Manusia Dikutuk untuk Meraih Kebebasan; Kebahagiaan

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
6 min readJul 6, 2024

--

“L’homme est condamné à être libre (Manusia dikutuk untuk menjadi bebas).”– Jean-Paul Sartre.

image on pixabay

Sudah sekitar seminggu lebih aku tidak memikirkan, atau menyentuh keyboard laptop dengan tujuan menulis artikel. Sebenarnya aku begitu ingin untuk menulis, namun pikiranku beberapa minggu ini tengah berada dalam fase “beku”. Fase yang kubuat sendiri dalam menggambarkannya sebagai sebuah keadaan yang sedikit buntu ide, sedikit kehilangan motivasi ataupun kesenangan dalam menulis.

Bukan berarti aku meninggalkan sepenuhnya, namun ada pula hal-hal lain yang cukup menyita waktuku saat ini. Belakangan aku sibuk mempersiapkan berkas beasiswa ini-itu, menulis essay sebagai salah satu syarat dan banyak hal lainnya. Aku menyukai menulis, baik itu puisi, cerpen, novel yang sebetulnya belum pernah lolos penerbitan dan tentu saja artikel. Hal ini tidak akan kutinggalkan, akan tetapi sepertinya mengurangi intensitas menulisnya saja. Lagipula, sebentar lagi aku akan sibuk kuliah dan banyak tetek-bengek lain terkait kepindahanku dari rumah ke universitas.

Juni kemarin bulan yang cukup membahagiakan. Tak kusangka tulisanku yang berjudul “Kenapa ketika Jatuh Cinta, Logika dan Perasaan selalu Bertentangan?” terpilih sebagai salah satu artikel pilihan “editor monthly picks” untuk bulan Juni pada publikasi Komunitas Blogger Medium (KBM). Cukup menyenangkan kurasa. Terlebih, aku menulis artikel hanya untuk mengisi waktu luangku di sela-sela liburan masa pra-kuliah. Terima kasih Mas Bagus atas apresiasinya.

Selain itu, pada artikelku yang berjudul “Inner Child: Merawat Diri Masa Kecil dari Trauma Berkelanjutan” ternyata dibaca dan diberi claps oleh salah satu penulis kondang aplikasi Medium. Beliau adalah Uda Ivan Lanin. Aku baru saja bangun tidur siang pada saat itu dan terkejut ternyata lapak menulisku dibaca oleh beliau. Sekali lagi, cukup membahagiakan. Terima kasih sudah datang mampir Uda Ivan.

Malam ini, moodku tengah begitu baik untuk menulis. Aku rindu memperbarui artikelku dan semoga saja tulisanku di bulan ini terpilih kembali menjadi editor monthly picks. Pada kesempatan kali ini, aku ingin berbicara mengenai kebahagiaan.

Kebahagiaan ialah Subyektif

Sebenarnya, apa itu kebahagiaan? Jika mungkin kalian tanya aku, jawabannya simpel saja. Aku ingin beruntung untuk setiap keadaan yang datang, merasa cukup, dan merasa senang atas apa yang telah terjadi. Itu saja. Hal-hal sederhana seperti menghirup udara pagi ketika bangun pada awal hari, berjumpa dan berinteraksi dengan teman (benar-benar teman), bermain futsal, makan enak dan hal-hal kecil lain sudah membuatku bahagia.

Inilah benang merahnya.

Kebahagiaan pada dasarnya bersifat subyektif. Kebahagiaan seseorang tidak akan sama rasanya atau sama puasnya dengan kebahagiaan menurut orang lain. Mungkin saja orang bahagia dengan keadaannya seperti sekarang, banyak uang, segala kebutuhannya terpenuhi, atau ada orang lain yang punya kebahagiaan lain seperti punya keluarga yang harmonis, sesederhana bisa melihat senyuman orang tua, pergi menonton konser dan lain sebagainya.

Kebahagiaan mengukur suatu fenomena yang terjadi sebagai implikasi dampaknya terhadap emosi seorang individu. Kebahagiaan diukur oleh emosi, perasaan dan keadaan pikiran yang bersifat universal pada setiap manusia yang bernyawa (Caiccopo, et. al, 1999). Kebahagiaan adalah bawaan alamiah yang dibutuhkan oleh rohani setiap orang.

Lebih jauh lagi, pertanyaan soal kebahagiaan sudah menjadi bahasan kuno oleh filsuf-filsuf zaman dulu. Aristoteles bersabda bahwa kebahagiaan terletak di dalam hati dan bukan bergantung dengan kesenangan-kesenangan fisik (Fuad, 2015). Filsuf seperti Zeno, pencetus Stoikisme mengatakan bahwa konsep kebahagiaan bergantung atas upaya kita mengendalikan diri sendiri, maka oleh karena itulah ada apa yang mampu kita atur dan yang tidak kita atur (Manampiring, 2019).

Sedangkan, filsuf pencetus aliran hedonisme dan utilitarian menganggap bahwa kebahagiaan dan juga kesenangan tergantung atas upaya keras seorang individu dalam menggapai kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan sebagai landasan moral, dan itu tidak tergantung atas moral sosial yang diciptakan di dalam masyarakat. Bersenang-senang sepuasnya demi menghindari rasa sakit, seperti itulah kiranya.

Menurut Bastaman, hidup yang bermakna ialah gerbang menuju kebahagiaan sejati. Hidup yang jauh dari rasa cemas, bergairah, saling menyayangi. Hidup dengan sebaik-baiknya. Ini hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Socrates bahwa hidup untuk menuju kebahagiaan dengan cara menuju jalan kebaikan yang sebaik-baiknya demi mencapai kesenangan atas hidup yang didapat. Lain halnya pula dengan Plato bahwa kebahagiaan bukan berada di atas dunia, namun ketika roh telah terpisah oleh jasad.

Perkataan Plato mengandung unsur kebebasan. Sejatinya hidup ini mengekang, dan manusia diutus untuk mencari kebahagiaan atas hidup yang terkekang. Hidup adalah kekangan itu sendiri. Kebahagiaan datang untuk menyapa bahwasanya kita masih bisa merasa senang atas hidup dan bersyukur.

Namun sekali lagi, ini kembali atas pandangan subyektif. Jika saja ditarik dalam ilmu neurosciences, kebahagiaan bisa didefinisikan sebagai reaksi kimiawi otak ketika mendapatkan asupan dopamine dari bagian Ventral Tagmental Area (VTA).

Namun pertanyaannya ialah, apakah kita cukup bahagia atas hidup kita? Kebahagiaan yang penuh itu seperti apa?

Manusia Dikutuk untuk Bebas

Jean-Paul Sartre (image on qz)

Manusia membutuhkan eksistensialisme untuk hidup. Manusia membutuhkan kebebasan, manusia tidak ingin dikekang. Manusia menuntut kebahagiaan mutlak yang terbebas dari belenggu-belenggu. Manusia sejatinya dikutuk untuk bebas.

Pandangan mengenai eksistensialisme manusia dikembangkan oleh salah seorang filsuf asal Perancis, yaitu Jean-Paul Sartre. Manusia hanyalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran akan hidup dan pembebasannya. Hanya manusia sendirilah yang memiliki eksistensi. Di dalam dunia yang mewujudkan keeksitensialisme manusia, pandangan bahwa pembelengguan itu kerap terjadi dan begitu kompleks. Manusia tidak lahir sama dengan yang lainnya, berbeda dengan segala jenis keadaan dan pilihan yang terjadi. Situasi ini menjadi begitu kacau, beradu satu dengan yang lain, mengaburkan kebahagiaan di hati manusia dan menghilangkan eksistensi manusia.

Manusia membutuhkan data yang konkrit akan dirinya sendiri. Manusia butuh eksistensi yang membuatnya tampak hidup. Manusia tidak akan mencapai kebahagiaan mutlak jika keeksistensialisme itu redup, dirampas, dibelenggu dan tidak tercapai.

Seumur hidup, manusia membutuhkan harapan dan kebahagiaan agar tetap mampu bersaing satu sama lain. Terkadang pula manusia membenci setengah mati dengan sesama, berharap hal-hal buruk, kematian, sakit dan banyak hal lain yang mengutuki. Manusia penuh akan kompleksitas yang mengungkit kebahagiaan agar diwujudkan dalam ranah keeksistensialisme dirinya.

Sartre berpendapat bahwa kesadaran merupakan suatu hal paling istimewa yang dimiliki oleh manusia. Manusia mampu berpikir akan dunia, bertanya-tanya, berpendapat. Dengan kesadarannya atau etre-pour-Soi, manusia diharapkan tidak terjatuh ke dalam lubang ketidaksadaran yang mengaburkan kebebasan. Manusia lagi-lagi membutuhkan kebebasan.

Kebebasan dan kebahagiaan yang diwujudkan dari eksistensialisme manusia dan pandangan subyektif atas konsep-konsep yang menyenangi diri berjalan begitu kompleks. Manusia merupakan makhluk yang rumit. Ya, kau dan aku memang begitu.

Manusia dengan segala ide, pemikiran, filosofi, pandangan, harapan, mimpi, kebahagiaan dan kebebasan akan membuatnya tetap hidup serta eksis di dunia yang terdampar di hadapan mereka.

Ya, lagi-lagi kau dan aku dikutuk untuk meraih kebebasan; kebahagiaan.

Meraih Nilai Manusia yang Seutuhnya

Dalam banyak tulisan aku selalu menyebut bahwa manusia seharusnya bertumbuh menjadi seseorang yang benar-benar manusia dan memanusiakan manusia lainnya. Kebahagiaan hidup dan kebebasan bergantung di sini.

Kita sebagai makhluk berkesadaran mestilah mempunyai nilai memanusiakan di hati masing-masing. Seluruh pengajaran inilah yang membuat kita tetap dianggap sebagai manusia, bukannya hewan yang tanpa akal dan berbuat semaunya.

Hiduplah sebaik-baiknya dan menjadi manusia yang berguna.

Bahagiakan diri sendiri, bebaskan jiwa yang tersakiti. Semoga kau dan aku selalu bahagia atas apa yang telah tercapai saat ini dan tidak lupa untuk bersyukur.

Pikiranku jatuh dengan salah satu lagu yang menjadi favoritku. Lagu ini selalu kuputar tiap hari, menunggu hari-hari malam, membaca, banyak hal. Lagunya ialah Untuk Apa/Untuk Apa? oleh Hindia. Salah satu liriknya begini, terlepas apa yang engkau percayai, tetap takkan ada yang dibawa mati, menimbun surga yang tak bisa dibagi, akhirnya pun wafat sendiri-sendiri. Begitu dalam maknanya.

Hidup memang singkat dan teruslah berbuat baik.

Setiap kita akan meraih konsekuensinya masing-masing.

Thanks sudah membaca dan sekali lagi, Peace!

Sumber:

Andreas, B., & Z, Semir. (2004). The Neural Correlate of Material and Romantic Love. Neurolmage, 21, 1155–1166.

Caiccopo, J.T., et, al. (1999). The Affect System has Parrallel and Integrative Processing Components: Form Follows Function. Journal of Personality and Social Psychology, 76, 839–855.

Fatiqasari, A., M., & Ediyono, S. (2023). Konsep Kebahagiaan dalam Kacamata Filsafat. Universitas Sebelas Maret.

Manampiring, Henry. (2019). Filosofi Teras. Penerbit Kompas.

Reza Fahlevi, et. al. (2022). Psikologi Positif. Penerbit Global Eksekutif Teknologi.

Tambunan, F., S. (2016). The Freedom of Human’s Individualism in The Tweenthieth Century: Sartre’s Philosophy of Existencialism. Pusat Penelitin Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI.

--

--