Editorial

Yang Tidak Teratur dan Tidak Terukur

Membongkar Mitos “Formalisasi” Informalitas Lewat Kasus PKL

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais, 2018

“Rezeki itu ada yang mengatur,” kurang lebih begitu respon PD Pasar Bermartabat Kota Bandung terhadap fenomena kelalaian pedagang kaki lima (PKL) yang ada di Pasar Andir, Kota Bandung. Pasalnya, para PKL dinilai tidak patuh terhadap peraturan waktu berjualan. Setiap pagi di kawasan Pasar Andir, sering terjadi kecametan akibat para pedagang menduduki separuh jalan. Hal ini sering diprotes oleh masyarakat sekitar dan para “pengguna” jalan.

Protes “pengguna” trotoar juga terekam di Jalan Purnawarman. Mereka berterima kasih kepada para Satpol PP yang sudah berusaha menertibkan PKL di atas jalur pejalan kaki. “Cukup ganggu sih, kita jadinya harus turun ke badan jalan,” ujar seorang warga lokal.

Di beberapa titik lain seperti Jamika dan Cicadas, PKL juga merasa cemas karena rencana penertiban atau relokasi yang akan segera diimplementasikan Pemkot. Di satu sisi, terhitung sejak tahun 2011, sebenarnya sudah terdapat Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung yang mengatur tentang “Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima”. Berkaca pada masih tingginya aktivitas PKL, konflik di lapangan, dan keluhan warga, terdapat indikasi kesenjangan antara hukum dan penegakannya.

Di dalam Perda Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011, kita dapat menemukan sebuah kalimat menarik di bagian awal. Peraturan tersebut dibuat dengan menimbang: “bahwa pedagang kaki lima sebagai bentuk kegiatan pelaku usaha di sektor informal, keberadaannya memberikan kontribusi secara ekonomis, sosiologis, dan nilai-nilai luhur berupa kerja keras, kemandirian, keharmonisan dan kreatifitas kepada masyarakat Kota Bandung.”

Bagaimana sebuah pertimbangan ini diterjemahkan ke dalam peraturan (dan penegakannya yang “gagal”) di Kota Bandung? Apakah problematika yang mencuat saat ini merupakan hasil kesalahan dalam memahami PKL itu sendiri? Bagaimana agar “kontribusi ekonomis, sosiologis, dan nilai-nilai luhur” ini dapat dirasakan masyarakat Kota Bandung?

Selayang Pandang Perda PKL

Perda Nomor 4 Tahun 2011 merupakan peraturan yang berisi dua belas pasal, di antaranya pasal tentang kelembagaan, karakteristik PKL, penataan lokasi dan tempat usaha, serta hak dan kewajiban PKL. Salah satu pasal yang mungkin paling sering dibahas (atau paling terkenal) adalah pasal penataan lokasi dan tempat usaha, yang mana di dalamnya diatur tentang tiga zona berjualan bagi PKL: zona merah, zona kuning, dan zona hijau.

Di dalam Perda tersebut, kita juga bisa menemukan pengertian PKL. Pemerintah Kota Bandung mendefinisikan PKL sebagai “pedagang yang melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak”. Selanjutnya, fasilitas umum yang dimaksud adalah “ lahan, bangunan, dan peralatan atau perlengkapan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk dipergunakan oleh masyarakat secara luas”.

Dari pendefinisian PKL tersebut, kita dapat memahami bagaimana Perda ini kemudian dikembangkan — terutama ke dalam larangan-larangan bagi para PKL. Contohnya, PKL dilarang berjualan di zona merah (tempat ibadat, rumah sakit, komplek militer, dan lain-lain) atau fasilitas umum.

Namun, terdapat hal esensial yang tidak (dapat) didefinisikan oleh Pemkot, yakni “sektor informal”. Hal ini penting untuk dibahas, karena pada hakikatnya, sebagai sebuah bentuk informalitas dalam pertumbuhan kota, PKL mungkin memang tidak bisa diatur.

Rezeki itu Diatur Sendiri: PKL sebagai Mode Urbanisasi

Masalah “formal” dan “informal” sebenarnya adalah masalah perspektif. Sebuah restoran, meski beroperasi di tempat yang “benar” bisa jadi sedikit tidak berbeda dengan PKL. Contohnya, pada tahun 2015, terdapat sebuah kabar yang cukup mengejutkan: ribuan restoran di Bandung ternyata tidak berizin. Bicara soal pajak, restoran-restoran ini pun akhirnya menghilangkan potensi pendapatan daerah sebesar 2 miliar per tahunnya.

Maka dari itu, “informal” tidak dapat diartikan semena-mena sebagai sebuah hal yang tidak berizin, mengganggu ketertiban, dan tidak berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Informalitas harus dipahami sebagai sebuah permasalahan struktural yang diakibatkan oleh pembangunan dan pertumbuhan kota itu sendiri.

Kita masih sering menganggap bahwa hal-hal formal dan informal dalam pembangunan adalah dua hal yang berbeda. Namun, menurut Ananya Roy (2005), informalitas tidak bisa dipandang sebagai sebuah “sektor” yang terpisah dari perhitungan kegiatan ekonomi formal. Informalitas merupakan “serangkaian transaksi yang menghubungkan ekonomi dan ruang yang berbeda satu sama lain”.

Agamben (1998) dalam Roy (2005) juga berargumen bahwa informalitas merupakan sebuah bentuk kedaulatan. Informalitas adalah:

“…not the chaos that precedes order, but rather the situation that results from its suspension.”

Lantas, apakah PKL harus diformalkan? Apakah membuat PKL menjadi “sah” akan membuatnya terlepas dari jeratan informalitas?

Jawabannya untuk keduanya: mungkin.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018

Mau apapun kebijakannya, formalisasi PKL haruslah menuntaskan beberapa prasyarat, yang tak jarang menuntut kerja keras lebih dan dobrakan sistemik. Pertama, bahwa informalitas berada di ranah yang tidak bisa dijangkau pendekatan utilitarian dan nilai tukar saja. Nilai guna juga harus diperhatikan dalam memandang informalitas. Karena, informalitas bukanlah masalah hak atas properti, tapi masalah hak atas kota.

Kedua, selama informalitas tidak bisa dilibatkan dan diprediksi dalam sistem perencanaan pembangunan yang digunakan selama ini, maka implementasi produk rencana pun akan selalu terhambat oleh pertumbuhan informalitas yang dimaksud. Ruang-ruang informal sering dipandang sebagai sebuah pengecualian dalam perencanaan — mereka berada di luar kontrol. Padahal, informalitas juga diproduksi oleh institusi negara. Informalitas bukanlah objek pembangunan yang berada di luar domain perencanaan, tapi merupakan produk dari kegiatan pembangunan yang dilakukan institusi negara.

Terakhir, informalitas juga merupakan sebuah kritik yang sering diacuhkan dalam implementasi pembangunan yang berkiblat pada best practice di negara-negara berkembang. Lebih dari “konsekuensi yang tidak diinginkan”, keberadaan dan pertumbuhan PKL merupakan bukti nyata dari kegagalan dan limitasi model-model perencanaan yang diadopsi pemerintah, yang mana menjadi antitesis dalam progresivitas pembangunan di negara-negara berkembang.

Berdasarkan argumen-argumen tersebut, Roy (2005) menguatkan bahwa informalitas merupakan sebuah mode urbanisasi. Dalam hal PKL, berdagang di trotoar merupakan cara bernavigasi masyarakat kelas bawah — mereka yang tersisihkan dari mekanisme pasar dan sistem perencanaan— dalam konteks kegiatan ekonomi. Argumen ini mengisyaratkan bahwa legalisasi (atau formalisasi) ruang-ruang informal (seperti PKL) memang bukanlah masalah birokratis atau teknis saja, tetapi juga masalah perjuangan politik yang kompleks.

Baca tentang informalitas urban lebih lanjut di "Pohon dan Rizoma di Kota Kita"

Memaknai Kontribusi PKL

Lewat argumentasi tentang informalitas dari Ananya Roy, maka kita juga harus memikirkan ulang tentang kontribusi PKL yang dipertanyakan sebelumnya. Karena, selama kontribusi PKL (entah itu ekonomis, sosiologis, atau nilai-nilai luhur) tidak direfleksikan ke dalam argumen-argumen yang disampaikan di atas, maka tetap saja akan terdapat kesenjangan antara hukum, keberadaan PKL, dan keuntungan yang dirasakan masyarakat.

Meski begitu, pembuatan hukum dan kebijakan tetap menjadi langkah yang vital dalam konteks ini. Karena, kerugian “pengguna” trotoar atau jalan akibat adanya PKL (padahal masih suka makan Nasi Goreng Bistik AA di Astana Anyar) menandakan masih adanya konflik (kritik realistis) yang tidak bisa diselesaikan lewat peraturan yang sudah ada dan penegakannya. Maka dari itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami PKL sebagai keniscayaan, mode urbanisasi, sekaligus kontributor dalam perkembangan narasi pembangunan kota di Indonesia.

Karena, PKL bukanlah hal yang liyan. Mereka juga — telah menjadi dan akan terus menjadi — bagian dari perubahan kota dan kita.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between