Transisi Transportasi: Berpikir Total Bertindak Lokal (Bagian 3: Akhir)

Kosmopolitanisme Kaum Nomad

Jaladri
Kolektif Agora
4 min readJul 17, 2018

--

Sebuah Jangkar yang Tidak Terlihat (Foto oleh: Sangkara Nararya, 2018)

Kata “kosmopolitan” yang berasal dari kata Yunani kosmopolitês (bahasa Indonesia: warga dunia), memiliki makna bahwa semua manusia, terlepas dari ras, agama, dan afiliasi politik mereka, dapat (dan seharusnya) menjadi warga negara dalam satu komunitas. Seorang kosmopolitan tidak tunduk pada otoritas agama atau politik tertentu, dan tidak bias oleh prasangka budaya atau loyalitas tertentu. Kosmopolitanisme berpendapat bahwa, di belahan bumi mana pun, kita adalah warga dunia yang tinggal di planet yang sama, tata surya yang sama, dan kosmos semesta yang sama.

Dulu, kosmopolitanisme hanyalah sebatas tatanan pola pikir. Tidak setiap orang mampu berpikir seperti ini, karena sulit membayangkan berbagai ras dan budaya yang berbeda bercampur baur dalam satu kota yang kosmopolis. Hanya beberapa profesi seperti pedagang, pelaut, dan peneliti misalnya (yang pernah mengembara ke berbagai tempat dan terbiasa melihat berbagai budaya di belahan bumi berbeda) yang mampu berpikir secara kosmopolis.

Kosmopolitanisme Jaringan Jagad Jembar

Namun, kini globalisasi memudahkan orang untuk menjadi seorang kosmopolitan. Teknologi dan informasi memudahkan kita untuk mengetahui dan memahami berbagai budaya di seluruh belahan dunia. Mayoritas penduduk dunia mulai merasakan dan mengalami menjadi warga dunia yang sama.

Kosmopolitanisme tidak lagi sekadar tatanan pola pikir, tapi mulai menjadi laku hidup beberapa orang. Akses transportasi yang menjangkau seluruh bagian dunia memudahkan orang untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Jika Anda masih melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, ada ratusan ribu orang lain, yang tiap minggu berpindah tempat kerja: musafir penuh waktu yang dalam satu tahun bisa melakukan perjalanan ke lima puluh negara. Mereka adalah kelompok baru yang disebut sebagai pengembara digital (digital nomads).

Pengembara digital bekerja tidak terikat tempat. Mereka dapat menggunakan internet nirkabel, telepon pintar, voice over IP, dan aplikasi berbasis cloud untuk bekerja dari jauh di mana mereka tinggal atau berpergian. Mereka biasanya menggunakan co-working space, kafe, ruang publik, dan kantor bersama. Landasan gerakan digital nomad adalah pekerjaan jarak jauh, yang memungkinkan orang untuk melakukan pekerjaan mereka di rumah atau melalui internet.

Gaya hidup nomaden menjadi pilihan banyak orang dalam beberapa tahun terakhir karena sejumlah faktor positif. Jangkauan konektivitas internet menjadi lebih luas, bahkan ke daerah pedesaan. Hal ini membantu orang-orang untuk melakukan perjalanan ke lebih banyak tempat. Pekerjaan yang semakin kurang bergantung pada lokasi juga berkontribusi pada kemudahan gaya hidup nomad. Tapi, faktor negatif juga menjadi alasan orang-orang menjadi pengembara digital, seperti misalnya kerusuhan politik di negara asal, biaya hidup yang tinggi di tempat tinggal sebelumnya, serta berkurangnya pekerjaan jangka panjang.

Harga Ruang Transisi Pengembara Penuh Waktu

Pilihan hidup nomaden ini bukan tanpa kekurangan. Batasan birokrasi, tidak punya pemasukan tetap, tempat tinggal tetap, motivasi yang harus lebih besar dari orang lain, dan berbagai ketidakpastian, membuat orang yang memilih jadi pengembara penuh waktu kehilangan sebagian keamanan sosial yang menjadi kebutuhan dasar banyak orang.

“Instead of an addiction to status and possessions, we are addicted to experience and novelty. And the end result is the same. Our relationships, our connections to what’s real, sometimes suffer.” -Mark Manson

Ada yang menganggap bahwa kehilangan sebagian keamanan sosial adalah harga yang layak untuk ditukarkan dengan pengalaman dan kebaruan. Banyak orang menganggap kepemilikan benda adalah fana dan pengalaman batin jauh lebih berharga. Dengan waktu kita yang terbatas, artinya kita harus memilih antara memperdalam makna pengalaman lama atau mendapatkan pengalaman baru. Hal ini seringkali mengorbankan hubungan kita dengan orang lain.

“Many of the people and places become interchangeable and you begin to wonder if that’s just because of the traveling or if that’s all human relationships and you just never noticed it before.” -Mark Manson

Kembali Menetap Setelah Mengembara

Ungkapan-ungkapan seperti “Boston is not a place; it is a state of mind” atau “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan” barangkali berasal dari pemaknaan orang-orang yang sudah mengakar pada satu tempat. Membuat tempat itu menjadi hal yang tidak dapat ditukar.

Pada pertengahan 2000-an, muncul slogan “Think globally, act locally”. Slogan yang sering dikaitkan dengan perencana kota dan aktivis sosial asal Skotlandia, Patrick Geddes. Meskipun frasa yang persis tidak muncul dalam bukunya “Cities in Evolution”, ide-ide Geddes menjadi pemantik untuk berbagai prinsip perencanaan berpikir secara global tapi diterapkan dalam konteks lokal.

“Local character’ is thus no mere accidental old-world quaintness, as its mimics think and say. It is attained only in course of adequate grasp and treatment of the whole environment, and in active sympathy with the essential and characteristic life of the place concerned.” -Patrick Geddes, 1915

Pola-pola “berpikir global, bertindak lokal” yang banyak diterapkan di akar rumput diharapkan membuat orang tidak melulu harus pergi ke luar untuk mendapatkan pengalaman yang luar biasa, atau misalnya setelah mengembara ke banyak tempat kemudian memilih kembali menetap meski bukan di tempat asalnya. Pemaknaan yang lebih dalam bahkan bisa kita dapatkan saat masih menetap di satu tempat.

Namun, berpikir global saja masih kurang. Seringkali kita perlu berpikir holistik (total, tidak sekedar mendunia) untuk dapat berkehidupan baik. Rangkaian tulisan pendek Transisi Tranportasi tentu jauh dari cukup sebagai bahan kita untuk berpikir holistik. Tapi penulis harap bisa menjadi pemantik untuk pembaca mengambil tindakan di komunitas dan kota mereka sendiri. Tindakan yang dapat terjadi di tingkat lokal dan dijalankan oleh sukarelawan dan warga kota itu sendiri.

Semoga “menetap“ bisa menjadi pilihan alternatif untuk lebih bahagia, tanpa perlu berpindah dari tempat di mana kita berada, dapat tercukupi dengan upah lebih besar dan jam kerja lebih pendek, serta lebih hidup dengan kehidupan yang apa adanya.

Referensi

--

--