Dunia Kita Tidak Nyata
Membahas teori “The Simulation Argument” milik Nick Bostrom
“If we are living in a simulation, then the cosmos that we are observing is just a tiny piece of the totality of physical existence… While the world we see is in some sense ‘real,’ it is not located at the fundamental level of reality.” — Nick Bostrom
Seorang ahli filsafat dari Universitas Oxford, Nick Bostrom pada tahun 2003 pernah menulis sebuah artikel akademik yang cukup mengejutkan dan membuat saya pusing memikirkannya (dan kemungkinan besar anda juga), yang berjudul: “Are We Living in a Computer Simulation?”
Namun, judul tersebut menyiratkan sebuah pertanyaan yang jauh lebih sulit untuk dijawab secara sains, yaitu “Apakah dunia ini benar-benar nyata?”
Pertanyaan yang ada di atas memang tergolong sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan bagi saya. Namun, tetap saja saya penasaran tentang apa yang membuat Nick Bostrom membuat pertanyaan tersebut. Toh, bukan manusia namanya jika tidak gemar mencari tahu.
The Simulation Argument
Pada draf “Simulation Argument”-nya, Nick Bostrom menawarkan proposisi berupa 1 dari 3 kemungkinan adalah benar:
- Semua peradaban akan punah sebelum mereka bisa mengembangkan teknologi yang dapat membuat sebuah simulasi realita.
- Jika memang ada peradaban yang mencapai kematangan dalam teknologi, tidak ada satu pun yang akan menjalankan sebuah simulasi.
- Peradaban maju memiliki kemampuan untuk membuat banyak sekali simulasi, dan bisa jadi kita ada di dalam salah satu simulasi tersebut.
Melihat kemungkinan-kemungkinan di atas, ketiganya membenarkan adanya peradaban ekstraterestrial di alam semesta seperti yang pernah saya bahas sebelumnya. Memang bisa dikatakan setiap kemungkinan yang disebutkan terasa sulit untuk diterima, tetapi masuk akal untuk kemungkinan terjadi. Proposisi itulah yang menjadi dasar dari “Simulation Argument”.
Rizwan Virk, seorang ilmuwan komputer dan perancang permainan video, menerbitkan sebuah buku berjudul The Simulation Hypothesis, yang mengeksplor lebih detail tentang teori argumen simulasi milik Nick Bostrom. Virk dalam wawancaranya dengan Sean Illing mengatakan bahwa teori ini adalah sebuah gagasan bahwa semua dunia fisik yang kita tinggali, termasuk Bumi dan alam semesta, adalah bagian dari sebuah simulasi komputer.
Sebenarnya inti dan maksud dari teori ini cukup sederhana, yaitu kita umat manusia hidup di dalam simulasi komputer dan sebagai karakternya. Dengan begitu, tentunya ada makhluk lain yang jauh lebih kuat daripada kita, berperan sebagai pemain. Jika dianalogikan, teori ini mirip dengan permainan “The Sims”. Kita sebagai karakter, makhluk lain sebagai pemain.
Latar belakang dan bukti
“The truth is that there’s much we simply don’t understand about our reality” — Rizwan Virk
Kutipan di atas merupakan salah satu alasan mengapa teori “Simulation Argument” ini muncul. Nyatanya memang banyak hal yang tidak kita mengerti tentang realita kita. Menurut Virk, banyak sekali misteri dalam fisika yang dapat dijelaskan lebih baik oleh teori hipotesis simulasi daripada hipotesis material. Virk juga mengatakan bahwa banyak bukti yang menjurus ke teori hipotesis simulasi.
Beberapa alasan lainnya tentang latar belakang teori hipotesis ini muncul mungkin juga tergolong bukti tentang kebenaran dari teori ini.
Nick Bostrom berkata bahwa jika satu peradaban mencapai titik di mana mereka bisa membuat atau menciptakan suatu simulasi dengan ketepatan yang tinggi, maka kemungkinan besar mereka membuat miliyaran simulasi.
Jika itu terjadi, maka akan lebih banyak makhluk simulasi daripada makhluk biologis. Dengan demikian, kalau kita adalah makhluk yang sadar, maka kita lebih cenderung merupakan makhluk simulasi daripada biologis. Hal tersebut memang cenderung merupakan argumen filosofis yang cocok dengan orang yang mengatakannya.
Lalu, bagaimana dengan argumen yang bukan filosofis? Tentu saja ada. Virk menyebut seorang fisikawan terkenal John Wheeler yang pernah bekerja dengan Albert Einstein. Wheeler berkata bahwa fisika telah berevolusi dari premis bahwa “segala sesuatu adalah partikel” menjadi “segala sesuatu adalah informasi”.
Wheeler juga menciptakan sebuah ungkapan yang terkenal, yaitu “It from bit” yang berarti segala sesuatu di dunia fisik berasal dari informasi atau bit. Bagi Virk, penjelasan yang lebih sederhana adalah kita berada dalam simulasi yang dihasilkan berdasarkan ilmu komputer dan informasi.
Jika kita membahas etntang bagaimana kemungkinannya, pendiri Tesla Inc. dan SpaceX, Elon Musk telah menjawabnya. Dalam sebuah konferensi, Elon Musk menyebutkan bahwa kemungkinan kita berada di realitas dasar adalah satu dari miliyaran.
Keraguan
Setiap muncul gagasan baru terutama yang sangat berlawanan dengan yang dipercaya oleh orang-orang, selalu ada pihak yang skeptis. Memang gagasan teori hipotesis simulasi ini tergolong aneh di mata banyak orang, termasuk saya. Sehingga tidak heran akan ada banyak pihak yang kontra terhadap teori yang satu ini.
Teori ini memiliki banyak sekali kekurangan. Salah satu hal paling penting adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Lisa Randall, fisikawan Universitas Harvard, yaitu “mengapa ada makhluk yang menyimulasikan manusia?”. Menyimulasikan manusia seperti menciptakan virus yang merusak komputer milik pembuat virus. Banyak sekali bukti bahwa kemajuan peradaban manusia malah semakin merusak alam. Bukankah itu menunjukkan bahwa simulasi ini hanya merugikan pembuatnya?
Belum lagi, jika memang teori simulasi ini ada, artinya makhluk yang membuat simulasi ini kita anggap sebagai Tuhan. Bagaimana tidak, salah satu ilmuwan paling terkenal yaitu Sir Isaac Newton mengakui bahwa pengendali alam semesta ini adalah Tuhan Yang Mahaagung. Inilah yang membuat saya pribadi sangat tidak setuju dengan teori hipotesis simulasi ini.
Menurut saya, teori hipotesis simulasi yang telah dibahas merupakan teori yang dibuat sebagai pengakuan terhadap keterbatasan umat manusia untuk mengungkap jutaan misteri yang ada di alam semesta ini. Meskipun saya tidak setuju dengan teori hipotesis simulasi, saya tetap membahasnya dalam artikel ini karena teori ini menggambarkan sifat manusia dan keadaan umat manusia.
Sebab, salah satu dasar dari teori ini seperti yang telah saya sebutkan yaitu banyak sekali hal yang belum kita pahami tentang realita ini, dimana hal tersebut menggambarkan bagaimana keadaan umat manusia. Kita bahkan masih belum memiliki bukti tak terbantahkan yang membuat semua manusia yakin berada pada realita yang sebenarnya, bukan pada simulasi. Dan juga teori ini menggambarkan sifat manusia yaitu suka mencari tahu, berimajinasi, dan memecahkan masalah.
Pernyataan dari seorang fisikawan, David Bohm di bawah ini saya kira bisa menjadi closing statement dan simpulan yang cocok dengan keseluruhan artikel ini.
“Reality is what we take to be true. What we take to be true is what we believe. What we believe is based upon our perceptions. What we perceive depends on what we look for. What we look for depends on what we think. What we think depends on what we perceive. What we perceive determines what we believe. What we believe determines what we take to be true. What we take to be true is our reality.” — David Bohm
Silakan tekan tombol clap kalau anda suka dengan artikel ini dan ketik di kolom response untuk menyampaikan komentar, kritik, atau saran. Bagikan artikel ini ke orang lain jika memang bermanfaat.
Terima kasih!