Perkara Literasi: Sebuah Racauan Singkat

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
7 min readJul 16, 2023
Foto oleh Thom Milkovic

Di Twitter saya mengikuti akun Literarybase, akun base Twitter yang khusus menghimpun para pecinta buku, atau sastra secara spesifiknya. Seumpama ada yang tidak terlalu familier dengan Twitter, akun base adalah akun yang secara khusus difungsikan sebagai tempat berkumpul orang-orang yang memiliki hobi, minat atau kesenangan yang sama. Di akun base itulah para pengguna Twitter — dalam hal ini para pecinta buku — saling berbagi informasi, rekomendasi, pengalaman, atau melempar pertanyaan seputar buku melalui suatu pesan anonim yang biasa disebut menfess. Menfess sendiri singkatan dari mention and confess.

Jika sedang senggang, tak jarang saya mengamat-amati akun tersebut dengan seksama. Ada banyak sekali buku-buku berseliweran, baik karena rekomendasi yang dikirim melalui menfess, atau karena pesan balasan oleh akun-akun lain yang adalah pengikut base. Yang membuat saya takjub: ada banyak sekali buku-buku dengan beragam genre dan tema yang saya temukan.

Mulai dari genre sastra kelas berat seperti buku Pramoedya Ananta Toer atau Iwan Simatupang, sampai sastra kelas pemula seperti buku Andrea Hirata atau Tere Liye. Di luar sastra, buku genre-genre lain juga cukup sering tertangkap oleh mata saya yang terpacak pada layar ponsel. Mulai dari buku self-help sampai buku-buku yang mengeksplorasi tema-tema sejarah, filsafat, budaya, politik, sampai agama.

Terpapar judul-judul buku dengan ragam genre dan tema yang tumpah ruah membuat saya seolah berada di surga literasi dan pengetahuan. Dan derasnya pesan-pesan menfess dari akun base tersebut — bahkan di jam-jam tertentu kita bisa mendapati puluhan pesan dalam hitungan menit — akhirnya membuat saya bertanya-tanya: apa benar tingkat literasi masyarakat Indonesia sedemikian rendahnya sebagaimana dipersepsikan banyak orang?

Menariknya lagi, akun Literarybase ternyata tidak hanya jadi tempat berbagi informasi atau rekomendasi buku, tetapi juga tempat berbagi karya. Di jam-jam tertentu, para pengikut akun base memang diperkenankan untuk membagikan karyanya melalui menfess. Berdasarkan amatan saya, karya yang dibagikan pun bentuknya beragam.

Mulai dari puisi, cerita pendek, esai, memoar, atau apalah, prinsipnya adalah tulisan-tulisan yang tidak bisa dibilang buruk sekaligus menggambarkan isi kepala penulisnya. Jika sedang beruntung, kadang saya menemukan cuplikan naskah buku yang sedang ditulis oleh seseorang. Maka saling dukung dan saling mengapresiasi karya pun dengan mudah terjadi. Bukan main. Kini ekosistem literasi terbentuk begitu saja secara organik dengan bantuan media sosial.

Sebagaimana yang sudah saya singgung, tulisan-tulisan yang dibagikan melalui akun base tersebut tidak bisa dibilang buruk — setidaknya menurut pendapat saya. Jujur saja saya cukup menikmatinya. Misalnya saja secarik puisi berjudul Para Pengembara yang ditulis oleh seorang pemuda asal Garut sebagai berikut:

Di Instagram saya pun menemukan fenomena serupa. Mungkin ada puluhan bahkan ratusan akun yang gemar merekomendasikan buku bagus dan membagikan pengalaman membacanya. Akun-akun ini kebanyakan melabeli diri dengan sebutan bookstagram. Tapi, yang lebih menarik lagi, saya juga menemukan akun-akun yang menjadikan Instagram sebagai media menulis.

Mereka menghiasi laman Instagramnya dengan tulisan-tulisan ringkas lewat postingan berbentuk slide-slide presentasi. Kebanyakan menulis tentang motivasi diri, pengembangan diri, bangkit dari kegagalan, psikologi, ujian kehidupan, menjadi pribadi sukses, dan hal-hal semacam itu — saya sendiri cukup sulit mendeskripsikannya. Slide-slide presentasi itu kadang juga “dibumbui” dengan elemen suara atau musik, sehingga menjadi suatu sajian audio-visual yang cukup menarik.

Saya kemudian teringat salah satu tulisan Winona Araminta di Medium. Dan menjadi teringat kalau slide-slide presentasi di Instagram itu sering disebut microblog. Dalam tulisannya, Winona cenderung mengkritik, khususnya kepada penulis-penulis microblog pemula, karena tidak memiliki ciri khas dan tulisannya hanya daur-ulang dari konten-konten yang sudah banyak bertebaran.

Saya sendiri cukup mengamini apa yang ditulis Winona, karena tidak sedikit yang ditulis di slide-slide presentasi itu hanyalah truisme-truisme usang yang mungkin bagi sebagian orang tidak ada gunanya ditulis. Tapi, bagaimanapun juga geliat menulis di Instagram ini tetap harus dirayakan. Hal-hal seperti ini sangat patut untuk disyukuri dan diapresiasi. Bagaimanapun juga menulis hal-hal klise bisa menjadi titik awal seseorang menulis hal-hal menarik dan memiliki kebaruan. Dan menulis ringkas bisa menjadi titik awal seseorang menulis secara mendalam dan lebih terstruktur.

Didorong oleh rasa penasaran, saya lantas “mengobok-obok” satu-dua akun yang aktif menulis di Instagram itu, utamanya yang memiliki cukup banyak pengikut. Mengagumkan, karena akun-akun tersebut tidak hanya menyebarkan karya tulisnya, tetapi juga aktif mendorong orang lain untuk aktif menulis seperti dirinya. Bahkan sampai membagikan tips-tips menulis yang menurutnya bisa diterapkan ke siapapun yang memiliki kemauan menulis. Tak berhenti sampai di situ, si pemilik akun juga mengadakan tantangan menulis, yang ternyata sangat diminati dan diikuti oleh banyak pengguna Instagram.

Saya sendiri tidak pernah menjadikan Instagram sebagai media untuk menulis. Bagi saya Instagram tidak lebih dari sekadar album foto — karena saya memang sangat menggemari seni fotografi. Tapi, mendapati fakta bahwa kini Instagram juga bisa menjadi media menulis, entah kenapa dalam diri saya muncul perasaan bahagia yang saya sendiri sulit menjelaskannya. Semacam ada kegembiraan yang mencuat dan sulit dikendalikan, beriringan dengan kesadaran bahwa masih ada orang-orang yang bersemangat dan berusaha keras untuk berkarya melalui tulisan.

Namun, di saat yang sama, menyadari itu semua juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Saya sendiri bukanlah penulis yang tekun, bahkan tidak terlalu menganggap diri saya seorang penulis. Meskipun pekerjaan saya mengharuskan menulis, tapi nyatanya saya tidak pernah benar-benar belajar untuk menulis. Saya juga tidak pernah berusaha begitu keras untuk menghasilkan suatu tulisan. Oleh sebab itulah saya sangat jarang menulis. Saya menulis jika hanya sedang ingin menulis. Atau setidaknya jika saya benar-benar merasa perlu untuk menulis.

Untuk itulah saya sangat salut kepada mereka yang menulis setiap minggu bahkan setiap hari. Dan saya menaruh hormat setinggi-tingginya kepada penulis yang dengan cermat memilih tema atau isu, melakukan riset, dan memikirkan kalimat-kalimat yang baik untuk menyelesaikan tulisannya karena saya terlalu malas untuk melakukan itu semua.

Bagi saya, menulis tidak lebih dari sekadar upaya mengurai isi kepala. Ia acap kali hanyalah perkara personal, bukan profesional. Segala pengetahuan, gagasan, pengalaman, perasaan, pikiran-pikiran absurd, maupun sekadar keluh kesah memang perlu diurai agar tidak terus menjadi benang kusut. Dan tentunya juga agar kita tetap jadi manusia waras. Oleh sebab itulah saya seringkali berteori bahwa orang yang mudah sekali meledak-ledak, atau orang waras tapi mendadak gila, sebenarnya disebabkan oleh kegagalannya mengurai isi kepala.

Pikirannya yang centang perenang tak pernah ia coba tertibkan dan luruskan, sehingga alam batinnya senantiasa gelap dan suram. Tapi itu hanya ̶s̶p̶e̶k̶u̶l̶a̶s̶i̶ teori saya saja, tak usah dianggap serius.

Perkara apakah tulisan itu nanti dipublikasikan atau tidak, itu urusan belakangan. Saya sendiri hanya mempublikasikan tulisan-tulisan yang sekiranya layak baca. Biasanya saya kirimkan ke media atau platform daring yang saya pikir relevan dengan tema tulisan, termasuk ke publikasi KBM di Medium ini.

Saya sangat berterima kasih kepada Bagus Ramadhan selaku pemilik publikasi sekaligus editor yang telah bersedia mempublikasikan tulisan-tulisan saya selama ini. Tapi, sekali lagi, itu hanya tulisan-tulisan yang menurut saya layak dibaca orang lain, dan jumlahnya pun tidak banyak. Selebihnya tulisan-tulisan saya cuma jadi sampah. Atau jadi fosil dan rongsokan digital di laptop saya.

Alih-alih menulis sebenarnya saya lebih gemar membaca. Sialnya, kemalasan saya dalam menulis seolah mendapat justifikasi karena kegemaran membaca saya ini. Saya lupa siapa persisnya yang mengatakan kata-kata ini, tapi rasanya ini keluar dari mulut seorang penulis yang bukunya cukup saya sukai. Kurang lebih kata-katanya begini:

Untuk menulis satu paragraf, setidaknya kau perlu membaca sepuluh buku. Dan untuk menulis satu buku, setidaknya kau perlu membaca seribu buku.

Meski kata-kata itu berlebihan, tapi saya sangat sepakat dengan poin yang disampaikan. Maksud saya, kita memang harus lebih banyak membaca daripada menulis. Sudah ada jutaan buku yang diterbitkan sepanjang sejarah manusia hingga hari ini. Dari jutaan jumlah itu, tentu ada banyak sekali buku-buku bagus dan penting untuk dibaca. Ada banyak pelajaran yang semestinya diserap dari sana agar peradaban manusia terus bergerak maju.

Perintah pertama dalam Al-Qur’an sendiri berbunyi “bacalah!”, bukan “tulislah!”. Dan dalam dunia akademik misalnya, sudah menjadi pemahaman bersama bahwa untuk menulis satu karya ilmiah, maka seorang penulis harus membaca semua karya-karya yang relevan dan telah terbit sebelumnya.

Hal ini penting untuk memastikan kalau apa yang ditulis itu bukanlah sesuatu yang usang dan tak ada manfaatnya. Dan agar si penulis dapat mempertanggunggjawabkan di mana letak sumbangsih tulisannya dalam ekosistem ilmu pengetahuan yang sudah ada. Maka, jelaslah kalau seorang ilmuwan, dosen, mahasiswa dan siapapun yang mengaku terpelajar semestinya lebih banyak membaca alih-alih menulis.

Ivan Lanin juga sudah berulang kali menekankan kalau seorang penulis itu harus banyak membaca — meski pria Minang ini hanya bicara dari aspek kebahasaan atau teknis kepenulisan. Menurutnya, bahasa lisan dan tulisan itu berbeda. Oleh karena itu, penting bagi seorang penulis untuk banyak membaca agar ia terbiasa dengan bahasa tulisan. Seorang penulis yang gemar membaca tak akan pernah kehabisan kata-kata, atau gelagapan dalam merangkai kalimat ketika sedang menulis.

Tentu argumen-argumen di atas tidak bisa menjadi alasan pembenar atas keengganan seseorang menulis dengan tekun. Tetap harus ada keseimbangan antara membaca dan menulis sesuai konteks masing-masing personal. Dan tulisan ini saya tulis bukan untuk sebagai apologi atas kebiasaan buruk saya. Saya menulis ini lebih sebagai pengingat bagi diri sendiri, bahwa pernah ada masa di mana saya bukanlah penulis yang baik. Jika itu dirasa berlebihan, anggaplah tulisan ini cuma racauan seseorang yang sedang berusaha melawan kemalasan.

--

--