HULU TAK BERHILIR

Sebuah Monolog

Irsyad Ridho
4 min readJul 13, 2022

Monolog ini merupakan upaya adaptasi oleh Irsyad Ridho dan Erostian atas novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Musik “Tundra” yang digubah oleh Gudensway merupakan satu kesatuan dengan monolog ini.

1945. Panggung gelap. Musik “Tundra”. Layar di latar belakang memperlihatkan proyeksi video dan gambar bom atom Hiroshima-Nagasaki. Ketika proyeksi fade-out, lampu menyorot ke HANAFI yang berdiri di depan pusara CORRIE. HANAFI menjatuhkan ranselnya dan langsung bersimpuh di depan pusara, menangis. Panggung penuh reruntuhan.

HANAFI
Akhirnya kutemukan kau, Sayang. Sudah 17 tahun aku bergentayangan. Dibuang oleh Eropa yang kudamba, disingkirkan oleh Bumi Putera. Kini aku datang, kembali padamu jua.

HANAFI berusaha menyudahi tangisnya. Dia mulai menyingkirkan sisa-sisa reruntuhan yang menutupi pusara.

Bernapaslah, Sayangku. Bernapaslah selega yang kau bisa. Sudah kusingkirkan batu-batu keparat ini. Bernapaslah. (Terengah-engah memindahkan batu yang lebih besar). Kita hadapi dunia ini berdua. Kita sambut kembali kematian di bumi ini, bersama. Untuk kedua kalinya. (Terengah-engah memindahkan batu yang lebih besar, hanya bisa bergeser sedikit). Bernapaslah.

HANAFI terduduk lemah. Pusara hening.

Kumohon bangkitlah, Corrie du Bussée. Sudah tak kuat kutanggung kutukan ini sendiri. Bagai Malin Kundang yang tak bisa berhenti berlayar. Sebab, dia tahu, berlabuh hanya membuatnya menjadi batu. (Meraup tanah berpasir, menggenggam nya, mengelusnya dengan mesra). Kumohon bangkitlah. Kau manisku selamanya. (Tanah berpasir terburai, merembes di sela-sela jari. Hanafi jatuh terduduk, putus asa).

Dulu kukira bunuh diri adalah jalan keluar. (Mulai tertawa geli).
Aku masih ingat betapa bingungnya dokter Belanda itu. Dia harus mencari kata-kata untuk berbohong di hadapan ibuku dan orang-orang kampung.(Mendadak menoleh ke samping). Bodoh sekali kau, Hanafi. (Kemudian menepiskan tangan, dan tertawa geli lagi).

Aku dan dokter itu bersepakat untuk mendustai orang-orang. Mereka tahunya aku mati karena penyakit berat, padahal aku minum racun. Aku sengaja, aku sadar sepenuhnya atas keputusanku. Kau mengerti ‘kan, Sayang? Aku hanya putus asa. Aku putus asa hidup sendiri dalam penyesalan panjang. Aku menyesal telah menyakitimu. Aku tidak mampu menanggungnya. Aku ingin segera bertemu denganmu. (Memeluk nisan. Tangisan tertahan. Jeda. Kemudian melepas pelukan).

Kukira kematian akan membawaku padamu. (Mendadak menoleh ke samping).Bodoh sekali kau, Hanafi. (Kemudian menepiskan tangan, pandangan mulai menerawang).

Setelah mati, aku hidup di alam mimpi. Apapun bisa kuimpikan. Aku bisa mengatur dan mewujudkan mimpiku sendiri. Aku adalah pencipta mimpiku sendiri. Kukira itulah surga. Betapa lugunya aku. Justru di situlah mereka meletakkan neraka buatku. Mereka tahu betul apa yang akan membuatku tersiksa. Kau mengerti ‘kan, Corrie? Seberapa banyakpun mimpi bisa kuwujudkan di sana, mereka tetap menyisakan satu impian yang tak bisa kuwujudkan, yaitu bertemu denganmu. (Membanting batu ke tanah dengan geram. Kemudian mengepalkan tinju, kemudian menuding ke atas langit.)

Licik! Kalian licik! Kalian melarangku punya mimpi itu. “Persatuan ras adalah dosa besar.” Huh! Bagaimana bisa kalian punya gagasan biadab seperti itu?! (Lunglai dalam kemarahan. Mulai menangis lagi).

Corrie, Sayangku. Mereka licik. Mereka menyiksaku dengan cara yang paling kejam. Kau pasti tidak bisa menyangka siksaan seperti apa yang mereka berikan padaku. Hatimu terlalu suci untuk bisa membayangkan sebuah kebiadaban. (Memeluk nisan dan meratap, kemudian mendadak ketakutan). Setiap kali perang berkecamuk, mereka sengaja menghidupkanku lagi. Menjatuhkanku ke bumi ini. Mereka sengaja membuat hatiku hancur berkeping, menyaksikan betapa manusia sanggup membunuh manusia lain dengan penuh kebanggaan patriotik! (Hening, jeda).

Itulah siksaan buatku. Mereka bilang, aku akan mendapat ganjaran surga yang sesungguhnya jika aku mau melepaskan mimpiku yang satu itu. Bagaimana mungkin mereka bisa memaksaku untuk melupakanmu, Corrie du Bussée? Aku sudah telanjur percaya pada gagasan tentang persatuan ras manusia. Perang ini tidak membuktikan apa-apa, tidak akan membuatku kehilangan kepercayaan padamu, pada seluruh umat manusia. (Hening, jeda).

HANAFI bangkit perlahan, melangkah ke depan sambil menatap jauh ke angkasa. Terdengar suara harpa dari “Tundra”.

Di dalam lingkaran waktu aku akan terus berjalan tanpa henti. Aku mendengar orang-orang masih membicarakan kita, sepasang manusia naif yang mendamba kebahagiaan dari pertalian jiwa yang terlarang. (Berbalik menatap ke arah nisan, mengusap nisan). Kuharap kerinduanmu padaku tetap menyala. Hanya itu yang bisa membuatku bertahan menjalani kutukan waktu. Di mana-mana kudengar orang bicara tentang revolusi dan kemerdekaan di tengah pembantaian ini. Aku tidak bisa berharap banyak dari situasi absurd ini. (Mulai meraup tanah di samping nisan. Meraup lagi ketika serpihan tanah berjatuhan dari telapan tangan).

Setiap kali aku dijatuhkan ke bumi dan dipaksa menyaksikan reruntuhan jiwa manusia, aku hanya mengingat satu hal. Ini. (Memperlihatkan tanah dalam genggaman kepada nisan). Aku percaya, di waktu yang lain, tanah ini akan menyatukan kita kembali, Corrie du Bussée. (Membungkus tanah itu dengan sapu tangan. Kemudian bangkit, siap-siap berangkat kembali).

Terdengar Musik “Tundra”.

Aku tak peduli apakah samurai Dewa Matahari ataukah mortir sekutu yang akan merenggut nyawaku. Aku juga tak peduli apakah peluru Republik ini yang akan membuatku mati. Syuhada bukan tujuanku. Pahlawan bukan makamku. Aku hanya ingin mati berkali-kali. Andai dengan begitu, bisa kutemui kau kembali. Sampai berjumpa lagi, Corrie. Sayangku. Sahabat dalam perjalananku. Bersamamu akan kuarungi lagi kutukan mimpi ini.

HANAFI berbalik, berjalan menuju layar. Menuju medan perang. Hilang di balik layar. Kemudian, proyektor memperlihatkan gambar seseorang di tengah reruntuhan perang. Terdengar suara Corrie membacakan kutipan dari Surat Kepercayaan Gelanggang.

SUARA CORRIE
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Musik “Tundra” terus terdengar sampai akhir.

TAMAT.

--

--

Irsyad Ridho

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.