Menguak Kesalahpahaman Kita tentang Dunia

Pelajaran dari salah satu buku terpenting menurut Bill Gates

riffatar
Komunitas Blogger M
6 min readApr 24, 2021

--

Photo by Greg Rosenke on Unsplash

Bagaimana keadaan dunia saat ini? Apakah dunia sekarang lebih baik atau lebih buruk? Silakan kamu jawab pertanyaan tersebut menurut pandangan masing-masing terlebih dahulu sebelum membaca artikel ini lebih lanjut.

Tentunya hanya ada 2 kemungkinan jawaban dari pertanyaan di atas, lebih baik atau lebih buruk. Namun, jika saya mengacu pada hukum entropi, hukum yang menyimpulkan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki kecenderungan untuk menuju ketidakteraturan, saya prediksi bahwa sebagian besar pembaca akan menjawab dunia masa sekarang lebih buruk daripada masa dahulu. Tetapi, apakah hukum entropi berlaku untuk segala hal di dunia saat ini? Dan yang paling apakah yang selama ini kita pikirkan terhadap dunia itu benar?

Untuk memuaskan rasa ingin tahu, saya berusaha mencari jawabannya lewat buku Factfulness yang ditulis oleh Hans Rosling, Ola Rosling, Anna Rosling Rönnlund. Tentunya saya tertarik dengan buku ini karena opini Bill Gates yang terpampang di sampul depan buku ini

“One of the most important books I’ve ever read — an indispensable guide to thinking clearly about the world.” Bill Gates

Buku “Factfulness” karya Hans Rosling, Ola Rosling, Anna Rosling Rönnlund.

Hasilnya? Saya sangat puas dengan jawaban yang saya dapat dari buku ini. Seperti yang saya singgung di artikel saya sebelumnya, isi dari buku ini berdasarkan fakta dan data dan menariknya beberapa di antaranya merupakan fakta yang belum banyak diketahui oleh orang-orang, termasuk saya. Tidak hanya itu, banyak anggapan keliru kita terhadap dunia yang diluruskan di buku ini.

Setelah sebelumnya saya membahas tentang kesalahpahaman kita tentang isu overpopulasi, kali ini saya akan membahas beberapa penyebab kita salah paham terhadap dunia (yang menurut saya paling penting dan krusial untuk diketahui) yang saya peroleh dari buku Factfulness .

Hukum entropi

“Hukum entropi” pada buku Factfulness tidak pernah disebutkan sama sekali. Di Factfulness, Hans Rosling menyebutnya sebagai The Negativity Instinct, yang artinya insting manusia yang memandang bahwa segala sesuatu di dunia selalu memburuk. Saya menggantinya dengan istilah “hukum entropi” karena saya pikir memiliki makna yang sama dengan “The Negativity Instinct”.

Saya sebenarnya sangat setuju dan percaya dengan keniscayaan hukum entropi. Namun pada Factfulness, saya baru mengetahui bahwa tidak semua hal yang ada di dunia ini sedang menuju ketidakaturan atau dengan kata lain memburuk. Banyak sekali hal yang saat ini sedang membaik, contohnya pada isu overpopulasi yang pernah saya bahas dan masih banyak lagi yang disebutkan di Factfulness.

Saya tetap percaya (dan anda juga boleh tetap percaya) pada hukum entropi setelah mengetahui hal tersebut. Namun, yang ingin saya garis bawahi adalah jangan sampai keyakinan atau kepercayaan kita terhadap hukum entropi membuat kita mengabaikan berbagai kemajuan yang ada di sekeliling kita. Hal itulah yang seringkali membuat kita menjadi keliru dan menjadi pesimis dalam memandang dunia. Saya menganggap bahwa adanya berbagai kemajuan di dunia ini merupakan upaya manusia untuk menunda atau memperlambat terjadinya entropi.

Menariknya, Factfulness juga membahas pertanyaan yang mungkin ada di benak para pembaca saat ini, yaitu “Mengapa media lebih sering memberitakan berita negatif daripada berita kemajuan yang ada di sekitar kita?”. Buku ini menjawab bahwa media mengetahui bahwa manusia memiliki “The Negativity Instinct”, dan memanfaatkannya untuk menarik lebih banyak audiens, penonton, atau pembaca. Jadi, jika media lebih banyak menyajikan berita yang positif daripada negatif, tentu mereka akan kehilangan konsumen mereka.

Lalu, apa solusi yang bisa kita terapkan untuk mengontrol “The Negativity Instinct” yang kita miliki? Yang pertama adalah berekspektasi bahwa media akan menyajikan berita negatif (karena untuk kepentingan mereka). Kedua, sadari bahwa sesuatu bisa dikatakan buruk, tetapi lebih baik daripada sebelumnya. Dengan kedua cara itu, kita bisa mengontrol “The Negativity Instinct” kita dan juga menjadi lebih aware terhadap kemajuan di sekitar kita.

Ketakutan vs bahaya

Kita tentu pernah mengalami ketakutan terhadap suatu bahaya. Sifat takut pada manusia terhadap suatu objek atau bahaya disebut dengan The Fear Instinct oleh Factfulness. Sayangnya, banyak sekali apa yang kita takuti berasal dari media. Alasannya tentu saja untuk mendapatkan perhatian seperti yang terjadi pada “The Negativity Instinct” kita.

Yang menarik sekaligus menyedihkan adalah dalam beberapa kasus korban yang diakibatkan ketakutan terhadap suatu bahaya lebih banyak daripada korban dari bahaya itu sendiri. Kasus contohnya adalah ketika timbul ribuan korban jiwa akibat melarikan diri menghindari kebocoran radioaktif karena tsunami di Fukushima, sedangkan tidak ada korban jiwa sama sekali akibat apa yang menyebabkan mereka melarikan diri, yaitu kebocoran radioaktif. Atau bahkan suatu masalah yang tidak kita takuti terkadang malah lebih berbahaya daripada masalah yang sangat kita takuti. Salah satu contohnya adalah fakta bahwa di AS, jumlah rata-rata korban jiwa akibat pemabuk per tahun 50 kali lebih banyak daripada jumlah rata-rata korban jiwa akibat teroris per tahun. Ironis, bukan?

Bagaimana cara kita agar bisa mengendalikan “The Fear Instinct”? Ketika suatu bahaya yang menakutkanmu datang, pertama kali yang harus dilakukan adalah buat keputusan seminimal mungkin karena ketika ketakutan melanda, kita memandang dunia dengan berbeda (terapkan itu hingga rasa panik telah surut). Lalu, kita bisa mengkalkulasi seberapa besar risiko bahaya yang kita hadapi untuk dapat menentukan tindakan manakah yang pantas untuk menghadapi bahaya tersebut.

“There’s no room for facts when our minds are occupied by fear.” Hans Rosling

Mencari kambing hitam

Dalam kehidupan sehari-hari, berbagai masalah datang di hadapan kita, baik itu masalah yang sangat sepele hingga masalah yang bikin gak bisa tidur. Nah, saat menghadapi masalah demi masalah, seringkali kita mencari kambing hitam dari masalah yang kita hadapi. Insting manusia yang mencari solusi sederhana yang jelas tentang mengapa sebuah masalah muncul dengan mencari kambing hitam disebut The Blame Instinct.

Mungkin beberapa pembaca sekarang ini sudah menggunakan “The Blame Instinct” untuk menyalahkan media, karena mereka bertanggung jawab atas kesalahpahaman kita terhadap dunia. Tindakan tersebut bisa dibilang tidak sepenuhnya benar.

Mengapa?

Karena orang-orang yang ada di media seperti jurnalis, mereka sebenarnya tidak lebih tahu tentang dunia daripada kita.

Factfulness pada salah satu halamannya menyajikan data terkait survei tentang fakta yang ada di dunia terhadap para jurnalis, dan hasilnya pengetahuan mereka terhadap dunia tidak jauh beda dengan kita. Jadi, mereka hanya menggunakan insting dramatis kita hanya untuk menarik perhatian, bukan ingin membohongi kita.

Ada satu contoh lagi (bukan bersumber dari buku Factfulness) terkait kekeliruan kita dalam memahami dunia karena “The Blame Instinct” yang tidak kalah fatal. Di era maraknya media sosial, banyak sekali polarisasi yang terjadi di dunia maya. Polarisasi ini mengakibatkan kita hanya mengonsumsi konten dari sumber yang kita suka, bukan dari sumber yang kita butuhkan atau sumber yang menyajikan fakta.

Jika sumber favorit kita berkata bahwa si A atau seseorang merupakan biang keladi suatu masalah, maka seringkali kita juga langsung setuju dan menyalahkan si A. Padahal, kenyataannya belum tentu seperti itu. Akibatnya, “The Blame Instinct” yang kita punya membuat pandangan kita terhadap sesuatu menjadi keliru dan bisa jadi menimbulkan masalah-masalah baru akibat kekeliruan kita.

Kedua contoh yang saya berikan di atas memang membuat kita berpikir bahwa “menyalahkan” atau “blame” bukanlah solusi yang tepat ketika menghadapi suatu masalah. Untuk mengontrol “The Blame Instinct”, yang paling penting adalah berhenti untuk mencari kambing hitam dari suatu masalah.

Fokus dan analisis suatu masalah secara objektif, karena tidak jarang suatu masalah terjadi bukan karena seseorang atau suatu pihak tertentu, melainkan sebuah sistem atau bahkan akibat diri kita sendiri.

Penutup

Dari penjelasan yang saya tulis, bisa disimpulkan bahwa kita wajib memiliki fact-based worldview atau pandangan terhadap dunia berdasarkan fakta. Jika kita menerapkan fact-based worldview dalam kehidupan sehari-hari, maka kita bisa terhindar dari kesalahpahaman atau miskonsepsi terhadap dunia yang kita tinggali.

Ada satu kalimat penutup dalam buku Factfulness yang menurut saya menyimpulkan seluruh isi buku tersebut dan bisa juga menjadi jawaban yang menurut saya paling tepat untuk sejumlah pertanyaan yang menjadi pembuka artikel ini, yaitu:

“When we have a fact-based worldview, we can see that the world is not as bad as it seems — and we can see what we have to do to keep making it better.”

Kalimat di atas juga memiliki makna tersirat bahwa Hans Rosling (penulis Factfulness) bukan orang yang optimis, tetapi possibilist, yaitu orang yang melihat semua kemungkinan berdasarkan progres yang ada, bukan hanya sekedar angan-angan saja.

Penjelasan saya di atas merupakan sebagian kecil bahasan tentang miskonsepsi kita terhadap dunia yang saya baca di dalam buku Factfulness.

Jika kamu masih tertarik untuk menguak lebih banyak kesalahpahaman kita terhadap dunia, kamu bisa membaca buku Factfulness baik dalam bentuk buku cetak atau e-book secara legal (saya sarankan agar membaca versi bahasa Inggris karena bahasanya cukup mudah dipahami dan lebih orisinal).

Silakan tekan tombol clap kalau kamu suka dengan artikel ini dan ketik di kolom response kalau kamu ingin menyampaikan komentar, kritik, dan saran.

Thank you!

--

--