Catatan Untuk Partai Mahasiswa dan Para Penolaknya

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
8 min readJun 21, 2022

Oleh: Rifaldi Apinio, Anggota Semar UI

Eko Pratama, Ketua Partai Mahasiswa Indonesia

Untuk mempermudah memahami isi tulisan ini, kawan-kawan dapat membaca tulisan sebelumnya yang berjudul “Mempertanyakan Relevansi Gerakan Mahasiswa: Kritik Terhadap Cacat Berpikir dalam Argumen Penolakan Partai Mahasiswa Indonesia” dan Melampaui Dikotomi-Dikotomi Gerakan Mahasiswa Indonesia.

Di tengah gejolak protes rakyat yang terjadi akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan kemunculan Partai Mahasiswa Indonesia dengan ketuanya bernama Eko Pratama. Saat kawan-kawan mahasiswa lain berjuang melalui jalur ekstraparlementer, Bung Eko dan rombongannya mengambil jalan berbeda. Ya, membentuk partai. Barangkali Bung Eko dan kawan-kawan memiliki tujuan mulia. Saya membayangkan suatu rapat rahasia yang diadakan para petinggi partial mahasiswa ini, mereka membicarakan tentang kondisi negara yang telah melenceng dari cita-cita kemerdekaan. Puncaknya, tercetuslah ide untuk membentuk partai. Saya membayangkan suatu dialog yang cukup dramatis sebelum terbentuknya partai, “Kita tidak bisa terus berjuang melalui jalur ekstraparlementer, kita harus merebut kekuasaan agar rakyat dapat hidup sejahtera, kita harus mempersatukan mahasiswa, kita bentuk partai mahasiswa!”.

Setidaknya itu yang ada dalam imajinasi saya, bisa jadi salah, bisa jadi sangat salah. Yang jelas kemunculan partai mahasiswa telah banyak menuai respons. Mayoritas memberi komentar miring. BEM SI misalnya, melalui koordinatornya memberikan tanggapan bahwa partai mahasiswa tidak boleh menggunakan embel-embel ‘mahasiswa’ karena partai tersebut dinilai tidak mewakili kepentingan mahasiswa. Mengutip CNN dari artikelnya berjudul BEM SI Tak Akui Partai Mahasiswa sebagai Wadah Perjuangan (2022), koordinator BEM SI menyebut bahwa mahasiswa tak perlu terlibat politik praktis, mahasiswa bergerak dengan mengusung idealisme dan independensi sebagai gerakan moral ekstra parlementer.

Sebelum melanjutkan pembahasan, mari kita memperluas arti “politik” dan “politik praktis”, serta membahas lebih lanjut apa itu gerakan moral ekstra parlementer. Pertama adalah politik dan politik praktis. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik memiliki tiga arti, [1] (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); [2] segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; [3] cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Kemudian adalah politik praktis. Politik praktis berasal dari dua diksi kalimat yaitu politik dan praktis. Dalam KBBI, praktis memiliki arti, yaitu [1] berdasarkan praktik; [2] mudah dan senang memakainya (menjalankan dan sebagainya). Definisi politik praktis secara eksplisit berarti semua tindakan politik yang berdampak pada masyarakat dan pemerintah. Politik praktis adalah pelaksanaan kegiatan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam rangka memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sedangkan politik praktis jika dijabarkan secara luas adalah semua kegiatan politik yang berhubungan langsung dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Kekuasaan yang dimaksud bukan merupakan jabatan, ataupun kedudukan lainnya. Kekuasaan yang dimaksud adalah wewenang dan otoritas untuk mendapatkan legitimasi dari tindakan politik yang diperbuat. Dalam artian, secara luas politik praktis bukan hanya terjadi di parlemen saja, misalnya Pemilihan Raya adalah contoh politik praktis.

Kedua adalah gerakan moral ekstra parlementer. Ekstra parlementer berarti gerakan yang dilakukan berada di luar parlemen. Gerakan moral ekstra parlementer selalu digunakan mahasiswa untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya. Gerakan ini menggambarkan peran mahasiswa sebagai seseorang yang datang ketika situasi negara kacau, dan pergi setelah situasi membaik -yang mana hal ini tidak akan pernah terjadi-. Menurut Arif Novianto (2016), gerakan ini memiliki memiliki empat batasan: pertama, menolak membangun kekuatan dengan aliansi lain untuk menjaga kemurnian gerakan; berdalih jika tidak ada ambisi pribadi atau kelompok terhadap kekuasaan; gerakan yang cenderung memberi koreksi dan memberikan peringatan; dan selalu mengkonstruksikan dirinya sebagai agen tunggal pergerakan -agent of change, iron stock, guardian of value, dll-.

Saya rasa argumen demikian tidak dapat kita gunakan untuk menolak kehadiran partai mahasiswa. Kiranya kita perlu berdialektik lebih dalam perihal partai dan mahasiswa. Kemunculan partai mahasiswa ini saya pandang sebagai suatu pikiran yang lebih maju. Bagaimana tidak? Pada saat kawan-kawan lain berjuang satu jalur melalui ekstraparlementer, para mahasiswa itu telah berpikiran untuk membentuk partai. Membuat kendaraan politik sendiri untuk merebut kekuasaan dan kelak memperjuangkan nasib rakyat luas dengan bertarung melawan partai-partai besar yang ada saat ini — ya syukur-syukur demikian adanya. Lantas, bagaimana kita menyikapi kehadiran partai mahasiswa ini? Jika argumen para elit BEM yang digunakan untuk menolak kehadiran partai mahasiswa tidak dapat diterima, argumen seperti apa yang harus kita gunakan?

Aksi Protes yang dimotori oleh Mahasiswa, sumber: Detik.com

Menggunakan Mitos Untuk Menolak Partai Mahasiswa Adalah Tidak Tepat

Telah banyak tulisan yang membahas mengenai bagaimana mitos-mitos seperti mahasiswa adalah agen perubahan, kontrol sosial, dan seterusnya, muncul. Salah satunya tulisan Suryadi Radjab berjudul Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan-Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, dalam tulisan tersebut dijelaskan secara terperinci mengenai asal-muasal mahasiswa sebagai kekuatan politik ditonjolkan. Setidaknya sebelum tahun 1965–1966 frasa “pemuda”-lah yang digunakan untuk merujuk pada kekuatan politik angkatan muda, termasuk mahasiswa, pemuda buruh, pemuda tani, dan sejenisnya. Selanjutnya, terjadi penyempitan dan terspesifikasi hanya pada mahasiswa. Kekuatan inilah yang selanjutnya terlibat dalam meruntuhkan pemerintahan Sukarno dan memuluskan agenda rezim selanjutnya (Orde Baru). Dalam tulisan Suryadi juga dijelaskan perihal bagaimana mitos-mitos dimunculkan.

Celakanya mitos yang ada diterima begitu saja, tanpa dikritisi lebih lanjut. Bahkan sampai saat ini, setelah hampir seperempat abad Orde Baru tumbang. Sempat ada upaya untuk mengikis mitos-mitos tentang gerakan mahasiswa pada era 80–90an. Namun menurut Suryadi, upaya demitologisasi tersebut dilakukan setengah hati. Saya sendiri menilai hal tersebut sudah merupakan suatu kemajuan. Disaat kampus ditimpa represi oleh Orde Baru, mahasiswa bertemu dengan hakekatnya, berjuang di luar kampus bersama rakyat tertindas.

Upaya demitologisasi tersebut ternyata tidak ada keberlanjutan, bahkan mengalami kemunduran. Hitunglah sejak tahun 80-an, saat gerakan mahasiswa dinilai telah melakukan demitologisasi yang baru setengah hati, hari ini justru gerakan mahasiswa kembali pada eksklusifitasnya. Gerakan mahasiswa memungut kembali mitos-mitos yang pernah ditinggalkan pada tahun-tahun ke belakang. Romantisme gerakan mahasiswa tampaknya terlalu berkilau jika harus dibuang ke tempat pembuangan akhir.

Singkat kata, berbagai mitos yang digunakan bahwa mahasiswa adalah gerakan moral, sosial kontrol, bla bla bla.. adalah keberhasilan Orde Baru dalam membentuk gerakan mahasiswa itu sendiri. Gerakan mahasiswa diberi “panggung” sebagai satu-satunya oposisi — kita tahu bahwa semua organisasi dikontrol negara saat itu — yang diperkenankan untuk melakukan kritik dan demonstrasi. Namun jika kritik yang dilakukan telah keluar dari “panggung” yang disediakan negara hingga mengguncang stabilitas politik, maka negara tidak segan untuk menggebuk gerakan mahasiswa.

Dengan jelas harus kita katakan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan politik bukan gerakan moral. Lewat gerakan politik maka mahasiswa dapat menentukan di mana posisi gerakan mahasiswa dalam masyarakat, kemana arah gerakan selanjutnya, dan merealisasikan apa yang dicita-citakan bersama khususnya pada perwujudan kesejahteraan rakyat tertindas. Sehingga mahasiswa tidak lagi berperan sebagai resi yang bertapa di kampus-kampus, turun gunung ketika situasi sedang kacau, dan kembali ke pertapaannya setelah tugas-tugasnya dirasa usai.

Partai Mahasiswa?

Secara umum, menurut saya, semangat para mahasiswa untuk memiliki kendaraan politiknya sendiri patut diapresiasi. Sampai di situ saja. Sisanya — yang masih sangat banyak — adalah kritik. Pertama, penggunaan embel-embel mahasiswa sebagai nama partai. Berbagai kalangan telah memberikan tanggapan terkait hal tersebut. Misalnya, yang paling fundamental adalah darimana para mahasiswa ini memiliki dana untuk membangun partai politik? Sebagai mahasiswa saya merasakan untuk makan saja terkadang sulit. Harus bertahan hidup seharian di kampus dengan uang saku yang pas-pasan, belum lagi ongkos untuk ke kampus lain jika ada konsolidasi, dan lain sebagainya. Bung Eko, dkk dengan mudah membentuk partai. Siapa sebenarnya yang mendanai pendirian partai? Apalagi untuk sampai pada tahap pemilu biaya politiknya sangat mahal. Jadi sangat tidak mungkin para mahasiswa ini patungan untuk partainya, terkecuali ada yang mensponsori. Maka itu, saran saya untuk partai mahasiswa lebih baik menggunakan nama sponsor ketimbang embel-embel “mahasiswa” sebagai nama partai. Di dunia kepanitiaan acara kampus, sponsor pasti minta untuk dicantumkan namanya bukan?

Kita ketahui bersama pula bahwa status mahasiswa hanya sementara. Terbatas pada waktu kuliah yang harus kita selesaikan. Saya rasa pimpinan partai mahasiswa harus mempertimbangkan itu. Organisasi, kepanitiaan, dan kuliah di waktu yang bersamaan saja kadang kala membuat kita sudah ruwet setengah mampus, bagaimana jika itu ditambah dengan mengurus partai dari pusat, cabang, hingga pelosok-pelosok desa. Jadi, sudahlah, tidak perlu aneh-aneh membentuk partai mahasiswa segala. Belum lagi memperdebatkan perihal landasan ideologis partai dan perjuangan ke depan.

Saya rasa hal konkret yang bisa kita lakukan adalah melepaskan jargon-jargon pada gerakan mahasiswa, menghilangkan mitos dan sekat yang ada, dan membentuk gerakan lintas sektoral. Sebab bila kita melihat kemunculan partai mahasiswa dan respon mahasiswa yang menolaknya, keduanya sama, sama-sama terkurung dalam kerangkeng eksklusifitas. Penolak partai jelas mengeluarkan argumen yang berdasar pada mitos gerakan moral, dlsb, yang membuat gerakan mahasiswa tersebut terpisah dari gerakan rakyat secara luas. Tidak memiliki posisi politik yang berimplikasi pada tidak jelas dan inkonsisten gerakan tersebut. Di sisi lain, partai mahasiswa, jangankan membaur dengan gerakan rakyat secara luas, di dalam gerakan mahasiswa sendiri saja mereka terpisah. Tidak jelas arahnya.

Kalaupun ingin berpartai, kita dapat membangun partai progresif yang memang lahir dari gerakan rakyat itu sendiri. Yang bertumpu pada kelas pekerja serta disokong oleh kekuatan rakyat lain seperti petani, nelayan, rakyat miskin kota, dan rakyat tertindas lainnya. Bersamanya gerakan mahasiswa dapat berkolaborasi untuk berjuang bersama. Lantas mengapa tumpuan kekuatannya ada di pundak kelas pekerja? Sebab merekalah kelas termaju yang ada, merekalah yang akan memimpin perubahan. Telah banyak catatan sejarah perihal perubahan yang dilakukan oleh kelas pekerja beserta sekutunya — termasuk mahasiswa — menuju kehidupan yang lebih baik. Tulisan Dicky Dwi Ananta banyak merangkum perubahan-perubahan tersebut. Dalam tulisannya berjudul Gerakan Mahasiswa: Berangkat dari Mana dan Menuju ke Mana? Menggambarkan tentang gerakan rakyat di berbagai belahan dunia ketika mahasiswa bersekutu dengan kelas pekerja, misalnya perlawanan mahasiswa yang terjadi di Amerika Latin seperti; Argentina tahun 1918, Peru 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan Bolivia 1928, Meksiko 1929, Kostarika 1930, Meksiko 1929, Kuba 1933 dan 1952. Belum lagi yang terjadi di Italia dan Spanyol tahun 1960 an. Tidak sedikit dari gerakan tersebut yang berbuah kemenangan.

Meski berbagai contoh yang diberikan adalah kasus-kasus yang terjadi di negara jauh, namun hal tersebut juga merupakan pelajaran yang dapat kita pelajari. Gerakan mahasiswa saat ini memang perlu terus belajar dan memiliki landasan teori yang kuat sebagai pondasi gerak. Termasuk pembelajaran historis dari gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia maupun negara luar. Ini menjadi penting, sebab “tak mungkin ada pergerakan revolusioner tanpa teori revolusioner”.

Referensi

Radjab, Suryadi A. Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru. Jurnal Prisma 10. Oktober, 1991. Retrieved April 27, 2022, from https://uimerakyat.wordpress.com/2011/10/08/panggung-mitologi-dalam-hegemoni-negara-%e2%80%93-gerakan-mahasiswa-di-bawah-orde-baru/

Ananta, Dicky D. 2013. Gerakan Mahasiswa: Berangkat dari Mana dan Menuju ke Mana? Retrieved April 27, 2022, from https://indoprogress.com/2013/04/gerakan-mahasiswa-berangkat-dari-mana-dan-menuju-ke-mana/

CNN Indonesia. (25 April 2022). BEM SI Tak Akui Partai Mahasiswa sebagai Wadah Perjuangan. Retrieved April 27, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220425163130-32-789456/bem-si-tak-akui-partai-mahasiswa-sebagai-wadah-perjuangan

Novianto, A. 2016. Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral. In A. Pramusinto & Y. Purbokusumo (Eds.), Indonesia bergerak 2 : mozaik kebijakan publik di Indonesia (1st ed., pp. 195–227). Institute of governance and public affairs (IGPA), 2016. Retrieved April 27, 2022, from https://www.researchgate.net/publication/311737347_Pergulatan_Gerakan_Mahasiswa_Kritik_Terhadap_Gerakan_Moral_-_Buku_Indonesia_Bergerak_II

politik. 2022. Pada KBBI Daring. Retrieved April 27, 2022, from https://kbbi.web.id/politik

praktis. 2022. Pada KBBI Daring. Retrieved April 27, 2022, from https://kbbi.web.id/praktis

Arti Kata “Politik praktis” menurut Kamus Politik — Kamus Online Maknaa.com. (n.d.). Retrieved May 25, 2022, from https://www.maknaa.com/politik/politik-praktis

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!