Mempertanyakan Relevansi Gerakan Mahasiswa: Kritik Terhadap Cacat Berpikir dalam Argumen Penolakan Partai Mahasiswa Indonesia

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
11 min readMay 23, 2022

Oleh: Azmi, Anggota Aktif Semar UI

Ilustrasi Gerakan Mahasiswa, Sumber: Detik.com

Seorang koboi datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterimakasih mencari sang koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat-pangkat atau sanjungan-sanjungan dan ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit berkuasa.

-Soe Hok Gie mengenai analogi gerakan mahasiswa

Partai Mahasiswa Indonesia (PMI) muncul ke permukaan setelah demonstrasi mahasiswa dan buruh pada 21 April lalu. Hal tersebut diketahui setelah Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menemui massa aksi dan turut mengucapkan selamat atas kehadiran PMI. Belakangan diketahui jika PMI merupakan perubahan dari Partai Kristen Indonesia 1945 yang sudah tercatat di Kementerian Hukum dan HAM sejak 21 Januari 2022 dengan Eko Pratama sebagai ketuanya. Eko tidak lain juga merupakan Ketua BEM Nusantara.[1]

Berbeda pendapat dengan Sufmi Dasco yang menyambut adanya kehadiran PMI, banyak “aktivis” dan mantan “aktivis” yang dengan menolaknya, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya kita dapat melihat dari statement Virdian Aurellio Hartono, Ketua BEM Unpad . Ia berpendapat jika keberadaan PMI hanya akan mengikis peran mahasiswa sebagai kelompok yang menjadi pressure group yang bisa mempengaruhi keputusan politik. Virdian juga menantang Ketua PMI untuk melakukan debat terbuka karena menurutnya tugas mahasiswa adalah berada di jalan, bukan di parlemen. Pendapat serupa juga diutarakan Kaharudin, Koordinator Pusat Aliansi BEM SI kubu Rakyat Bangkit. Ia berpendapat jika gerakan mahasiswa harus menjadi oposisi melalui gerakan moral. Tidak mau kalah, Ichwan Nugraha Budjang perwakilan BEM SI kubu Kerakyatan berpendapat jika peran mahasiswa itu ada lima, yaitu: agent of change, social control, moral force, guardian of value, dan iron stock, keterlibatan mahasiswa pada politik hanya akan mencederai gerakan mahasiswa.

Setali tiga uang dengan para juniornya, Ubedilah Badrun dan Fahri Hamzah, yang merupakan mantan aktivis ’98 menyatakan jika mahasiswa seharusnya terhindar dari kepentingan politik praktis[2]. Menurut Ubed, mahasiswa seharusnya menempatkan permasalahan negara melalui meja perdebatan ilmiah, bukan dengan berpolitik praktis. Sementara menurut Fahri, idealisme mahasiswa akan hilang jika berpolitik praktis. Menurutnya, gerakan mahasiswa harus bersifat sporadis, datang jika diperlukan, dan pergi setelah selesai. Menyikapi adanya PMI dan argumen-argumen diatas, saya memiliki tiga pendapat mengenai situasi ini.

Kesesatan dalam Berpikir: Kegagalan untuk Move On dari Pengaruh Orde Baru

Pertama. Saya tidak setuju dan merasa malu dengan argumen penolakan yang diutarakan oleh mereka. Bagaimana tidak? Ternyata stigma-stigma yang dicanangkan rezim Orde Baru untuk gerakan mahasiswa ternyata masih belum benar-benar hilang meskipun upaya-upaya demitologisasi sudah dilakukan. Yang menjadi ironi adalah mereka yang mendapatkan cap sebagai “aktivis” justru malah melanggengkan stigma-stigma tersebut.

Kedua. Kegagalan mereka mendefinisikan arti politik. Dalam KBBI, politik memiliki tiga arti[3]. Merujuk arti yang ketiga, “cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah”, politik sebenarnya ada di setiap sendi kehidupan. Wacana Orde Baru mengenai gerakan yang dilakukan mahasiswa harus netral adalah sesuatu yang berbahaya. Wacana tersebut juga dibarengi dengan mistifikasi-mistifikasi gerakan mahasiswa. Implikasinya adalah gerakan mahasiswa cenderung stagnan dan tertinggal dari gerakan-gerakan rakyat lainnya.

Ketiga. Sebenarnya saya kurang setuju dengan cara-cara (yang dianggap) baru seperti berunding dan menyepakati status quo dengan pihak penguasa. Menurut saya, muara dari permasalahan-permasalahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian berevolusi menjadi Oligarki, merupakan konstruksi dari Neoliberalisme yang diterapkan Indonesia pasca Orde Baru. Neoliberalisme adalah bentuk paling mutakhir dari Kapitalisme Internasional. Neoliberalisme sebagai suatu sistem hanya bisa diatasi dengan cara lama, yaitu bersatu dengan elemen rakyat lainnya untuk meruntuhkan sistemnya tanpa adanya kompromi dengan tindakan revolusioner[4]. Sebenarnya tidak masalah juga jika menggunakan cara-cara (yang dianggap) baru, namun seringkali kita terjebak dalam ilusi reformis tentang perbaikan-perbaikan Kapitalisme melalui pendekatan neo-liberal. Pasca keruntuhan rezim Orde Baru, rezim penindas tidak benar-benar runtuh. Ia bertransformasi menjadi rezim penindas baru tanpa kita sadari, dengan cara yang lebih halus. Kita dapat berkaca pada keberhasilan gerakan mahasiswa di Chile di era 2000-an yang menurut saya mereka menggunakan cara lama[5]. Gerakan mahasiswa di Chile dapat bersatu dengan elemen rakyat lainnya ke dalam gerakan sosial yang bisa dikatakan cukup berhasil merubah sistem yang ada. Menggunakan cara lama dan menyesuaikan ke kondisi saat ini menurut saya adalah jawaban yang tepat untuk permasalahan saat ini. Baca mengenai gerakan di Chile pada tautan berikut.

Ketiga hal yang disampaikan di atas memiliki muara permasalahan yang sama, mahasiswa gagal move on dari pengaruh Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, keterlibatan mahasiswa dalam gerakan-gerakan yang akhirnya menggulingkan Pemerintahan Soekarno membuat posisi politik mahasiswa semakin kuat. Orde Baru dikenal karena pemerintahannya yang otoriter. Oleh karena itu, agar stigma demokrasi di Indonesia tetap terlihat baik, maka rezim memberikan panggung untuk mahasiswa, namun dengan batasan-batasan tertentu. Dalam hal ini, kampanye anti Komunis dan pelarangan ideologi Marxisme beserta turunannya juga memiliki andil yang besar untuk membentuk kesadaran berpikir elemen-elemen rakyat lainnya. Sehingga posisi mahasiswa dalam gerakan sosial semakin kuat.

Mahasiswa dan Pelajar Chile beserta Elemen Rakyat Lainnya Menangkan Tuntutan Pendidikan Gratis. Sumber: Bumi Rakyat — WordPress.com

Mitos-Mitos dalam Gerakan Mahasiswa

Saya sendiri sebenarnya sudah sangat muak mendengar orasi-orasi progresif para ketua BEM saat aksi (kadang hanya dimanfaatkan untuk eksis di media sosial saja), debat kusir para ketua BEM dan/ jajarannya di televisi[6], berbagai aksi yang mengatasnamakan rakyat tanpa tahu apa yang sebenarnya menjadi permasalahan rakyat[7], aksi yang hanya berakhir dengan menyepakati status quo dengan penguasa tanpa adanya perubahan yang jelas, serta alunan sumpah-sumpah hipokrit yang sering dilantunkan mahasiswa[8]. Setidaknya saya mengidentifikasi lima mitos-mitos gerakan mahasiswa yang sudah sangat populer, mitos-mitos tersebut dikonstruksikan oleh negara, yaitu: agent of change, iron stock, social control, guardian of value dan moral force. Dari kelima istilah tersebut, saya yakin setidaknya setiap mahasiswa pernah mendengar dan/ atau mengetahui salah satunya. Bagaimana tidak, istilah-istilah heroik tersebut sudah diperkenalkan sejak masa mahasiswa baru . Istilah-istilah tersebut diwariskan secara turun temurun hingga menjadi mitos di kalangan mahasiswa. Misalnya di Universitas Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia (miniatur pemerintahan, pemerintahan mahasiswa), secara tersurat istilah agen perubahan dan kekuatan moral masih disebutkan.[9]

Sejarah munculnya istilah tersebut cukup panjang[10]. Singkat cerita, istilah tersebut dicanangkan oleh rezim Orde Baru untuk mengaburkan posisi politik mahasiswa. Dalam upaya mempertahankan status quo, konstruksi jika gerakan mahasiswa harus netral merupakan pelucutan terhadap gerakan yang dilakukan mahasiswa. Arief Budiman (1983) menggambarkan peran mahasiswa seperti resi dalam budaya feodal-kolonial jawa. Jika resi bertempat di lereng-lereng gunung, mahasiswa bertempat di menara-menara gading universitas. Namun alih-alih menyebutnya sebagai resi, saya lebih setuju dengan pendapat Arif Novianto (2016) yang menggambarkan gerakan yang dilakukan mahasiswa bak seorang koboi. Jika resi turun untuk memberikan saran kepada penguasa tanpa adanya aksi, seorang koboi biasanya akan membarenginya dengan pertempuran. Tetapi baik resi atau koboi memiliki kesamaan, yaitu menolak bergerak bersama kelompok lain. Dalam buku catatannya, diketahui Soe Hok Gie juga menggambarkan perjuangan mahasiswa bagaikan koboi.

Apa dampak mitos tersebut pada gerakan mahasiswa? Misalnya dalam istilah agent of change. Dari istilah tersebut saja mahasiswa sudah sombong dengan menasbihkan dirinya sebagai satu-satunya agen perubahan. Dampak yang sangat jelas terlihat dari glorifikasi-glorifikasi peran mahasiswa adalah mahasiswa menjadi angkuh. Gerakan mahasiswa cenderung stagnan bahkan tertinggal karena mahasiswa cenderung enggan bersatu dengan elemen rakyat lainnya[11]. Lihat saja, mahasiswa membawa nama rakyat tapi enggan menyatu dengan elemen rakyat lainnya. Aksi yang dilakukan cenderung eksklusif karena “baju sakti” mereka yaitu almamater, serta aksi-aksi yang cenderung performatif. Siklus gerakan mahasiswa pun sudah pasti bisa ditebak, berunjuk rasa untuk kemudian bernegosiasi tanpa ada perubahan yang jelas.

Gerakan Moral?

Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. -Soe Hok Gie

Masih menjadi perdebatan, apakah gerakan moral menjadi satu-satunya landasan utama bagi Soe Hok Gie dan teman-temannya ketika meruntuhkan rezim Soekarno. Namun, jika berkaca pada sejarah, gerakan yang dilakukan mahasiswa tidak benar-benar bebas dari kepentingan politik. Buktinya adalah mahasiswa kala itu mau bekerja sama dengan tentara karena memang tidak ada jalan lain kecuali bekerja sama dengan basis politik lain, karena Presiden Soekarno memiliki basis politik yang kuat kala itu.

Lantas, jika ada yang berkata jika gerakan mahasiswa sedari dulu itu adalah gerakan yang netral, saya rasa ia harus membaca kembali sejarah dengan benar. Terlepas dari apapun motif gerakannya, gerakan mahasiswa tidak pernah netral karena ia selalu berpihak pada kepentingan tertentu, dalam hal ini yang saya maksudkan adalah kepentingan rakyat. Sekali lagi dapat saya tegaskan, belenggu jika gerakan mahasiswa adalah gerakan yang netral, adalah usaha dari rezim Orde Baru untuk mengaburkan posisi politik mahasiswa, yang kemudian dibumbui dengan stigma “gerakan moral”.

Sekilas tentang Soe Hok Gie, ia dengan tegas menolak politik, hal tersebut diungkapkan pada buku catatannya pada 16 Maret 1964. Perkataannya bukannya tanpa dasar, kala itu politik Indonesia memang kotor. Gie telah tiga kali di undang ke Istana oleh Presiden Soekarno, tiga kali pula ia keluar dari istana dengan kekecewaan ketika melihat para menteri menjilat serta foya-foya di lingkungan istana ketika rakyat menderita. Namun ia memberikan pengecualian, jika tidak dapat menghindari maka terjunlah. Terbukti, Gie dan teman-temannya bersedia membangun aliansi dengan tentara untuk bersatu meruntuhkan rezim Soekarno.

Gie adalah salah satu aktor intelektual saat demonstrasi menentang rezim Soekarno. Mengenai analoginya yang mengibaratkan gerakan mahasiswa sebagai koboi, saya rasa kita harus menelaahnya kembali. Dalam hemat berpikir saya, Gie berpendapat demikian karena politik adalah hal yang kotor. Namun, ia juga memberikan pengecualian. Melihat keadaan pasca rezim Soekarno runtuh tidak memberikan dampak yang signifikan, tentu kita perlu menelaah kembali pemikiran Gie sebelum mengaplikasikannya. Gie adalah sosok yang tepat dijadikan role model sebagai mahasiswa, namun Gie hanyalah manusia biasa yang tak luput akan kesalahan.

Moral boleh jadi menjadi salah satu landasan gerakan, namun sekali lagi, gerakan mahasiswa harus berpolitik karena gerakan mahasiswa adalah gerakan politik! Gerakan mahasiswa adalah gerakan politik, entah jika mengatasnamakan entitasnya sebagai mahasiswa, ataupun mengatasnamakan sebagai rakyat. Oleh karena itu, tidaklah betul jika menyebut gerakan mahasiswa itu netral.

Mempertanyakan Kembali Relevansi Gerakan Mahasiswa

Dewasa ini, alih-alih membangun basis politik yang kuat dan jelas, mahasiswa justru cenderung menghindari kepentingan politik[12]. Pelanggengan mitos-mitos serta stigma jika gerakan mahasiswa harus netral dari kepentingan politik membuat gerakan mahasiswa semakin jauh dari rakyat. Gerakan mahasiswa yang berorientasi pada gerakan moral membuat gerakan yang ditimbulkan hanya menjadi penyokong status quo dan bersifat regresif [13]. Karena gerakan moral menolak untuk membangun aliansi dengan gerakan sosial lain (elemen rakyat lain) untuk menghindari kepentingan politik serta menjaga kemurnian gerakan, maka gerakan moral adalah gerakan pemecah belah (Aspinall, 2012). Permasalahan diperpelik dengan kacaunya kondisi internal dari gerakan mahasiswa, seperti aliansi yang terpecah-pecah[14], serta gerakan yang cenderung eksklusif dan performatif. Terakhir, yang mungkin menjadi ironi adalah mahasiswa hanya akan menjadi rezim penindas yang baru karena kegagalan untuk menentukan tujuan jangka panjang yang jelas.

Secara historis, mahasiswa memang terlibat dalam perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, seperti dalam perjuangan menuju dan mempertahankan kemerdekaan, keruntuhan rezim Soekarno dan Orde Baru, hingga dalam aksi #ReformasidiKorupsi. Tapi yang perlu diingat, mahasiswa bukan merupakan tokoh tunggal. Keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak luput dari peran elemen rakyat lainnya. Sudah saatnya kita berhenti mengglorifikasi peran-peran mahasiswa dan menghapuskan mitos-mitos yang ada.

Suryadi A. Radjab (1991) mengungkapkan jika gerakan mahasiswa di masa Orde Baru belum mampu melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh rezim. Implikasinya, gerakan yang dilakukan bersifat sporadis dan tidak memiliki tujuan jangka panjang yang jelas. Karena tidak memiliki tujuan jangka panjang yang jelas, terbukti orang-orang yang terlibat dalam gerakan tersebut hanya menjadi penindas-penindas baru ketika mereka duduk di pemerintahan.

Lalu dengan segala hormat, saya sangat mengapresiasi berbagai upaya yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa selama ini. Melihat realita yang terjadi, gerakan mahasiswa pasca Orde Baru masih mengikuti jejak para pendahulunya, belum bisa keluar dari batas-batas yang ditetapkan rezim untuk mengaburkan posisi politik mahasiswa dalam gerakan sosial. Dengan berbekal permasalahan-permasalahan tadi saya sangat yakin untuk bertanya, apakah gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa saat ini masih relevan? Atau mungkin, justru gerakan mahasiswa itu sendirilah yang sebenarnya menjadi akar masalah.

Catatan Kaki

[1] Saat artikel ini ditulis, BEM Nusantara terpecah menjadi dua kubu.

[2] Keduanya memang tidak secara eksplisit menolak PMI. Namun argumen yang diutarakan senada dengan argumen penolakan yang sudah dijelaskan sebelumnya.

[3] politik/po·li·tik/ n 1. (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi — ; 2. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: — dalam dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dalam bidang — , ekonomi, dan kebudayaan; partai — ; organisasi — ; 3. cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: — dagang; — bahasa nasional;

[4] Untuk melakukan gerakan revolusioner, tentu dibutuhkan teori-teori revolusioner.

[5] Indikator keberhasilan gerakan di Chile adalah tercapainya pendidikan gratis yang menjadi tuntutan utama yang diajukan. Dalam Pemilihan Umum 2021, Gabriel Boric yang merupakan aktivis kiri Chile sukses mengalahkan Jose Antonio Kast yang memiliki rekam jejak membela diktator.

[6] Saya lebih suka menyebutnya dengan debat kusir alih-alih debat akademis. Debat-debat yang dilakukan juga tidak membawa dampak nyata bagi gerakannya itu sendiri. Tindakan-tindakan tersebut hanya membuat televisi mendapatkan rating semata.

[7] Minimnya keterlibatan elemen rakyat lain adalah indikator nyata dari permasalahan ini. Bagaimana mahasiswa mengetahui permasalahan rakyat jika berbaur dengannya saja enggan? Kecuali kalau si mahasiswa memiliki kemampuan super, seperti membaca pikiran orang lain.

[8] Kenapa hipokrit? Karena apa yang dilakukan mahasiswa tidak senada dengan tindakan nyata yang dilakukan.

[9] Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Indonesia. 2015. Undang-Undang Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia Perubahan 2015.

[10] Setau saya sudah banyak literatur mengenai hal ini. Jadi mungkin saya akan membahasnya di lain kesempatan.

[11] Di kalangan mahasiswa sendiri, eksistensi gerakan mahasiswa pun semakin terasingkan. Cukup miris bukan? Dalam situasi sekarang, pergerakan mahasiswa selalu diidentikkan dengan keterlibatan BEM. Eksklusifitas ini cukup membawa andil semakin terasingnya gerakan mahasiswa di kalangan mahasiswa itu sendiri.

[12] Hal ini tidak terlepas dari kegagalan mahasiswa mendefinisikan arti dari politik, cenderung melihat politik dari arti yang sempit.

[13] Novianto, A. (2016). Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral. In A. Pramusinto & Y. Purbokusumo (Eds.), Indonesia bergerak 2 : mozaik kebijakan publik di Indonesia (1st ed., pp. 195–227). Institute of governance and public affairs (IGPA), 2016.

[14] Saat artikel ini ditulis, saya mengetahui terdapat dua kubu Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan dua kubu BEM Nusantara. Saya heran, kenapa mereka tidak jadi satu kubu saja kalau memang kepentingannya sama. Apakah ada kepentingan lain? Saya tidak tau.

Referensi

Sumber Literasi

Apinall, Edward. 2012. Indonesia: moral force politics and the struggle against authoritarianism , in Weis, Meredith L & Aspinall, Edward (ed). Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness. London: University of Minnesota Press.

Radjab, Suryadi A. Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru. Jurnal Prisma 10. Oktober, 1991. Retrieved April 27, 2022, from https://uimerakyat.wordpress.com/2011/10/08/panggung-mitologi-dalam-hegemoni-negara-%e2%80%93-gerakan-mahasiswa-di-bawah-orde-baru/

Budiman, Arief. 1983. Peranan Mahasiswa Sebagai Inteligensia, in Aswab & Natsir, Ismed (ed). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES.

Novianto, A. 2016. Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral. In A. Pramusinto & Y. Purbokusumo (Eds.), Indonesia bergerak 2 : mozaik kebijakan publik di Indonesia (1st ed., pp. 195–227). Institute of governance and public affairs (IGPA), 2016. Retrieved April 27, 2022, from https://www.researchgate.net/publication/311737347_Pergulatan_Gerakan_Mahasiswa_Kritik_Terhadap_Gerakan_Moral_-_Buku_Indonesia_Bergerak_II

Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Indonesia. 2015. Undang-Undang Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia Perubahan 2015. Depok.

Soe, H. G. 1983. Catatan seorang demonstran. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Sumber Non-Literasi

Detik.com. (2022, 21 April). Pimpinan DPR Ungkap Partai Mahasiswa Indonesia Sudah Dibentuk. (n.d.). Retrieved April 25, 2022, from https://news.detik.com/berita/d-6044539/pimpinan-dpr-ungkap-partai-mahasiswa-indonesia-sudah-dibentuk?_ga=2.119925128.1222915430.1650835382-962073792.1645075131

Detikcom. (2022, 23 April). BEM Unpad Tantang Pengurus Partai Mahasiswa Indonesia Debat Terbuka! (n.d.). Retrieved April 25, 2022, from https://www.detik.com/jabar/berita/d-6046509/bem-unpad-tantang-pengurus-partai-mahasiswa-indonesia-debat-terbuka

Tempo.co. (2022, 23 April). BEM SI Tegaskan Tak Terlibat Pembentukan Partai Mahasiswa Indonesia — Nasional Tempo.co. (n.d.). Retrieved April 25, 2022, from https://nasional.tempo.co/read/1585051/bem-si-tegaskan-tak-terlibat-pembentukan-partai-mahasiswa-indonesia

Kompas TV. (2022, 24 April). Salahi Kodrat Mahasiswa, BEM SI Tolak dengan Tegas Keberadaan Partai Mahasiswa! — YouTube. (n.d.). Retrieved April 25, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=67MQtVIzv7I

Tempo.co. (2022, 23 April). Partai Mahasiswa Indonesia Dinilai Berpotensi Memecah Mahasiswa — Nasional Tempo.co. (n.d.). Retrieved April 25, 2022, from https://nasional.tempo.co/read/1585169/partai-mahasiswa-indonesia-dinilai-berpotensi-memecah-mahasiswa

National Geographic Indonesia. (2021, 22 Juni). Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie. Retrieved April 25, 2022, from https://nationalgeographic.grid.id/read/132751843/sukarno-bukan-tanpa-cela-berkali-kali-dia-dikritik-oleh-soe-hok-gie?page=all

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!