Warna Hitam Ekonomi Ruang Kota

Sumber Ekonomi yang Berasal dari Sektor tak Tercatat

Kolektif Agora
Kolektif Agora
4 min readMar 5, 2018

--

Oleh: Dewa Sagita Alfadin Nur, S.T.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018

Ekonomi ruang merupakan sumber pendapatan bagi daerah yang menjadi primadona dalam memenuhi target pendapatan daerah. Dalam berbagai media cetak, struktur ekonomi daerah dibagi dalam beberapa sektor formal seperti pertanian, perkebunan, tambang, hasil laut, perdagangan jasa dan sebagainya diberi warna yang merepresentasikan sektor tersebut seperti warna hijau, kuning, jingga, merah dan warna cerah lainnya. Namun, apakah ada warna hitam?

Warna hitam identik dengan kegelapan, misteri, atau hal-hal negatif lainnya. Adapula yang menganggap hitam itu sebagai warna tegas dan lugas. Namun, mengapa warna hitam tidak digunakan mewakili salah satu sektor tersebut? Melalui tulisan ini, saya coba membagi pemikiran mengenai warna hitam yang mewakili sektor tak kasat mata dan memiliki kekuatan yang tak terbatas.

Pembangunan yang terjadi menggerakkan roda ekonomi berbagai stakeholder baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat kota itu sendiri. Penghasilan pajak yang diperoleh pemerintah kota dikatakan cukup besar. Tidak hanya pajak yang diperoleh dari izin membangun, namun pajak dari penggunaan kendaraan-kendaraan operasional juga memberikan pemasukan dari pungutan pajak kendaraan.

Kota Makassar sebagai salah satu 10 kota terbesar di Indonesia sekaligus merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini adalah sebuah kota yang bisa diibaratkan sebagai pemuda yang sangat enerjik dan memiliki kemampuan serta potensi yang luar biasa. Selain posisi strategis sebagai pintu gerbang Indonesia Timur dan dikonsepkan menuju Makassar Kota Dunia, Makassar juga memiliki berbagai sumber daya alam dan sumber lainnya yang bisa menghasilkan pendapatan asli daerah

Pembangunan seperti hotel, gedung perkantoran, dan bangunan komersil lainnya memberikan peluang ekonomi yang besar bagi masyarakat kota Makassar. Meningkatnya pendapatan membuat kemampuan daya beli juga meningkat, yang mana menyebabkan konsumsi masyarakat juga meningkat. Kendaraan baru berupa roda dua dan roda empat pun membanjiri kota Makassar sehingga berpotensi menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah kota Makassar.

Banyaknya kendaraan di jalan kota Makassar memicu kemacetan yang diakibatkan tidak adanya lahan parkir di setiap bangunan komersil sehingga pengunjung menggunakan badan jalan untuk memarkirkan kendaraan mereka. Pendapatan tukang parkir di Kota Makassar tidak bisa dikatakan kecil, bayangkan dalam 1 jam saja terdapat 10 hingga 20 kendaraan roda dua yang datang atau berganti. Jika tarif parkir Rp 2000 maka dalam 1 jam saja diperoleh Rp 20.000 hingga Rp 40.000. Jika dalam sehari parkiran tersebut aktif selama jam kantor 8 jam, maka pendapatan yang diperoleh mencapai Rp 160.000 hingga Rp 320.000. Ini hanya 1 titik parkir — bayangkan dalam skala kota yang setiap ruangnya bisa digunakan untuk parkir.

Di Jakarta, kemacetan menghasilkan kerugian ekonomi mencapai 67 triliun, nilai yang sangat besar setara APBD beberapa daerah yang diakumulasi dalam setahun. Pertanyaannya, kemana uang 67 triliun tersebut? Di balik kerugian masyarakat akibat kemacetan, tentu ada yang menerima nilai tersebut dalam kegiatan lainnya seperti penjualan mobil, kredit asuransi kendaraan, penjualan spare part kendaraan yang rusak setelah kemacetan, pembeliaan bahan bakar yang lebih banyak, dan lainnya. Untungnya, kerugian tersebut juga bisa diambil sedikit oleh pedagang asongan yang menyokong kebutuhan makan-minum masyarakat yang sedang menikmati kemacetan tersebut.

Karena apa kemacetan tersebut terjadi? Sejauh pengamatan saya, terpusatnya kegiatan di satu daerah dan tidak tersedianya transportasi massal menjadi kombinasi sempurna dalam menciptakan kerugian 67 triliun tersebut.

Dalam pengelolaan ruang, nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya bisa setara dengan emas yang ada di Papua ataupun pohon di pulau kalimantan yang ditebang. Para investor yang ingin membuka usaha tentu akan melakukan apapun untuk memuluskan perizinannya. Untuk memuluskan perizinan pun juga terdapat kegiatan ekonomi — namun secara negatif — yaitu suap kepada pejabat setempat untuk mempermudah, melanggar peraturan dan sejenisnya.

Setiap pejabat yang disuap menerima sejumlah uang. Uang tersebut tentu digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya ataupun diberikan kepada pejabat lainnya. Uang tersebut juga akhirnya memberikan manfaat kepada penjual atau penyedia jasa, atau bahkan kembali kepada negara melalui pajak atas pembelian barang-barang. Tak heran jika salah satu wakil rakyat kita di Senayan mengatakan bahwa korupsi merupakan risiko dari pembangunan. Menurutnya, dengan adanya korupsi menunjukkan bahwa pembangunan di suatu negara berjalan. Meski ia juga tak membenarkan langkah korupsi itu, dari kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan dalam hal penyediaan lahan atau manajamen tata ruang memang sangat berharga.

Kembali ke tukang parkir tadi, apakah uang yang terkumpul dari parkir tadi disetorkan kepada kas daerah? Tentu tidak semuanya. Pada kenyataannya, ruang parkir kota di Makassar tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah namun terdapat beberapa pihak yang tidak jelas atau tidak terdaftar. Uang parkir yang tidak disetorkan diambil oleh pihak lain dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti membeli minum atau makanan di supermarket.

Hal-hal tersebutlah yang dimaksud dengan warna hitam karena dilakukan dalam gelap dan tak kasat mata serta tak bisa dicantumkan secara legal dalam dokumentasi ekonomi kita. Entah apa yang menyebabkan warna hitam ini tidak disenangi oleh pihak investor dengan dalih keamanan namun mereka juga sebagian menjadi dalang dalam aktivitas ekonomi hitam ini.

Kembali ke para perencana: sejauh apa pandangan kita untuk meningkatkan ekonomi ruang? Apakah warna hitam itu dipertegas atau disamarkan dengan warna lain?

Dewa Sagita Alfadin Nur, S.T

Alumni Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Hasanuddin

Mahasiswa Program Pascasarjana SAPPK-Institut Teknologi Bandung.

--

--