Sunk Cost Fallacy: Memaksa Lanjut atau Mengevaluasi untuk Pergi

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M
10 min readJul 8, 2024
Photo by Marc A. Sporys on Unsplash

Ada banyak sekali pendekatan, untuk manusia yang ingin mendapatkan dirinya berada pada posisi "eskalasi keberkembangan diri" (evolving). Pendekatan itu ditemukan melalui perjalanan tragedi yang panjang, hingga seiring berjalannya waktu beradaptasi menjadi kenyamanan diri untuk berani berubah. Salah satunya saya, yang (mungkin) memilih untuk memahami segala peristiwa kehidupan hasil racikan Tuhan dengan pendekatan cinta. Cinta yang merasionalkan, menenangkan, mewaraskan dan mengiringi.

Definisi cinta akan dirangkai oleh masing-masing yang menjalani. Semua yang terjadi dalam hidup saya coba temukan titik tengahnya dengan proses pemahaman berlandaskan cinta. Perencanaan, eksekusi, dan hasil semuanya akan mudah untuk dijalani ketika cinta yang menenangkan didahulukan perannya. Saya merasa ada beberapa hal yang perlu dimaknai supaya kita benar-benar mengerti. Itu memerlukan cinta sekalipun untuk hal yang sulit untuk diterima.

Rasanya, banyak sekali tulisan yang saya resapi dengan lekatnya unsur cinta, tidak hanya cinta seperti sebagai suatu pasangan, tapi lebih dari itu, luas sekali. Sayang sekali dari sekian banyaknya sudut pandang tentang cinta, beberapa di antaranya sudah beranjak menjadi ego. Kehadiran ego menggeser makna cinta. Ya, meskipun memilih untuk melibatkan ego atau tidak itu terserah, tetapi beberapa permasalahan, apa pun itu, cenderung timbul karena diri kita larut dalam ego.

Ego terbentuk berdasarkan dari apa-apa yang kita anggap penting, juga sebagai bagian dari diri kita. Ego memperkuat anggapan akan adanya nilai diri yang berkaitan secara langsung dengan hal-hal kecintaan semacam hubungan, jabatan, dan barang. Sisi emosional manusia akan menjadi korban kebergantungan cinta (yang ekstrem), sehingga ego semakin tidak stabil. Ikatan ego yang kuat membuat seseorang tidak siap dengan perubahan dan kehilangan. Mereka cenderung membawa kita pada hal-hal yang hanya dirasa menyenangkan, dan menjauhi hal-hal yang menyakitkan. Ego pula yang memperkuat rasa kepemilikan dan keberhakan kita atas segala sesuatu, menjadikan kita sebagai manusia yang cenderung semaunya sendiri.

Hubungan Ego dan Percintaan

Setiap hubungan percintaan dalam konteks dua manusia pastinya bermula dari interaksi, yang berkembang menjadi ketertarikan hingga perasaan cinta. Tapi sebenarnya sungguh kompleks. Dari konsep itu, hubungan cinta yang berjalan baik tidak hanya perihal interaksi. Pertemuan dan canda tawa ketika perasaan sedang meledak-ledak lucunya dan berbunga adalah hal yang selayaknya ada. Bagian susah sedih yang harus dipertanggungjawabkan oleh keduanya adalah perihal merawat.

Merawat cinta, hanya dilakukan oleh profesional, menurutku (hehe, melucu). Cinta yang dimiliki tiap-tiap pemeran mustahil untuk tidak fluktuatif. Ya, mereka tetap saja manusia normal dengan segala keterbatasan—kesulitan mengelola perasaan dan semacamnya. Cinta yang dirawat dengan hati-hati saja masih memiliki kemungkinan berevolusi menjadi ego. Makna cinta yang selama itu ada tiba-tiba hilang begitu saja, dan justru digeser oleh ego-ego kepentingan mempertahankan diri sendiri, hingga muncul perasaan dirinya adalah satu-satunya korban atas permasalahan yang ada.

Pemeran yang sudah larut dalam ego, akan mudah tertipu dengan keyakinan "pembenaran" yang ada dalam diri mereka. Bukannya mencari kebenaran dan objektif terhadap masalah dalam hubungan yang sebaiknya diperbaiki, mereka justru menghendaki dirinya untuk terpeleset ke "irisan-irisan anti-objektif" seperti Survivor Bias. Singkatnya, kesulitan memahami permasalahan secara objektif dan menyeluruh. Bukannya objektif menjadi paling benar, dan subjektif salah, tapi alangkah indahnya jika mereka saling diseimbangkan.

Ketika akhirnya dihadapkan pada keputusan untuk “tetap tinggal” pada hubungan, dan memperbaiki yang ada, mereka bingung. Percintaan yang sudah tidak lagi bermakna membuat pemerannya berpikir-pikir, apakah sebaiknya "memberi makan ego" untuk tetap bertahan pada hubungan meskipun perasaannya telah dipalsukan. Atau, menyudahi hubungan sekalipun menyakitkan dan menerima itu. Atau juga, sebaliknya. Atau lagi, entahlah. Banyak sekali pertimbangan dan opsi yang berkecamuk di antaranya, sampai berujung pada salah satu konsep berpikir yang lucu, yakni Sunk Cost Fallacy.

Apa Itu Sunk Cost Fallacy?

Ilmu ekonomi menyebut sunk cost sebagai biaya yang telah dibayar dan tidak dapat diperoleh kembali. Artinya kenyataan dari hasil keputusan di masa depan tidak boleh terpengaruh oleh sunk cost atau "biaya hangus", karena itu sudah hilang.

Contoh kasus: misal kita berada di suatu halte dan sedang menunggu bus yang kemungkinan akan datang 30 menit kemudian. Setelah menunggu 30 menit, nyatanya bus juga tak kunjung datang. Lalu diri kita meyakinkan untuk menunggu 15 menit lagi, dengan investasi waktu tunggu hingga total 60 menit, sambil berpikir bahwa "bus akan datang pada menit berapa pun". Nyatanya, sebanyak apa pun investasi waktu yang kita rencanakan tidak akan memengaruhi kecepatan atau waktu tiba bus.

Sunk cost fallacy adalah kesalahan berpikir ketika seseorang memilih terus melanjutkan sebuah keputusan hanya karena sudah menginvestasikan sumber daya (waktu, uang, tenaga, atau emosi) di dalamnya meskipun melanjutkannya juga tidak lagi menguntungkan. Makin banyak investasi, rasa enggan meninggalkan akan juga makin kuat. Kesalahan ini terjadi karena seseorang cenderung mempertimbangkan biaya yang sudah dikeluarkan (sunk cost) daripada memutuskan berdasarkan keuntungan atau kerugian masa depan.

Sunk cost fallacy membuat kita jatuh terlalu dalam dan menjauhkan kita terhadap realita yang harus diterima, atau sesuatu yang cukup untuk kita.

Permisalan Sunk Cost Fallacy

Ada contoh yang paling mendekati kesamaannya dengan konteks sunk cost fallacy, yakni taruhan. Seseorang yang sudah lama bermain taruhan pastinya dihadapkan pada ujung antara menang atau kalah. Namun, fakta konsep taruhan sudah banyak kita tahu, yaitu bahwa itu adalah jalan pintas yang cukup konyol dan berisiko. Alih-alih sadar, pelaku taruhan justru merasa dibenarkan dengan iklan yang mengatakan bahwa makin banyak uang yang ditaruh, hasil kemenangan juga akan makin besar. Miris. Sunk cost fallacy benar-benar mengaburkan pengambilan keputusan rasional kita.

Salah satu permasalahan yang juga sering terjadi adalah ketika seseorang hendak mengikuti "kompetisi" ketika sebenarnya ia masih meragukan esensi dari ketertarikan dan kenyamanan akan hal itu. Mereka tetap melakukan itu karena alasan emosional dan usaha besarnya telah terinvestasikan di dalamnya. Mereka terdorong oleh kebanggaan sekaligus ketakutan untuk menyerah di depan umum sehingga menjadi korban sunk cost fallacy.

Jika satu-satunya alasanmu masih mengerjakan sesuatu karena "saya telah menginvestasikan begitu banyak sumber daya di dalamnya”, kemungkinan besar kamu terjebak sunk cost fallacy. Kasus semacam itu pada dasarnya tidak akan pernah memiliki alasan khusus selain argumen "investasi sebelumnya". Dan, itu akan menjadi sebuah siklus permanen. Benar-benar memilih untuk tidak mau rugi meskipun ke depannya juga belum pasti apakah akan lebih baik. Sunk cost fallacy ada di sekitar kita, setiap hari, karena kita adalah makhluk emosional (kesulitan mengontrol) dan inilah sebabnya kita terus-terusan jatuh cinta secara konyol.

Menyadari dan menerima adanya sunk cost fallacy adalah langkah pertama untuk memperbaikinya. Mencoba untuk terus bertanya pada diri sendiri perihal keesensian: Mengapa saya masih mengerjakan ini? Apakah karena menurut saya ini bagus, atau hanya karena sunk cost fallacy?

Sunk Cost Fallacy: Hubungan Percintaan

Dalam hubungan percintaan, konsep sunk cost fallacy sangatlah relevan bagi sebagian orang: permasalahan yang kerap kali bersinggungan perihal uang, waktu, dan upaya emosional.

Sebuah studi terbitan Current Psychology yang berjudul “Is there a Sunk "Cost Effect in Committed Relationships?”, mengemukakan alasan mengapa kita tetap berada dalam hubungan yang sudah tidak bahagia. Salah satu jawabannya karena adanya efek sunk cost fallacy.

Pada percobaan pertama, peneliti menyajikan skenario hubungan yang diberikan kepada partisipan, kemudian memberikan kesempatan pada mereka untuk meninggalkan hubungan skenario itu. Mengejutkannya, tanggapan mereka menunjukkan bahwa ada kecenderungan rasa bertahan dalam situasi seperti itu, dengan alasan telah menginvestasikan banyak uang dan tenaga dalam hubungan tersebut.

Pada percobaan lanjutan, peneliti meminta partisipan untuk memilih berapa banyak waktu yang mereka siapkan untuk berinvestasi dalam suatu hubungan. Mereka mengungkapkan bersedia meluangkan lebih banyak waktu untuk menjalin hubungan ketika sudah ada lebih banyak waktu yang diinvestasikan. Partisipan mampu bertahan dalam hubungan yang tidak memuaskan selama hampir 300 hari setelah tanggal berakhirnya.

“Alasan mengapa sunk cost fallacy tidak rasional adalah karena kamu tidak benar-benar mendapatkan uang, waktu, upaya, atau apa pun yang kamu investasikan agar bisa kembali,” kata Olivola, dalam makalah yang berjudul “The Interpersonal Sunk-Cost Effect”.

Photo by Shelby Deeter on Unsplash

Kenyataan Sudut Pandang

Ketertarikan perihal konsep sunk cost fallacy membuat saya penasaran, sampai-sampai saya menanyakan kepada beberapa teman yang sekiranya memiliki perbedaan background percintaan dalam hidup mereka.

Saya memberikan uraian yang secara keseluruhan berkaitan dengan hal ini, seperti pendapat mereka ketika menghadapi hubungan percintaan yang telah lama terjalin tetapi kurang sehat untuk dilanjutkan, bagaimana tindakan mereka, pertimbangan "melanjutkan" dan "menyudahi" hubungan versi mereka, hingga solusi yang sesuai. Banyak sekali jawaban mereka, sangat-sangat lengkap dan penuh pertimbangan, tetapi saya hanya akan menampilkan apa-apa yang perlu saja untuk ditampilkan dengan diringkas sedemikian rupa.

Versi laki-laki:

  1. Saya percaya bahwa jika sebuah hubungan sudah menunjukkan masalah yang serius, hubungan itu perlu dipertimbangkan untuk diakhiri. Terkadang, kita mungkin mengabaikan tanda-tanda peringatan yang muncul dan ketika masalah-masalah itu tidak pernah diselesaikan, salah satu dari kita bisa merasa perlu mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan.
  2. Saya merasa tidak siap dengan kemungkinan mengakhiri atau diakhiri dalam hubungan ini. Kenangan bahagia dan sedih yang telah kami lalui bersama membuat saya sulit untuk membayangkan mengakhiri semuanya begitu saja.
  3. Bagi saya, kondisi itu menunjukkan perlunya pengelolaan konflik dan komunikasi yang baik dalam hubungan jangka panjang. Masalah-masalah yang diabaikan atau tidak diselesaikan sebaiknya dikomunikasikan sesuai kesiapan dari masing-masing pihak. Namun, untuk menyelesaikan, sepertinya saya memilih untuk mempertahankan dengan pertimbangan hubungan yang sudah terlanjur lama.

Versi perempuan:

  1. Saya percaya bahwa sebaiknya kedua belah pihak melakukan evaluasi sendiri-sendiri terlebih dahulu. Setelah itu, kami bisa membicarakan secara terbuka tentang masalah dan solusinya. Saya tidak setuju jika ujungnya harus putus karena hubungan ini sudah terjalin sangat lama. Untuk menghadapi situasi seperti ini, saya akan meminta waktu menyendiri dan menenangkan pikiran saya terlebih dahulu.
  2. Menurut saya, inti hubungan itu pada akhirnya akan sama-sama selesai. Karena kedua belah pihak mengetahui masalah yang terjadi selama ini, ada dua kemungkinan: menunggu ‘bom waktu’ hingga hubungan selesai dengan sendirinya atau mengambil risiko besar untuk menyelesaikannya sesegera mungkin. Berat mempertimbangkan "selesai" untuk hubungan yang sudah terjalin lama. Tetapi, jika memang tidak bisa dipertahankan, jangan pernah takut untuk melepas meskipun memperbaiki seribu kali jauh lebih baik. Utamakan kebahagiaanmu di atas segalanya.
  3. Jika masalah yang terjadi sudah lama dan tidak terselesaikan, hingga terulang berkali-kali dan tetap begitu-begitu saja, untuk apa dipertahankan hubungannya? Tapi, jika melihat sumber daya yang telah dikorbankan dan memori yang ada, akan sangat sulit dan membekas untuk diri saya, mungkin ada pertimbangan untuk berusaha mempertahankan dengan cara yang lebih komunikatif.

Secara keseluruhan, kedua versi itu memang terlihat mirip: Ada satu kalimat yang selalu mengganjal bagi sebagian orang untuk meninggalkan hubungan yang sudah terjalin lama. Dan, itu benar. Pastinya mereka mempertimbangkan terlebih dahulu secara hati-hati agar tidak menyesal. Namun, faktanya, mereka terkadang terjebak dengan perasaan denial untuk menyudahi hubungan yang toxic, padahal jaminan untuk kebahagiaan jangka panjang masa depan juga penuh ketidakpastian.

Ruang Uraian Kesadaran

Jawaban perihal hubungan yang telah berjalan lama dan dengan kondisi cinta yang terawat secara baik adalah “Semua bergantung pada apakah kamu benar-benar mencintai satu sama lain, atau "kekeliruan biaya" (sunk cost fallacy) yang membuatmu memutuskan untuk tetap bersama.”

Hubungan yang dihadapkan pada realita tidak bahagia memiliki pilihan apakah tetap dipertahankan atau diakhiri. Diperlukan uraian yang "menyadarkan". Mungkin saja kita, kamu, dan semua orang perlu memahami ini.

Kesadaran 1:

Jauhkan dirimu dari pikiran-pikiran yang masih tenggelam di masa lalu, pikiran yang selalu mengulas momen "saat ini" berdasarkan masa lalu. Tidak semuanya bisa di relevan-kan semacam itu. Karena masa lalu adalah "biaya hangus", tidak pernah bisa kembali. Jika kamu mendapati dirimu memikirkan masa lalu ketika ditanya "Apa sebenarnya pengaruh hubungan ini dalam hidupmu?". Kemungkinan besar kamu hanya mencoba memperhitungkan peluang yang terlewatkan dan waktu yang “tenggelam” dengan tetap bersama orang yang sama.

Kesadaran 2:

Dalam studi Knee-deep in the big muddy: a study of escalating commitment to a chosen course of action, ada yang namanya efek “Eskalasi Komitmen”, yakni ketika seseorang mengalami kerugian atau pernah melakukan investasi pada suatu hal, rasa takut akan kehilangannya dapat membuat mereka mengeluarkan lebih banyak sumber daya lagi, dan lagi.

Peningkatan atau eskalasi komitmen ini terjadi karena kamu ingin menghindari kerugian. Dirimu tidak tega kehilangan waktu, tenaga, dan emosi yang masuk ke dalam hubungan itu. Jadi, mungkinkah ada yang salah dengan dirimu akan pemaknaan cinta dari hanya sekedar "tidak ingin rugi"?

Perasaan antara tulus untuk mencintai, ikhlas untuk ditinggalkan, dan 'pola fikir' sunk cost fallacy memiliki perbedaan yang sangat tipis. Jadi mengapa ketika dirimu diancam dengan kemungkinan kehilangan pasangan yang tidak lagi sejalan, kamu justru melipatgandakan tenaga hingga waktu dan secara bersamaan menyebut hal itu sebagai “cinta”? Coba pikir kembali.

Kesadaran 3:

Ada kalimat, "Semakin banyak kita berinvestasi pada suatu hal, semakin tinggi peluang kita untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan kita". Inilah penyebab mengapa begitu banyak orang terjebak pada konsep tiket lotre dan taruhan. Kenyataan yang perlu diterima adalah, kamu tidak bisa mempertaruhkan hidup dan satu-satunya kesempatanmu untuk mencintai seseorang hanya dengan menghabiskan lebih banyak waktu dalam hubungan yang tidak tepat untukmu.

Bagaimana mengetahui jika hubungan itu tidak tepat? Sederhananya pahami dimana letak bahwa perasaanmu, perasaan dia, dan fakta hubunganmu saat ini sudah bisa dibuktikan berada pada titik yang tidak "aman", tidak "komitmen", tidak “sejalan”, bahkan "chaos". Karena jika itu tetap berjalan, maka kamu masuk dalam “bias kelanjutan rencana”, yakni memaksa orang untuk tetap pada tindakan mereka meskipun melihat “tanda bahaya” dalam perjalanan.

Ujungnya

Beberapa penjelasan dan pertanyaan yang panjang lebar tadi, menunjukkan banyaknya petunjuk bagi kita untuk menavigasi dan mematahkan "ketidaktulusan cinta" atau mungkin siklus ketidakbahagiaan.

Cinta memang tidak memiliki definisi yang pasti. Cinta diungkapkan dan diterima dalam bentuk yang sangat berbeda. Komitmen terhadap siklus ketidakbahagiaan yang tiada akhir ini ada karena penelitian ekstensif (mendalam dan luas) terhadap pikiran manusia. Kita bebas menolaknya jika tidak sesuai dengan cerita kita, tapi hal itu tidak akan mengurangi kebenarannya. Jadi, jika kamu sudah merasa bahagia dan cukup dengan versi cintamu, sambutlah cinta itu dengan penuh suka cita di dalamnya.

Jangan biarkan dirimu "stuck" pada keputusan-keputusan masa lalu yang tidak dapat kamu ubah, hingga mengorbankan apa yang dapat kamu ubah pada masa kini untuk masa depan. Tenang, dan berfokuslah pada apa yang membuat dirimu menjadi sangat bahagia saat bergerak maju.

Jangan memaksakan-memalsukan perasaan demi berlanjutnya suatu hubungan yang tidak sehat.

Sesekali egois perlu karena yang menjamin kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri. Subjektifmu terhadap beberapa hal juga tidak masalah, asal porsi subjektif-objektif seimbang, atau objektif yang dilebihkan? Itu juga terserah pilihanmu.

Jangan terima mentah-mentah segalanya tulisan saya. Semua orang punya pilihan, semua orang wajib kritis.

Komen jika ada yang kurang jelas, atau yang pernah merasakan hal serupa seperti di atas. Thank you!

— Best Regards, Ahmad Dzaki Akmal Yuda.

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).