Bagaimana Sastra Modern Indonesia Dilahirkan? [Bagian II]

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
11 min readMar 20, 2024

Setelah perbincangan panjang tentang modernitas, romantisisme, dan nasionalisme pada esai terdahulu (bagian I), pertanyaan yang perlu kita ajukan kemudian adalah bagaimana semangat zaman itu memengaruhi kesadaran kultural dari generasi muda terpelajar di Hindia Belanda pada awal abad ke-20? Itulah yang akan kita bicarakan pada bagian II ini. Di sini saya ingin memperlihatkan bagaimana semangat zaman atau perubahan sosial-historis pada level makro itu berpengaruh terhadap perubahan pengalaman atau penghayatan hidup seseorang pada level mikro, khususnya yang terkait dengan kelahiran sastra modern Indonesia. Persoalan ini sebenarnya cukup rumit, tetapi saya akan menyederhanakannya dengan mengambil dua kasus penting, yaitu tumbuhnya kesadaran mengenai perasaan asmara (romance) dan kesadaran tentang diri pribadi yang khas/unik atau individualisme.

Cinta-Asmara sebagai Perasaan yang Modern

Saya ingin tegaskan kembali di sini bahwa apa yang selama ini disebut sebagai sastra modern Indonesia pada dasarnya terkait erat dengan gagasan tentang modernitas, romantisisme, dan nasionalisme Indonesia itu sendiri. Gagasan ini perlahan-lahan mulai muncul pada awal abad ke-20 di kalangan kaum muda terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan Eropa di sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda pada saat itu. Selain itu, gagasan ini juga dipengaruhi oleh pergaulan kaum muda pada masa itu dengan gerakan nasionalisme di beberapa negara lain, seperti di daerah Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan China. Sutan Takdir Alisyahbana (STA), salah satu ahli sastra terkemuka pada era awal itu yang juga adalah lulusan dari sekolah guru, berpendapat bahwa sastra modern Indonesia merupakan cermin pembebasan, yaitu pembebasan dari nilai-nilai budaya tradisional-feodal. Menurutnya, para pengarang pada masa itu sudah menyerap nilai-nilai modern, seperti individualisme, dalam proses penciptaan karya mereka.

Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesusastraan sebagai Cermin Pembebasan” dalam Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1961/1988), terjemahan dari buku di gambar ini.
Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesusastraan sebagai Cermin Pembebasan” dalam Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1961/1988), versi terjemahan dari buku dalam gambar ini. (Sumber foto: di sini).

Meskipun STA tidak bicara tentang asmara secara khusus, saya berpendapat bahwa pengaruh nilai budaya modern yang dikatakan STA itu sebenarnya dapat kita lihat pada bagaimana novel-novel awal yang ditulis oleh para pengarang muda dari Sumatera, terutama Minangkabau, mempersoalkan adat perjodohan dalam masyarakatnya. Mereka mulai mengambil sikap yang bertentangan dengan generasi tua dalam hal memilih pasangan hidup. Dalam hal ini, individualisme kaum muda berseberangan dengan nilai budaya feodal dari kaum tua. Beberapa pengarang muda yang mula-mula mengangkat persoalan ini di era 1920-an itu di antaranya adalah Merari Siregar, Marah Rusli, dan Abdul Muis. Melalui novel-novel merekalah kita mendapatkan model awal tentang cerita roman yang sudah bernuansa modern, dalam arti bahwa asmara yang mereka ungkapkan merupakan perasaan yang berdiri sendiri, terlepas dari hubungan dengan perkawinan yang tradisional/feodalistis. Dalam konteks itulah perasaan asmara digambarkan sebagai perasaan cinta yang “murni” atau “cinta sejati”, dalam arti cinta yang lepas dari kepentingan ekonomi dan politik dari masyarakat tradisional. Jadi, “kemurnian” atau “kesejatian” cinta di sini perlu dimaknai dalam konteks tersebut. Karena itu, tidak heran jika pada saat itu bermunculan novel-novel yang berisi penentangan terhadap kawin paksa. Tema tersebut kemudian menjadi tren bagi generasi muda pada saat itu.

Jika dijelaskan lebih jauh secara sosiologis, kita bisa melihat di sini bahwa para pengarang novel pada era tersebut sebenarnya merupakan bagian dari kelompok sosial kaum muda terpelajar yang terjepit dalam struktur sosial masyarakat kolonial, yaitu para priyayi baru seperti yang dibahas di atas. Meskipun mereka sudah berpikiran modern, tetap saja mereka diperlakukan sebagai pribumi yang rendah. Mobilitas sosial mereka terhambat dan saluran politis bagi pandangan modern mereka juga dibatasi oleh penguasa Hindia Belanda itu sendiri. Di sisi lain, karena cara berpikir dan sikap hidup mereka sudah sangat termodernkan, mereka juga tidak mungkin kembali lagi ke kebudayaan tradisional-feodal yang merupakan sikap hidup generasi orang tua mereka.

Situasi terjepit atau dilema sosial tersebut rupanya sangat sulit diatasi oleh kelompok sosial baru tersebut karena struktur sosial kolonial pada saat itu memang tidak memberi peluang ke arah itu. Dilema tersebut merupakan realitas historis mereka yang pada gilirannya mengondisikan proses kreatif mereka dalam membuat novel, yaitu dengan selalu membuat akhir novelnya sad-ending. Cinta-asmara sejati selalu tak bisa menang di hadapan kekuatan struktur masyarakat yang dominan. Jadi, novel-novel mereka seperti menghadapkan pembacanya pada jalan buntu dari cinta asmara. Kecenderungan ini sudah lama diamati oleh Armijn Pane, salah satu kritikus awal sastra modern Indonesia.

Armijn Pane, “Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan?” dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: KPG, 2000). Sumber foto: di sini.

Namun, justru dengan kegagalan atau jalan buntu itu, novel-novel tersebut memberikan efek perasaan romantis yang agung, yaitu kesetiaan cinta yang penuh pengorbanan, yang membuat pembaca muda pada era itu tergerak menyetujui dan mempercayai bahwa cinta asmara itu pantas untuk diperjuangkan karena lebih mulia daripada sikap feodalistis yang tidak menghargai kebebasan pribadi manusia. Itulah salah satu ciri sikap romantisisme yang nantinya berpadu dengan nasionalisme di area politik.

Melihat Diri sebagai Pribadi yang Unik-Tersendiri

Apakah seseorang merasakan dirinya sebagai diri yang spesifik, unik, dan beda-tersendiri? Dari manakah perasaan itu muncul? Bagaimana ia bisa muncul? Untuk memahami hal ini lebih jauh, dalam bagian ini saya berupaya menjelaskannya secara sederhana dengan mengambil contoh kasus dari tiga karya sastra yang penting dalam sejarah awal Indonesia modern, yaitu puisi “Menuju ke Laut” (1930) karya Sutan Takdir Alisjahbana, puisi “Gema” (1932) karya Amir Hamzah, puisi “Aku” (1944) karya Chairil Anwar, dan kutipan dari salah satu surat pribadi Kartini (1900). Mereka ini adalah wakil yang penting dari generasi awal kaum muda modern di Indonesia. Dengan mengangkat kasus ini, saya ingin menjelaskan bahwa modernitas tidak hanya berperan dalam membentuk perasaan cinta-asmara seperti yang sudah kita bahas di atas, tetapi juga berpengaruh dalam membentuk penghayatan diri yang unik, yaitu sebagai diri individu yang berdaulat. Selain itu, karya sastra seperti puisi dan surat pribadi pada dasarnya tidak hanya mengungkapkan pengalaman hidup yang bersifat pribadi dari pengarangnya, tetapi juga dapat mengungkapkan penghayatan diri dari suatu generasi dalam momen sejarah tertentu, yaitu momen modernitas di Indonesia.

Dalam puisi “Menuju ke Laut”-nya Takdir, kita dapat merasakan pernyataan yang tegas mengenai pemisahan dua wilayah metaforis, yaitu “Tasik yang tenang tiada beriak,/diteduhi gunung yang rimbun”, di satu sisi, dan “Ombak riak berkejar-kejaran/di gelanggang biru di tepi langit”, di lain sisi. Jika pemisahan metaforis ini kita hubungkan dengan pemikiran Takdir mengenai pemisahan zaman pra-Indonesia dan zaman Indonesia, maka kita dapat menafsirkan bahwa pemisahan wilayah metaforis tersebut sebenarnya berarti pemisahan kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Jika demikian, jelas pula bahwa dalam puisi tersebut kebudayaan tradisional digambarkan sebagai kebudayaan yang statis dan tertutup, sedangkan kebudayaan modern bersifat dinamis, menggairahkan, terbuka, dan penuh tantangan seperti halnya lautan yang bergelora. Dalam era Takdir, kebudayaan tradisional yang dimaksud adalah kebudayaan feodal yang menghidupi sistem kerajaan di Indonesia, sedangkan kebudayaan modern mengacu pada kebudayaan Barat yang pada saat itu hadir di Nusantara dalam wajah kolonialisme Belanda. Pada tahun 1935, pemikiran Takdir yang menyarankan agar pengembangan kebudayaan Indonesia di masa depan diarahkan ke kebudayaan Barat sempat menuai perdebatan yang kini dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”. Menurutnya, kebudayaan tradisional yang feodalistik harus ditinggalkan saja dan kita perlu belajar pada kebudayaan Barat yang rasional dan modern.

Buku kumpulan esai perdebatan kebudayaan di era 1930-an.

Dalam konteks itulah puisi Takdir di atas dapat kita pahami sebagai pernyataan tentang munculnya diri yang baru, yaitu diri modern, yang telah meninggalkan kebudayaan tradisional-feodal. Dinyatakannya dengan tegas pada baris pertama bahwa “Kami telah meninggalkan engkau”. Menarik bahwa Takdir tidak menggunakan kata “aku”, tetapi “kami”. Hal ini tentu saja mengacu pada suatu generasi, bukan individu semata. “Kami” di sini menyiratkan munculnya penghayatan diri yang baru yang bersifat kolektif, yaitu kesadaran modern di kalangan generasi muda terpelajar pada era itu. Takdir melihat dirinya sebagai bagian dari kesadaran diri kolektif yang baru yang juga dihayati oleh rekan-rekan segenerasinya. Dengan demikian, puisi Takdir ini merupakan salah satu dokumen penting yang merekam munculnya kesadaran diri yang baru pada saat itu, sebuah kesadaran diri yang unik yang belum ada contohnya sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Inilah yang saya maksud dengan sejarah kemunculan diri, yaitu diri modern.

Diri modern tersebut dihayati sebagai diri yang individual, unik, dan beda-tersendiri yang telah melepaskan dirinya dari ikatan sosial tradisional yang feodalistik. Hidup dengan kesadaran diri yang baru ini, menurut puisi Takdir, tidaklah mudah karena “Sejak itu jiwa gelisah / Selalu berjuang tiada reda. / Ketenangan lama serasa beku, / gunung pelindung rasa pengalang. / Berontak hati hendak bebas, / menyerang segala apa mengadang.” Dalam pemikiran Takdir, diri yang baru ini mendapat inspirasinya dari kebudayaan modern Barat yang mendorong rasionalisme, individualisme, dan materialisme.

Tetapi, karena sifat diri yang baru ini terus-menerus bergerak demi kemajuan, kebudayaan modern Barat itu sendiri tidaklah dipandang sebagai dogma yang harus dipatuhi, melainkan hanya sebagai alat di dalam proses pembentukan diri yang baru itu, yang dihayatinya sebagai diri Indonesia di masa depan. Takdir sendiri menyadari bahwa masyarakat Eropa sendiri pada saat itu sudah menyimpang dari cita-cita kebudayaan modern yang telah mereka ciptakan sehingga muncul sikap individualistis dan materialistis yang parah dalam bentuk kolonialisme. Menurut Takdir, justru Indonesia di masa depan bisa belajar dari kesalahan Eropa ini dan mengembangkan masyarakat modern yang lebih baik. Diri dalam penghayatan Takdir adalah diri modern-optimis, seperti yang ditegaskannya berikut ini (sumber di sini):

Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cari sesuai dengan kebutuhan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan bangsa kita terutama sekali berdasarkan atas kepentingan bersama. Hakikat kepentingan bersama ialah bersama-sama mencari alat dan berupaya keras agar masyarakat Kepulauan Nusantara yang berabad mandek, mati, menjadi dinamis, menjadi hidup. Karena hanya masyarakat yang dinamis yang dapat berlomba di lautan dunia yang luas.

Berbeda dengan Takdir, diri modern yang optimis itu tidak sepenuhnya dapat dihayati oleh Amir Hamzah. Bagi Amir, tidaklah mudah untuk dapat melepaskan diri dari tarikan ikatan kebudayaan tradisional-feodalistik yang tentu saja pada masa itu masih cukup kuat berlangsung dalam struktur masyarakat di Hindia Belanda. Kita dapat merasakan tarikan itu dalam puisi Amir Hamzah di atas. Diri dalam puisi Amir terombang-ambing dalam dua kekuatan: “gelombang dua berimbang”, yang dalam konteks ini adalah kekuatan kebudayaan tradisional-feodalistik dan kebudayaan modern Barat pada masa itu. Dalam kegamangan itu, diri yang terhayati adalah diri yang “tiada berupa”, ibarat “gema” yang muncul sebagai pantulan-pantulan dari kekuatan dua suara. Maka, dalam puisi Amir ini, diri tidaklah punya wujud yang spesifik, unik, dan beda-tersendiri sebagaimana diri modern yang muncul dalam puisi Takdir. Diri dalam penghayatan Amir bukanlah diri yang sudah merangkul kebudayaan modern dengan yakin, tetapi bukan pula diri yang mendekap kebudayaan tradisional-feodalistik dengan mantap. Yang ada adalah diri yang bagaikan menghancurkan dan menciptakan dirinya terus-menerus dalam proses pergulatan dengan dua kekuatan kultural itu.

Amir Hamzah (sumber foto: di sini)

Kartini, melalui surat-surat pribadinya yang bergaya sastra, juga menghadirkan diri yang dilematis sebagaimana Amir. Perhatikan kembali kutipan suratnya di atas yang dikirimkannya untuk sahabatnya di Belanda, Stella Zeehandelaar. Mirip dengan puisi Amir yang mengibaratkan diri sebagai sesuatu yang hancur dan hilang, sebagai semata-mata “gema tiada berupa”, surat Kartini ini juga menggambarkan diri yang lenyap ke dalam suara, dalam hal ini alunan tembang Ginonjing. Diri seolah-olah tiada. Lenyap dalam dua tarikan zaman: masa lalu dan sekaligus masa depan, tradisi dan modern. Betatapun Kartini sekuat tenaga hendak menolak masa depan/kebudayaan modern, dia tetap tidak bisa berpaling karena masa lalu/kebudayaan tradisional sudah tidak memberikan harapan sekalipun tak bisa jua dia tinggalkan. “Aku tak ingin mendengar lagu yang menyedihkan itu tapi ternyata, aku harus, aku harus mendengar getarannya,” tulisnya dengan rintih.

Kita tahu, pada akhirnya, Kartini memang terpaksa memupus keinginannya untuk bersekolah ke Eropa dan, demi menyelamatkan nama baik ayahnya, dia harus menerima lamaran dari seorang bupati untuk menjadi istrinya yang ke sekian. Dari surat-suratnya yang panjang, kita dapat mengerti bahwa Kartini tampaknya sudah meramalkan bahwa nasibnya memang akan demikian. Dia sudah merasa bahwa dirinya bukanlah bagian dari masa depan/kebudayaan modern yang sebenarnya dia rindukan, tetapi juga bukan bagian dari masa lalu/kebudayaan tradisional yang terpaksa tidak bisa dia lepaskan. Seperti halnya puisi-puisi Amir, surat-surat Kartini memunculkan diri modern-melankolis.

Sampul buku kumpulan surat Kartini (Sumber foto: di sini)

Sama tragisnya dengan Kartini, Amir Hamzah terpaksa menikahi anak pamannya, yang merupakan putri Kerajaan Langkat, sebagai bagian dari pemantapan kedudukan Amir sendiri sebagai pewaris tahta Kerajaaan Langkat. Untuk itu, dia harus meninggalkan gadis Solo yang dicintainya. Amir yang berpandangan nasionalis tentu sangat tidak nyaman menjalankan posisinya sebagai bagian dari struktur kerajaan yang feodalis. Maka, ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, Amir mengambil sikap mendukung pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri itu meskipun Sultan Langkat sendiri, paman Amir, merasa keberatan. Namun, pada tahun 1946, dalam gejolak sosial yang tak terkendali, gerakan pemuda mengambil jalan kekerasan untuk mengakhiri kekuasaan feodalisme di Sumatera. Dalam gejolak itu, Amir hamzah turut tewas terbunuh bersama ratusan, mungkin ribuan, ningrat kerajaan di hampir seluruh Sumatera Timur.

Film tentang kehidupan Kartini bisa ditonton di sini.

Sementara itu, puisi “Aku”-nya Chairil Anwar menawarkan satu diri yang lain sama sekali, yaitu satu diri yang sudah dengan tegas menolak masyarakat macam apapun: “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang”. Bagi Chairil, baik kebudayaan tradisional maupun modern tidak lagi relevan. Sang Aku dalam puisi Chairil tidak terombang-ambing dalam tarikan kedua kebudayaan itu, tidak pula merasa perlu menempatkan diri dalam optimisme kebudayaan modern. Sang Aku terus-menerus menolak apapun yang akan mengerdilkan dirinya sebagai Sang Aku, bahkan jika itu datang dari kematian sekalipun: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” teriaknya. Melalui puisi ini, kita dapat merasakan munculnya diri yang sangat berbeda dari yang dua diri yang sudah kita bicarakan di atas. Diri “Aku”-nya Chairil ini dapat kita sebut saja sebagai diri modern-anarkis, dalam arti upaya untuk melepaskan diri dari dua tarikan wacana dominan dalam masyarakat pada masa itu.

Ringkasan

Sejauh ini saya sudah menguraikan bagaimana diri modern itu muncul dalam salah satu momen penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Bukannya kebetulan jika diri modern itu terucapkan melalui puisi dan surat pribadi. Keduanya memang merupakan sebagian dari jejaring teks (wacana) yang baru di zaman modern yang memungkinkan diri yang khas dinyatakan atau ditegaskan. Puisi dan surat pribadi pada saat itu sudah dihayati sebagai pernyataan diri. Kebudayaan tradisional-feodalistik tidak memungkinkan diri pribadi dinyatakan dan ditegaskan sebagai diri yang terpisah dari masyarakat. Di dalam kebudayaan semacam itu, diri menghilang dalam ikatan keluarga, marga, suku, dan keningratan. Penghayatan diri sebagai pribadi yang unik-tersendiri, sebagai “saya adalah saya”, tidaklah terbayangkan di dalam kebudayaan semacam itu. Kemudian, pertemuan orang-orang di Nusantara dengan kebudayaan Barat selama ratusan tahun memungkinkan tumbuhnya penghayatan diri pribadi itu, yang kini kita sebut sebagai diri modern.

Namun, dari puisi Takdir, Amir, dan Chairil, serta surat Kartini, kita juga sudah melihat bahwa diri modern itu tidaklah tunggal, melainkan mewujud dalam berbagai variasi kesadaran atau sikap, yaitu setidaknya sebagai diri modern yang optimis, melankolis, dan anarkis. Harap dimaklumi bahwa penggolongan ini tidak bersifat mutlak, ketiganya dapat saja saling bertumpang-tindih dalam kenyataannya atau muncul sebagai sifat kecenderungan saja. Setidaknya itulah yang dapat saya tafsirkan dari pengalaman satu generasi anak muda terpelajar yang bergelut dengan zaman yang genting ketika masyarakat sedang bergolak, yang kini kita sebut sebagai zaman pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.