dalam konteks pariwisata untuk semua, dengan berapi-api, Gita berkali-kali menekankan bahwa konsep “untuk semua” berarti menyediakan fasilitas umum tanpa perlu membedakan antara penyandang disabilitas dan yang lainnya. Contohnya, bus khusus difabel yang belakangan ini diluncurkan Pemerintah Kota Bandung, yang menurut Gita tidak semerta-merta untuk semua orang. Konsep inklusivitas, justru tercapai apabila fasilitas-fasilitas khusus ditiadakan dan teman-teman yang tereksklusi — dalam kasus ini yang menyandang disabilitas, dapat berkegiatan secara bebas dan mandiri di kota, sebagaimana kebanyakan dari kita.

Konsep “untuk semua” berarti menyediakan fasilitas umum tanpa perlu membedakan antara penyandang disabilitas dan yang lainnya.

Melalui pengalaman Gita pada pelatihan tersebut, fasilitas rekreasi bagi para difabel di Inggris sudah begitu mumpuni. Salah satu contoh yang masih jarang diterapkan di Indonesia adalah lift penumpang di berbagai tempat di Inggris, yang mana sudah dilengkapi cermin untuk membantu tunadaksa berkursi roda.

Sementara itu, Gita melihat sebuah kondisi yang memprihatinkan terkait infrastruktur bagi teman-teman difabel di Kota Bandung. Guiding block yang (seharusnya) bermanfaat bagi mereka untuk dapat berjalan kaki dengan aman, umumnya hanya tersedia di ruas-ruas jalan tertentu dan juga memiliki kondisi yang tidak baik. Kerusakannya pun beragam, seperti keramik yang hancur berserakan dan jalur yang terhalang benda-benda solid. Kondisi ini pun nyaris seragam di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari tidak ada sama sekali, peletakan pot (yang bahkan tidak berbunga), tiang listrik, dan pohon. Tidak hanya itu, banyak pula jalur guiding block yang berakhir menuju selokan atau langsung menuju jalan raya (bukan menuju zebra cross).

Mengingat seberapa pentingnya guiding block bagi teman-teman tunanetra agar dapat bermobilisasi dengan aman, apakah peran dan fungsinya pada saat ini? Pemandu atau jebakan?

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Tune Map: Teman Berjalan dalam Gelap

Pembacaan Gita terhadap isu disabilitas di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, Gita bersama dua orang kerabatnya, Ita (Pravitasari) dan Malik (Mahdan Al Askariyy), mengajukan Tune Map pada perlombaan ide bertajuk Big Ideas Competition yang diselenggarakan oleh UNDP dan UN Global Pulse pada tahun 2016. Menurut tuturan Gita pada 17 Oktober lalu, Tune Map merupakan sebuah start-up berbasis social enterprise. Penamaan Tune Map sendiri terdiri dari padanan kata Tune dan Map, dengan “Tune” yang merupakan akronim dari tuna dan netra, dan “Map” sebagai penanda bahwa Tune Map merupakan sebuah aplikasi berbasis pemetaan.

Bagaikan sebuah gerbang masuk, Excellence Award yang diperoleh Tune Map pada kompetisi sebelumnya mengantarkan tim Tune Map ke sebuah kondisi yang sarat kesempatan. Pada tahun 2017, Gita, Ita, dan Malik berhasil menjadi juara kedua pada Youth Volunteering Impact Challenge (YVIC) ASEAN, sebuah kompetisi yang diselenggarakan oleh UN Volunteer Asia Pasific di Korea. Pada kompetisi ini, ide Tune Map dikembangkan sebagai aplikasi berbasis crowdsourcing yang mengumpulkan data dan informasi dari publik.

Melalui dana hibah yang diperoleh melalui YVIC, Gita bersama Ita dan Malik pun berpikir untuk mengembangkan Tune Map menjadi bentuk yang lebih konkrit, yakni sebuah aplikasi telepon genggam. Setelah mengalami beberapa kali iterasi, pengembangan Tune Map pun dimulai dengan mencari pasukan tambahan berlatar belakang teknologi informasi.

Sumber: Website Tune Map (tunemap.org)

Meskipun harus melalui proses riset yang cukup sulit karena ketiadaan aplikasi serupa di Indonesia yang bisa dijadikan benchmark, tim di balik layar Tune Map akhirnya berhasil membuat versi beta dari aplikasi Tune Map. Pada awal tahun 2018, tim Tune Map menyelenggarakan acara Map My Day, sebuah acara untuk menguji coba versi tersebut. Pada acara ini, Tune Map bekerja sama dengan beberapa komunitas (seperti Komunitas Pejalan Kaki dan Komunitas Aleut), termasuk komunitas tunanetra itu sendiri (KartuNet), untuk mengunjungi beberapa titik di Kota Bandung dan melakukan pemetaan. Dengan menggunakan tiga fitur, yakni report, walk tracking, dan pin tracking, para relawan bersemangat melakukan input data yang menurut salah seorang peserta, “Kaya main Pokemon Go.”

Hingga saat ini, data digital pada aplikasi Tune Map masih terus di-update. Menurut Gita, yang paling krusial adalah melengkapi data dasar, yakni data-data yang dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi teman-teman tunanetra. Data dasar terdiri dari data orientasi, yakni data yang nantinya akan berfungsi sebagai pengganti peran mata untuk melihat kondisi di sekitar kita. Melalui penuturan yang bersemangat, Gita menggambarkan bagaimana seorang tunanetra yang sedang berdiri di pinggir jalan Braga “melihat” kondisi di sebelah utara, barat, timur, dan selatan mereka, yang meliputi bangunan dan fasilitas publik.

Berani Berbagi, Sendiri Mandiri

Pada dasarnya, misi terbesar Tune Map adalah membuat tunanetra menjadi mandiri. Dengan mudahnya akses pada gawai dan integrasi fitur TalkBack, Gita dan teman-teman berharap para tunanetra tidak lagi harus bergantung pada orang lain dan tidak merasa takut untuk berjalan kaki di jalanan.

Namun, sejatinya, lingkungan eksternal tidak hanya terdiri dari lingkungan fisik saja. Menurut Gita, kesadaran kita terhadap isu ini — disabilitas, khususnya disabilitas netra — masih kurang.

Pada sebuah kesempatan, Gita pernah mencoba sebuah eeksperimen sosial. Gita berperan seakan-akan ia seorang tunadaksa, bermobilisasi di Museum Geologi menggunakan kursi roda. Pada saat melakukan hal tersebut, Gita merasakan adanya pandangan yang berbeda dari para pengunjung lain, semata-mata karena ia menggunakan kursi roda.

Selain itu, cara kita berinteraksi juga penting — khususnya terhadap teman-teman tunanetra. Keterbatasan mereka untuk melihat membuat kita seharusnya bersedia membagikan sedikit warna pada dunia mereka yang selalu gelap. Menurut Gita, yang perlu kita lakukan sesederhana mempelajari cara berbincang dengan mereka, tentang bagaimana kita “harus mau” mengalokasikan waktu dan tenaga sedikit lebih banyak untuk mendeskripsikan hal-hal secara gamblang. Setidaknya, agar mereka memperoleh visualisasi dan tidak merasa kecil karena berbeda.

Sebagai contoh, pertanyaan seperti “Masih ingatkah dengan saya?” bukanlah sebuah inisiasi percakapan yang tepat. Mereka hanya bisa mendengar, tidak bisa mengenali seperti apa rupa kita yang sedang mengajak bicara. Kita harus mau, berusaha sedikit keras dengan menjelaskan siapa kita, serta waktu dan tempat berkenalan pada waktu sebelumnya. Ini jugalah prinsip yang ditekankan oleh Gita dan kawan-kawan yang melakukan pelatihan cara-berinteraksi-yang-tidak-ofensif kepada para relawan praacara Map My Day.

Salah satu hal dasar yang menurut Gita penting adalah bagaimana kita merangkul teman-teman difabel agar menekan eksklusivitas. Melalui Tune Map, Gita, Ita, dan Malik bukan hanya mencoba merangkul, tetapi juga memberikan kesempatan bagi publik untuk turut berperan (sebagai user) dengan membagikan apa yang dilihat untuk memandu teman-teman tunanetra, agar menjadi berani dan mandiri.

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Sebagai penutup, saya pribadi terkesan dengan pengembangan Tune Map. Sebuah bukti baru bagi saya bahwa inovasi dan teknologi tidak hanya bersifat disruptif, dan seperti pada tulisan Nefertari, juga berguna sebagai katalis inklusivitas. Dengan adanya inovasi-inovasi seperti ini, bukan berarti peran pemerintah menjadi terhapuskan. Perlu terus diingat bahwa pada dasarnya, kemunculan start-up seperti Tune Map terjadi karena adanya kekosongan peran dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat — yang dalam kasus ini adalah tunanetra. Oleh karena itu, ketersediaan fasilitas yang mumpuni serta penciptaan iklim yang suportif masih menjadi tanggung jawab bagi pemerintah kota.

Terlebih lagi, bagi kita semua.

Bandung, 15 November 2018

Dinda Primazeira
Penulis
Kolektif Agora

Tulisan ini merupakan saduran atas wawancara bersama Gita Nofieka, salah satu founder Tune Map, dan riset kecil penulis. Penulis sangat berterima kasih kepada Tune Map, khususnya Gita Nofieka, yang telah bersedia untuk kami jumpai pada bulan Oktober lalu.

Referensi:

  1. Wawancara dengan Gita Noefieka, salah satu founder Tune Map, pada tanggal 17 Oktober 2018.
  2. Asadi-Shekari, Z., Moeinaddini, M., & Zaly Shah, M. (2012). Disabled pedestrian level of service method for evaluating and promoting inclusive walking facilities on urban streets. Journal of Transportation Engineering, 139(2), 181–192.

--

--