Esai / Gerak
Meretas Hijau yang Melintas
Mengangkat Kembali Perkara Batas Bawah Biaya Jasa Ojek Online
Sudah sebulan lebih tarif baru ojek online diberlakukan. Pada 1 Mei lalu, sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348 Tahun 2019 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, tarif ojek online praktis naik dengan adanya batas bawah biaya jasa.
Pemberlakuan tarif ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 22 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang disahkan pada bulan Maret lalu. Peraturan ini menjadi sebuah gebrakan, mengingat kekosongan regulasi yang cukup menahun dalam mengatur layanan ojek online. Hal ini terjadi karena terbentur UU LLAJ (22/2009) yang tidak mengikutsertakan motor sebagai kendaraan umum.
Berbeda dengan saudaranya, taksi online telah mendapatkan perhatian dengan diatur dalam berbagai peraturan. Dari mulai Permenhub Nomor 26 Tahun 2017, yang kemudian diperbaharui dengan Permenhub Nomor 108 Tahun 2017, lalu dicabut oleh MA, dan kemudian diganti lagi dengan Permenhub Nomor 118 Tahun 2018, semua peraturan ini merupakan perubahan yang berusaha menginklusikan on-demand service berbasis aplikasi dalam peraturan perundagan. Kesemuanya pun gagal menginklusikan ojek online yang menggunakan motor. Baru kali ini, dalam Permenhub Nomor 12 tahun 2019, ojek online akhirnya dapat diatur dalam hukum.
Tapi, jauh dari judulnya, persoalan harga layanan justru lebih banyak disorot dalam peraturan tentang perlidungan keselamatan ini. Sebagian karena harga memang jadi pertimbangan memilih moda, sebagian lagi mungkin karena kita tidak pernah peduli akan keselamatan?
Sebentar, apakah jangan-jangan sebenarnya pilihan kita untuk menggunakan ojek online belum juga mempertimbangkan keselamatan?
Ojek Online vs. Ojek Pangkalan
Sebelum semua kegemparan tentang ojek online, ojek “biasa” sudah lama tersedia. Berada di dekat daerah perumahan, biasanya terdapat pangkalan ojek yang melayani perjalanan dari pangkalan sampai ke depan rumah. Memenuhi kebutuhan last-mile perjalanan pulang ke rumah, bentuk seperti ini dapat ditemui nyaris di setiap kota besar di Indonesia. Di masa ojek online ini, kita biasa menyebutnya ojek pangkalan.
Penetapan harga layanan ojek didasarkan pada proses tawar menawar antara pengemudi dan penumpang. Lagipula, pada dasarnya layanan ojek adalah layanan “suka sama suka”, tidak diatur oleh hukum (mirip seperti saya yang meminta untuk diantar pulang dengan imbalan uang bensin dan rokok). Namun, model ini rawan akan penetapan harga yang semena-mena oleh pengemudi, seringkali hanya karena mereka satu-satunya pilihan yang tersedia, atau setidaknya sebelum muncul ojek online.
Pemerintah tentu tidak hadir di sini. Pasalnya, ojek bukanlah angkutan umum seperti yang diatur dalam UU LLAJ. Dan lagipula, untuk apa? Skalanya terlalu kecil untuk diatur dan ancaman keselamatan pun minim, mengingat perjalanan yang dilakukan relatif pendek dan berkecepatan rendah karena berada di dalam komplek perumahan.
Pada tahun 2015, mulai terlihat sebuah bentuk baru dari ojek. Ojek yang biasanya menunggu penumpangnya di pangkalan, sekarang dapat menjamah wilayah lain dengan bantuan teknologi informasi. Konsep ini pun mulai mendapatkan sorotan dengan muncul sebagai pencarian dengan kata kunci “motorcycle taxi” di tahun yang sama.
Dalam sistem ini, aplikasi mengambil alih proses tawar menawar antara penumpang dengan pengemudi. Sebagai gantinya, aplikasi menghubungkan pengemudi mitranya pada lebih banyak penumpang dengan sedikit imbalan. Proses tawar menawar yang diambil alih ini memberikan kebebasan pada perusahaan aplikasi untuk memberikan harga perjalanan dalam memperbesar keuntungannya.
Dalam keadaan saat ini, di mana ojek masih sangat diperlukan dan sistem ojek tradisional sudah lama dilupakan, satu-satunya yang menghalangi perusahaan aplikasi untuk memberikan harga setinggi-tingginya adalah permintaan dari penumpang. Walaupun kenyamanan ojek online tidak diragukan, hal tersebut bukan satu-satunya pertimbangan dalam memilih moda perjalanan.
Bukankah pengemudinya dapat dengan mudah meninggalkan aplikasi dan kembali nongkrong di pangkalan ojek? Pada titik ini, sudah terlalu jauh bagi para pengemudi ojek tradisional yang menjadi ojek online untuk kembali ke sistem lama, karena hilangnya kepercayaan atau bahkan asingnya konsep mencari pangkalan ojek untuk mengantar penumpang.
Keterpaksaan pengemudi untuk tetap berada pada sistem ini menyebabkan lemahnya posisi pengemudi dalam tawar menawar biaya layanan. Hal ini menimbulkan keresahan terutama ketika beban kerja dan tarif yang diberlakukan terlampau murah, bahkan untuk menutupi biaya operasi. Fenomena demonstrasi oleh pengemudi ojek online yang sering terjadi pada setahun ke belakang merupakan upaya untuk turut andil dalam penetapan biaya jasa.
Selain itu, kita tidak hanya menggunakan ojek online untuk perjalanan singkat menuju rumah saja, melainkan menggantikan sepenuhnya moda perjalanan lain. Meningkatnya jarak tempuh yang dilakukan juga berpengaruh dengan kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Apalagi, mengingat wilayah jangkauannya bukan hanya perumahan, kecepatan yang digunakan pasti juga meningkat. Dalam hal ini, pemerintah belum dapat banyak mengintervensi, terlepas dari seberapa masif dan berbahayanya ojek online. Karena, sama seperti ojek pangkalan, ojek online bukanlah kendaraan umum.
Walaupun sebenarnya sama berbahayanya dengan motor biasa, sih.
Yang Dapat Diraup dari Permenhub
Keberadaan Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat digadang-gadang menyelesaikan banyak masalah hukum tentang ojek online. Peraturan ini mengatur dua tuntutan besar dari para pengemudi ojek online: suspend dan tarif.
Dari semua keajaiban peraturan ini, yang paling fenomenal menurut saya adalah penggunaan istilah untuk mendefinisikan ojek: sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. Peraturan menteri ini tidak serta merta menginklusikan motor sebagai kendaraan umum. Alih-alih, peraturan ini hanya membenarkan bahwa terdapat layanan ojek dalam mayapada transportasi perkotaan saat ini, yang dalam keberjalanannya dapat menggunakan aplikasi ataupun tidak.
Meskipun begitu, dalam UU LLAJ, dicantumkan bahwa angkutan umum adalah angkutan yang mengangkut orang atau barang dengan bayaran. Terdengar seperti ojek? Ya, peraturan ini memang masih bermasalah.
Terlepas dari permasalahan terkait peraturan di atasnya, peraturan ini memberikan kesempatan besar pada pengemudi. Di dalamnya, diatur bahwa penentuan biaya jasa harus dilakukan sesuai pedoman penentuan biaya jasa yang harus dibicarakan dengan pemegang kepentingan. Dengan mengatur tentang sistem penentuan biaya jasa, peraturan ini memberikan jalan bagi pengemudi untuk ikut dalam penentuan harga.
Tidak hanya aspirasi, dalam penentuan harga layanan terdapat aspek-aspek yang harus dipertimbangkan, yakni penyusutan kendaraan, bunga modal, pengemudi, asuransi, pajak kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, ban, pemeliharaan dan perbaikan, penyusutan telepon seluler, pulsa, atau kuota internet, dan profit mitra. Hal ini memastikan eksploitasi kerja pengemudi oleh aplikasi tidaklah terjadi. Setidaknya, agar pengemudi dibayar dengan layak.
Peraturan ini secara praktis mengurangi kekuatan perusahaan aplikasi dalam menentukan harga. Berapa tepatnya harga yang akan diterapkan tetap merupakan kebebasan perusahaan aplikasi. Namun, harga ini haruslah mengikuti pedoman perhitungan yang mengatur mengenai tarif atas, tarif bawah, dan tarif minimal.
Pada kenyataannya, penentuan harga yang akhirnya disetujui melalui SK Menteri Perhubungan ini tidaklah dicapai dengan mudah. Debat alot antara pengemudi dan pihak penyelenggara aplikasi tentang berapa seharusnya batas bawah biaya layanan turut mewarnai penentuan harga ini.
Bagaimana dengan Peran Penumpang?
Peraturan ini terdengar sangat baik bagi pengemudi. Tapi, bagaimana dengan penumpang? Dibiarkan dalam peran skema lama, penumpang sebenarnya tidak diberikan terlalu banyak kuasa atas penentuan harga layanan. Sayang sekali memang. Tidak terlalu banyak yang bisa kita lakukan sebagai penumpang untuk menuntut harga yang murah selain berkoar di media sosial.
Bagi penumpang, peraturan ojek online ini memberikan standar layanan dengan konsekuensi kenaikan tarif. Walaupun peraturan ini juga menjamin keselamatan, peningkatan harga bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja. Dikatakan bahwa ruang gerak harga untuk ojek online hanya lima ribu rupiah per hari. Naiknya tarif ini akan mendorong sebagian orang menggunakan moda lain. Hal ini menunjukkan bahwa popularitas ojek online selama ini mungkin mengabaikan faktor keselamatan.
Harus kita akui, penggunaan on-demand transportation seperti ojek online dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Kualitas layanan ojek online juga sudah baik bahkan sebelum peraturan ini membuatnya lebih populer daripada pilihan transportasi umum kebanyakan. Jika harga ojek online naik dan pilihan transportasi umum tidak juga membaik, kita sudah tahu ke mana pilihan akan berlabuh: kendaraan pribadi. Pilihan ini diambil bukan karena lebih aman, tapi karena jauh lebih murah. Keselamatan memang tidak pernah jadi faktor utama. Karena, jika memang penting, sejak awal ojek dan sepeda motor tidak akan pernah jadi pilihan moda perjalanan yang begitu populer.
Saya setuju dengan pernyataan Dirjen Perhubungan Darat, bahwa ojek online adalah penyokong sementara tranportasi perkotaan yang belum sempurna. Namun, saya tidak yakin di mana letak peraturan menteri ini dalam mendukung hal tersebut untuk terjadi. Karena, jika benar, tidakkah seharusnya peraturan ini mengintegrasikan ojek online dengan transportasi publik?
Dalam pandangan saya, keberadaan peraturan ini tidak bertujuan untuk mengurangi animo masyarakat terhadap penggunaan ojek online. Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 ini merupakan sebuah langkah untuk mengintegrasikan ojek online dalam skena transportasi perkotaan saat ini: berusaha membuat standar pelayanan, menginklusikan hal tersebut dalam perhitungan tarif, serta meningkatkan daya tawar pengemudi dalam penentuan harga. Regulasi ini juga mampu memberikan tarif yang lebih rasional pada pemilihan ojek online, baik dari segi keselamatan maupun segi kesejahteraan pekerja. Namun, tanpa peningkatan layanan transportasi publik yang diiringi ketidakacuhan terhadap permasalahan kendaraan pribadi, peraturan ini justru dapat memperparah permasalahan transportasi yang ada saat ini.
Mungkin kita memang belum tahu bagaimana solusi paling optimal dari permasalahan ojek online saat ini. Tapi, yang jelas, tidak melakukan apa-apa juga sebuah kesalahan.
Baca tulisan lainnya oleh Nefertari Pramudhita, atau cek juga: