Nawala KBM #22

Menulis, Berkarya dan Ekspresi Seni

Bagus Ramadhan
Komunitas Blogger M
Sent as a

Newsletter

3 min readFeb 6, 2024

--

Mengadakan sesi sharing selalu menghasilkan perspektif-perspektif yang unik. Salah satunya adalah pekan lalu ketika KBM mengadakan sesi sharing edisi 3 yang membahas tentang menemukan alat bantu untuk menulis.

Di momen itu topik utama memang tentang alat atau aplikasi yang cocok untuk digunakan menulis tapi bahasan melebar hingga ke topik filosofi dan pemaknaan aktivitas menulis. Di era digital seperti saat ini, menulis itu sendiri telah mengalami perubahan makna atau lebih tepatnya perluasan makna. Dari yang dulu menulis itu hanya dengan pena atau pensil, kini menulis juga bisa diartikan sebagai menulis secara digital. Menggunakan papan kunci (keyboard) atau papan sentuh (touch pad) di ponsel. Intinya adalah aktivitas yang menghasilkan kata-kata, menyusunnya menjadi kalimat, paragraf, atau naskah.

Dulu aktivitas seperti ini tanpa pena dan tanpa pensil hanya bisa terjadi dengan mesin ketik. Maka kata kerjanya adalah mengetik. Mesin ketik yang sama kemudian berkembang menjadi keyboard. Namun menjadi aneh saat ini ketika menyebut aktivitas menulis dengan mereduksinya hanya sebatas mengetik (typing). Itu mengapa menurut saya menulis telah mengalami perluasan makna.

Nah, karena bahasan sesi bercerita antar anggota pekan lalu adalah tentang aplikasi menulis akhirnya konteksnya juga meluas. Aplikasi atau alat bantu menulis di era digital sebenarnya adalah apapun yang bisa digunakan untuk menulis. Untuk menghasilkan kata, kalimat, paragraf, catatan, naskah atau apapun yang berbentuk teks. Dari pengertian ini saja, sebenarnya alat bantu menulis digital itu tidak terbatas pada yang lumrah orang gunakan.

Bisa menggunakan Evernote, bisa menggunakan Upnote, bisa pakai Microsoft Word, bisa pakai Notepad, bisa pake Google Keep, bahkan bisa pakai Paint, editor kode, dan banyak lagi lainnya. Keragaman ini kemudian mendatangkan perspektif menarik. Sebenarnya alat apa yang dibutuhkan sesuai dengan pemaknaan tentang menulis itu sendiri?

Salah satu peserta sharing saat itu mengungkap kalau dia adalah penulis yang menuliskan seluruh naskahnya dalam satu berkas Microsoft Word! Jadi dalam satu berkas itu, berbagai macam tulisannya, puisi, cerpen, artikel dan lain-lain. Semuanya jadi satu berkas.

Ini sebenarnya bukan hal yang aneh, tapi ini sesuatu yang klasik. Menggunakan Microsoft Word untuk segala kebutuhan menulis itu klasik karena kita, di Indonesia sejak sekolah memang dikondisikan untuk menggunakan Microsoft Word untuk segala kebutuhan menulis.

Padahal, jika bicara di sistem operasi Windows, alat menulis yang tidak berbayar juga tersedia. Misalnya Sticky Notes atau Notepad. Okelah Sticky Notes memang untuk “catatan” saja. Tapi Notepad sebenarnya adalah alat bantu menulis yang tidak punya batasan. Tidak ribet dengan tata letak, ukuran tipografi, atau format. Cukup menulis.

Dari kebiasaannya ini kemudian muncul pertanyaan, kenapa tidak coba aplikasi lain? Kenapa tidak memisah-misah naskah dalam berkas yang berbeda?

Berbagi perspektif yang lalu menghasilkan topik baru, yang ternyata perbedaan penggunaan alat bantu menulis ini juga berkaitan dengan pandangan masing-masing orang tentang berkarya dalam bentuk tulisan termasuk bagi yang melihat menulis sebagai cara berseni atau berekspresi.

Menggunakan alat bantu tertentu bisa jadi bukan karena mengejar efisiensi atau efektivitas berkarya, tapi bisa juga karena memang itu cara dia berseni dan berekspresi. Pernah tahu ada seniman lukis yang menggunakan Excel sebagai kanvas karya pikselnya? Ibaratnya seperti itu. Ketika seseorang menggunakan alat bantu seakan-akan tidak sesuai dengan tujuan awal alat, bisa jadi itu adalah ekspresi seni. Dan seni memang sangat pribadi sangat personal sangat subjektif sesuai dengan cara pandang masing-masing orang.

Buat kita yang kerap melihat sesuatu sebagaimana seharusnya, kita akan janggal melihat seseorang menggunakan alat tidak pada seharusnya. Kemungkinannya memang ada dua, itu penyimpangan yang berujung kriminal atau karena ekspresi seni. Kata budayawan, keduanya memang sering berkelindan.

Di KBM, penekanan berkomunitas sebenarnya adalah tentang berkarya. Itu artinya, tidak ada masalah berkarya dalam bentuk, genre, atau alat yang digunakan tapi pastikan bahwa kita bisa terus berkarya. Namun tentu saja, sebagai sebuah “rumah” KBM melakukan kurasi karya. Mana karya yang lolos, mana yang tidak. Itu pun juga diuji kualitas karyanya. Bukan berarti tidak mengapresiasi, tapi lebih untuk menjadi alat ukur perkembangan kemampuan berkarya.

Akhirnya, yang perlu kita pahami sebagai penulis adalah di tingkat awal bukan soal alat apa yang digunakan, atau karya apa yang akan mendapatkan tepuk tangan terbanyak tapi tentang bagaimana memaksimalkan apa yang kita miliki untuk sebuah ekspresi seni. Bisa itu menggunakan pena, menggunakan pensil, ponsel, laptop, atau bahkan sabak sekalipun.

Jadi, jangan khawatir dengan apa yang kamu gunakan. Khawatirlah jika kamu tidak berkarya.

Kamu mendapat nawala ini karena kamu berlangganan Newsletter publikasi Komunitas Blogger M di Medium.

--

--

Bagus Ramadhan
Komunitas Blogger M

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.