SEMALAM BERSAMA CHAIRIL

Sebuah Percobaan Adaptasi atas Hidup dan Karya Chairil Anwar

Irsyad Ridho
14 min readAug 19, 2023

Chairil Anwar, penyair itu, mengambang di ruang hampa, sedang kematian membidiknya dari kejauhan. Waktu berhenti, meremasnya ke alam mimpi. Inilah mimpinya.

Lukisan Affandi berjudul “Chairil Anwar”, 1949 (Sumber: http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/affandi/page:4)

OPENING

Tiga Dewi Seni melayang di atas kota yang hancur.

DEWI SENI 1
Saksikanlah! Lelaki itu meregang nyawa. Maut berkunjung di malam yang pekat. Menunggu tak sabaran di pojok kamar yang lembab.

DEWI SENI 2
Sentuhlah! Hawa dingin menyelusup di antara tabir maya dan nyata. Lelaki itu menggigil, terasa tulangnya teramat nyeri.

DEWI SENI 3
Kabut merambat di atas kota yang hancur. Langit sebentar lagi runtuh. Awas! Matahari merah!

Kilatan-kilatan. Panggung memerah. Barisan tentara Dai Nippon bergerak kaku, kejam, dan ritmis. Tampak juga tubuh-tubuh kesakitan para Romusha dan Jugun Ianfu yang menari Butoh di tengah panggung.

DEWI SENI 1
Tanah berasap, mengering membara. Jasad-jasad melayang terhempas. Menangislah!

DEWI SENI 2
Maka, inilah saatnya! Kami hidupkan lagi lelaki itu dengan sebuah hembusan ilham suara:

DEWI SENI 1–2–3
Aku!

BUTOH 1
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

BUTOH 2
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

BUTOH 3
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

BUTOH 4
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

DEWI SENI 3
Kini saksikanlah! Lelaki itu perlahan bangkit. Bugar kembali ia. Sumpah Eros sudah terpasang di dasar perutnya, membuat seluruh hidupnya adalah gairah yang singkat. Tetapi, bayangan dirinya akan terbang bertualang, serupa Ahasveros. Kau dengar? Dia bersuara.

BUTOH 1
Dan aku akan lebih tidak perduli

BUTOH 2
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Lampu padam. Opening selesai.

BABAK I

Malam. Di pinggir kali Ciliwung. Chairil suntuk termenung memandangi aliran sungai Ciliwung yang pekat. Di sampingnya, Asrul memandang ke arah lain. Para butoh terlihat dalam temaram lampu, tergeletak tidak bergerak.

CHAIRIL 1
Kukira beginilah nanti jadinya. Kau kawin, beranak, dan berbahagia. Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

ASRUL
Sebaiknya kau lupakan saja dia, Ril.

CHAIRIL 1
Kaukira gampang?

Hening.

ASRUL
Tempo hari aku baca buku …

CHAIRIL 1
Jangan mengalihkan pembicaraan, Srul.

ASRUL
‘Kan kemarin kau sendiri yang bilang bahwa kau dan dia memang tidak sepadan. Dan, kau bilang juga, kau akan melupakannya.

CHAIRIL 1
Ya, tapi bukan berarti aku tidak boleh berkeluh-kesah padamu tentang betapa aku patah hati, ‘kan?

ASRUL
Itulah yang kucemaskan, Ril. Kau terlalu terbawa perasaan. Itu akan membuat puisi-puisimu jatuh sebagai puisi emosi semata.

CHAIRIL 1
Heh, apa maksudmu? Kalau puisi tidak lagi berisi emosi, lantas pantaskah ia masih disebut puisi?

ASRUL
Bukan begitu, Ril. Aku hanya bermaksud mengatakan bahwa emosi itu hanya sarana puisi, bukan inti puisi itu sendiri. Aku khawatir, kau terlalu mengutamakan emosi sehingga kau lupa bahwa emosi itu hanya sarana.

CHAIRIL 1
Oh, jadi maksudmu puisi-puisiku tidak punya isi apa-apa, tidak ada intinya? Begitu?

ASRUL
Jangan langsung tersinggung dulu, Ril.

CHAIRIL 1
Tentu saja aku harus tersinggung. Pertama, sebagai sahabat, kau tidak mau mendengar keluh-kesahku. Kedua, kau tidak cukup berusaha untuk memahami puisi-puisiku.

Hening.

CHAIRIL 1
Srul, aku coba merenungi kota ini. Terpikir olehku bahwa Batavia ini cuma memberi sepi pada kita. Sepi menekan-mendesak.

ASRUL
Sepi yang begitu sepi sampai-sampai kita seperti disergap rasa cemas yang tak berkesudahan.

CHAIRIL 1
Nah, itu! Mengerti kau sekarang. Kesepian itulah inti puisi-puisiku. Dan, kesepian itu sama sekali bukan emosi. Kesepian adalah kondisi eksistensial kita, Srul. Hakikat hidup kita sebagai manusia modern. Itulah yang coba kugali dalam proses kreatifku selama ini.

ASRUL
Ya, aku mengerti. Bukan maksudmu mau berbagi nasib. Iya kan?

CHAIRIL 1 + ASRUL
Nasib adalah kesunyian masing-masing.

Tertawa bersama. Lalu hening.

CHAIRIL 1
Kapan-kapan kau harus bikin esai panjang untuk menjelaskan puisi-puisiku, Srul. Hanya kau yang bisa mengerti.

ASRUL
Tentu saja aku mengerti. Kau dapat ilham dari buku yang kita curi di toko Belanda itu, kan? Haha…

CHAIRIL 1
Iya, yang sudah bikin kau terkencing-kencing, saking takutnya kau tertangkap basah. Haha…

ASRUL
Aku tidak terkencing-kencing!

CHAIRIL 1
Eit. Akui saja, Bung. Setidaknya pasti kau menahan kencing. Iya kan? Haha…

ASRUL
Aku hanya gugup. Sama sekali tidak terkencing-kencing.

Chairil berdiri, bicara kepada penonton.

CHAIRIL 1
Hei, hei, dengar. Dia terkencing-kencing. Anak bangsawan ini kuajak nyolong buku. Dan, dia terkencing-kencing. Haha…

Kemudian, Chairil bergaya seperti orang berdeklamasi.

CHAIRIL 1
Sepi menekan-mendesak. Dan, dia terkencing-kencing. Haha…

ASRUL
Aku tidak terkencing-kencing!

Para Butoh tiba-tiba muncul menyeret Asrul ke belakang panggung. Asrul terus saja bicara begitu, sedangkan Chairil masih mengulang dialognya menghadap penonton.

CHAIRIL 1
Sepi menekan-mendesak. Dan, dia terkencing-kencing. Haha…

Suara tawa geli Chairil terus menggema sesaat, kemudian hilang.

BABAK II

Emak Saleha, ibu Chairil, dibawa masuk oleh para Butoh. Mereka juga menggotong banyak buku yang kemudian mereka hamparkan di lantai. Chairil melompat dari bibir panggung, kemudian duduk bersimpuh dengan santai di depan ibunya, menghadap ke penonton. Para butoh tergeletak kembali, tersembunyi di antara buku-buku.

CHAIRIL 1
Mak, ada apa rupanya? Jika Mak bermurung seperti ini, akan hilang tenggelam segala makna. Dan gerak tak punya arti.

MAK SALEHA
Tak usah berpuisi, Ril. Uang untuk hidup kita di kota ini makin menipis. Keadaan sekarang makin sulit. Seharusnya kau terima saja tawaran kerja dari kawanmu tempo hari.

CHAIRIL 1
Mak sendiri tahu ‘kan aku sudah coba bertahan kerja sana-sini. Bisnis barang bekas dengan Om Sjahrir juga masih kuteruskan.

MAK SALEHA
Itu bukan bisnis, Ril. Kaukira Mak tidak tahu, segala urusan dengan barang bekas itu hanya untuk memuaskan hobby petualanganmu di kota ini?

CHAIRIL 1
(tertawa pahit, merasa tertangkap basah)
Mengapa kita tidak boleh bersenang-senang barang sedikit di tengah kebrengsekan zaman ini? Ini semua gara-gara Jepang keparat itu!

MAK SALEHA
Ril, pelankan suaramu! Kau bisa ditangkap kalau mereka dengar.

CHAIRIL 1
Kukira mereka memang sebaiknya menangkapku saja. Jadi, aku bisa membacakan puisi buat mengguyur jiwa mereka yang sudah gersang itu.

MAK SALEHA
Chairil, anakku. Sini, Nak. Peganglah tangan Mak. Apakah kau lupa betapa Mak amat gemetar ketika dulu kau ditangkap polisi Belanda gara-gara membacakan roman Layar Terkembang? Jangan kau buat Mak kembali ketakutan, Ril.

CHAIRIL 1
Eh, bagaimana kalau kita mengenang masa-masa bahagia itu lagi?

MAK SALEHA
Masa yang mana, Chairil? Sejak ayahmu kawin lagi, sulit bagi Mak untuk bisa merasa bahagia lagi.

CHAIRIL 1
Maka, malam inilah saatnya! Ayolah, Mak. Lupakanlah kesedihan masa lalu, bergembiralah barang sejenak, bersamaku. Aku akan membacakan lagi roman Takdir Alisjahbana itu. Dulu Mak selalu senang mendengarkan aku membacakannya. Maka, malam ini aku akan membacakannya lagi. Demi memanggil Dewi Kebahagiaan! Oke, Mak?

Chairil bergegas mencari roman yang dimaksud di rak bukunya. Tumpukan buku terlihat berserakan di lantai di sekitar rak.

MAK SALEHA
Dewi Kebahagiaan tidak akan datang ke rumah ini kalau kau selalu keluyuran. Alamatmu akan dianggap tidak jelas. (tertawa)

CHAIRIL 1
Wah, dewi itu bahkan sudah datang duluan sebelum aku menemukan roman ini (sambil mengacungkan buku yang baru saja ditemukannya). Itu buktinya, murungmu sudah berganti tawa, Mak.

Chairil mengambil posisi duduk di lantai, bersandar pada kaki ibunya yang duduk di kursi.

CHAIRIL 1
Nah, Mak mau dibacakan bagian yang mana? Eh, bagaimana kalau aku bacakan bagian pidato Tuti di Kongres Putri Sedar? (Langsung mencari-cari halamannya.)

MAK SALEHA
Ah, Mak sedang tidak bersemangat mendengarkan pidato. Apa kau kira segala pidato propaganda dari Nippon Saudara Tua kita sekarang ini belum cukup juga buatmu?

Mereka berdua tertawa tertahan. Chairil hampir tertawa terbahak-bahak, tetapi berusaha ditahannya.

CHAIRIL 1
Aku suka kalau Mak sudah mulai sinis seperti itu. Toh kita semua akan berakhir di ujung samurai. Sikap sinis sedikitnya bisa menunda kekalahan. (tertawa pahit). Nah, bagian mana yang cocok untuk kubacakan, Mak?

MAK SALEHA
Dulu kau suka sekali dengan bagian ketika Tuti melawan pendapat pamannya, Raden Partadiharja itu. Mak kini makin sadar bahwa kau pasti sangat setuju dengan pendapat Tuti tentang betapa pentingnya mengejar impian hidupmu sendiri meski kemiskinan yang akan menjadi taruhannya.

CHAIRIL 1
Kukira Mak akan memarahiku karena aku selalu tidak betah kerja kantoran, diikat oleh belenggu kemapanan itu.

MAK SALEHA
Tidak, Ril. Mak cuma mengkhawatirkan masa depan penghidupanmu. Tapi, jika puisi-puisimulah yang akan membuatmu bahagia, maka kejarlah itu, Anakku. Menciptalah. Restu Mak bersamamu.

Chairil tak bisa berkata-kata, dia hanya memandang ibunya dengan penuh cinta. Dia pegang tangan ibunya, kemudian dia cium dengan penuh hormat.

MAK SALEHA
Nah, sekarang cobalah kau bacakan bagian itu buat Mak-mu ini.

Chairil bersiap-siap membacakan.

CHAIRIL 1
(membacakan novel)
Maka, duduklah mereka bersama-sama di ruang tamu itu. Ramai bercakap-cakap. Paman Tuti, Raden Partadiharja, mengeluhkan tentang adiknya yang bernama Saleh yang malah keluar dari pekerjaannya sebagai ajun jaksa.
“Saya benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran adik saya itu. Berhenti kerja begitu saja tanpa bicara lagi dengan keluarga. Anak muda sekarang sangat menganggap enteng segala sesuatu. Coba pikir, betapa senangnya punya gaji besar di kantor kejaksaan. Eh, malah dilepaskannya begitu saja. Alasannya sama sekali tidak masuk akal. Katanya, hendak bekerja sebagai manusia bebas lah, hendak mencari pekerjaan yang sesuai dengan kata hati lah. Pekerjaan di kantor kejaksaan itu dia bilang seperti pekerjaan mesin yang mematikan semangat.”
Tuti tiba-tiba menyela perkataan pamannya,…

CHAIRIL 1
Mak, lebih asyik kalau Mak yang bacakan bagian perkataan Tuti ini. (menunjuk ke bagian tertentu di halaman novel).

Mak memberikan gestur menolak dengan agak malu-malu.

CHAIRIL 1
Ayolah, Mak. Kita buat malam ini sebagai malam yang tak akan terlupakan lagi.

Mak tersenyum, memandnag anaknya dengan penuh kasih sayang. Kemudian, dia mengambil novel di tangan Chairil.

MAK SALEHA
(membacakan novel)
Tuti tiba-tiba menyela perkataan pamannya, “Saya mengenal Saleh sebagai seorang yang ceria, tajam pikirannya, dan penuh semangat. Saya yakin dia memang tidak akan senang dengan pekerjaan kantor yang lamban dan monoton: mengisi daftar ini, menyalin surat itu, dan akhirnya terkantuk-kantuk menanti jam pulang kerja.”
“Apa katamu?” ujar Raden Partadiharja …

CHAIRIL 1
Eit, eit. Itu bagianku, Mak. Rupanya Mak sudah gak sabaran ya dengan Raden Partadiharja yang kolot itu. Hehe..

Chairil mengambil novel dari tangan ibunya. Kemudian bergaya seperti orang tua yang memarahi anaknya (kepada Mak Saleha).

CHAIRIL 1
(Membacakan novel)
“Apa katamu?” (kepada Mak Saleha), ujar Raden Partadiharja dengan suara yang agak keras mendengar ucapan keponakannya itu (kepada penonton). “Terkantuk-kantuk menanti jam pulang kerja? Apa yang dikantuk-kantukkan? Adakah pekerjaan yang lebih baik daripada bekerja di kantor pemerintah?

MAK SALEHA
Lho, lho. Kenapa Mak yang jadi kau marahi? (mencoba mengikuti candaan Chairil)

CHAIRIL 1
(tetap nyerocos marah)
“Huh! Anak muda sekarang memang susah dimengerti. Mereka selalu menentang orang tua.”

Mak Saleha merebut novel dari tangan Chairil, kemudian mengeplak kepala Chairil dengan novel itu.

MAK SALEHA
Bukan begitu!

CHAIRIL 1
Eit, masa’ Tuti mengeplak kepala pamannya, Mak. Kurang ajar! (tertawa)

MAK SALEHA
Habisnya Mak geregetan sama pamannya yang kolot itu. Mana tadi bagian Mak? (mencari-cari ke halaman novel) Nah, ini dia.
“Bukan begitu, Paman. Mereka tidak bermaksud sengaja menentang orang tua. Yang bertentangan itu hanyalah pendapat tentang bahagia, tentang arti hidup kita sebagai manusia. Paman beranggapan bahwa bahagia itu ialah punya pekerjaan yang mudah, pendapatan yang besar, harapan yang baik di kemudian hari, pokoknya hidup senang. Tapi, anak muda zaman sekarang tidak lagi melihatnya seperti itu. Bagi kami, bahagia itu adalah dapat mengikuti kata hati, dapat mengembangkan potensi dan kecakapan kami sepenuhnya. Mengejar impian.”

CHAIRIL 1
“Ah, omong kosong!” (dari tadi mengintip halaman novel dari belakang ibunya, kemudian merebut novel dari tangan ibunya sambil tertawa-tawa)

Tiba-tiba, suara pintu diketuk. Terdengar panggilan dari luar: “Ril!” Chairil membukakan pintu. Alwi masuk, membawa kabar.

ALWI
Ada telegram dari Medan tadi siang. Maaf, aku baru bisa mengantarkan sekarang. Mampir rapat pemuda dulu tadi.

CHAIRIL 1
Telegram tentang apa?

ALWI
Maaf, Ril. Aku turut berduka. Nenekmu dikabarkan telah berpulang.

Dengan telegram di tangan, Chairil jatuh terduduk. Seperti memekik, tapi tanpa suara. Cahaya panggung berubah temaram. Masuk tiga Dewi Seni. Mak Saleha dan Alwi mundur ke balik panggung, kemudian lenyap. Chairil tampak seperti kesakitan, sekarat.

DEWI SENI 1
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa.

DEWI SENI 2
Malam apa lagi. Ia memekik ngeri. Dicekik kesunyian kamarnya.

DEWI SENI 3
Terkejut ia terduduk.

CHAIRIL 1
Siapa memanggil itu?

DEWI SENI 1
Ah! lemah lesu ia tersedu:

CHAIRIL 1
Ibu! Ibu!

BABAK III

Panggung kembali lebih terang. Chairil bangkit berdiri, kembali normal, segera membereskan dirinya, seolah seperti tidak terjadi apa-apa. Dia duduk di kursi yang sebelumnya digunakan oleh Mak Saleha. Ada meja kecil di sampingnya. Chairil mengambil buku catatannya di situ, kemudian seperti bersiap menulis sesuatu.

CHAIRIL 1
Mengapa kalian datang malam-malam begini. Aku sedang sibuk.

DEWI SENI 1
Kami hanya datang jika kau panggil. Begitu imajinasimu bekerja, begitulah kami ada. Kami penghuni imajinasimu. Kau pasti tidak lupa itu.

CHAIRIL 1
Ya, tapi aku menginginkan orisinalitas. Kalian mengganggu proses perjalananku ke arah itu.

DEWI SENI 1
Chairil, kami hanyalah kata-kata yang bertebaran di semua buku yang telah kau baca. Kata-kata yang tersisa setelah kau gali-korek sedalamnya. Menimbang, memutus! Kami hanyalah kata-kata yang tumbuh, bersemi di taman …

CHAIRIL 1
Stop! Aku tidak suka perumpamaan seperti itu! Hanya mengingatkanku pada epigon-epigon tua itu. (tiba-tiba seperti tersadar dari kemarahannya, menarik napas panjang). Baiklah. Mari kita coba lagi.

Bangkit berdiri menuju meja, mengambil kertas dan pinsil. Mulai terlihat mencoret-coret. Tapi, seperti putus asa kehilangan ide. Hanya bisa menarik dan menghembuskan napas panjang.

CHAIRIL 1
Kukira aku perlu minta maaf kepada Takdir dan generasinya karena aku sudah menyebut mereka para epigon.

DEWI SENI 2
Sama sekali tidak perlu.

CHAIRIL 1
Kenapa?

DEWI SENI 2
Bukan salahmu jika mereka epigon.

CHAIRIL 1
Maksudku, aku hanya merasa tidak enak. Bukan bermaksud mengenyampingkan substansi tentang …

DEWI SENI 2
Kau bukan orang seperti itu, Chairil. Kau apa adanya. Tak perlu sedu sedan itu!

CHAIRIL 1
Hei! Berani-beraninya kau mengutip puisiku.

DEWI SENI 2
Lho, siapa yang mengutip?! Itu belum lagi menjadi puisimu. Justru kita sedang dalam proses menciptakannya.

DEWI SENI 3
Ah, hentikan pertengkaran tiada guna ini!

DEWI SENI 1
Biarkan mereka! (kepada Dewi Seni 3). Aku ingin tahu sampai mana pertengkaran mereka akan berujung pada produktivitas.

CHAIRIL 1
Produktivitas?! Bagaimana bisa kau masukkan konsep beracun itu ke dalam otakmu? Orisinalitas! Itulah yang aku butuhkan saat ini.

DEWI SENI 3
Tiada orisinalitas jika di kepalamu terus saja bergelayut sikap untuk melawan Takdir dan Pujangga Baru itu. Keluarlah dari kerangkeng, temukan zamanmu sendiri!

CHAIRIL 1
Justru itu aku bilang tadi aku ingin minta maaf pada Takdir dan …

DEWI SENI 3
Maka, jangan mulai dengan permintaan maaf. Itu bukan gayamu.

CHAIRIL 1
Ah! Kalian hanya membuatku kesal. Sekesalnya! (Cahaya panggung berubah, memusat ke arah Chairil) Oh, mengapa jiwaku terus saja bertukar warna. Sudah tak kutahu lagi aku ini apa sebenarnya…

Para Butoh masuk, sambil mengusung nisan. Mereka berjalan tertatih-tatih sambil menggumamkan baris-baris dari puisi “Nisan”.

PARA BUTOH
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Sebagian dari para Butoh kemudian mengangkat Chairil yang tampak ketakutan dan berusaha membebaskan diri. Tapi, mereka tetap meringkus Chairil dan menggotongnya beramai-ramai. Chairil makin gelagapan.

CHAIRIL 1
Sin, Jassin! Tolong aku, Sin! Tolong aku! Aku ingin memasuki alam puisi ini dengan sepenuh hati. Aku tidak mau ikut tenggelam dalam sikap mereka yang hanya setengah-setengah. Tolong aku, Sin! Tolong aku!

Lampu padam.

BABAK IV

Suara bom. Juga suara senapan lapat-lapat. Terdengar suara Soekarno membacakan “Proklamasi”, seperti terdengar dari jauh. Permainan lampu seperti memperlihatkan “waktu jalan”. Ada orang-orang berdiri satu-satu di tempat yang terpisah-pisah, seperti berjaga.

Terdengar suara seseorang membacakan puisi Chairil “Perjurit Jaga Malam”.

SUARA
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu//Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,// bermata tajam.//Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian//ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.//Aku suka pada mereka yang berani hidup//Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam//Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…//Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

Orang-orang menghilang. Para Butoh bangkit perlahan seperti mayat-mayat. Terdengar suara orang membacakan puisi “Krawang-Bekasi”. Ada juga suara detak jam.

SUARA
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi//Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak//
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu//Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa//Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa//Kami sudah beri kami punya jiwa//Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan//arti 4–5 ribu nyawa

Bunyi detak jam dinding terus saja merambat. Mencekam. Para Butoh menghilang. Lampu temaram, kemudian hanya menyorot ke Chairil 1 berhadap-hadapan dengan Chairil 2, seperti bergulat. Ada juga beberapa cermin yang memantulkan pergerakan cahaya. Ini adalah pergulatan batin Chairil. Selama mengucapkan dialog ini, mereka bergulat.

CHAIRIL 1
Aku berkaca//Ini muka penuh luka

CHAIRIL 2
Siapa punya?

CHAIRIL 1
Kudengar seru menderu

CHAIRIL 2
dalam hatiku?

CHAIRIL 1
Apa hanya angin lalu? Aah!

Chairil 1 ingin kabur, tetapi langsung diringkus oleh Chairil 2. Dicekik dari belakang. Chairil 1 gelagapan.

CHAIRIL 1
Sin, Jassin! Tolong aku, Sin! Tolong aku! Aku ingin memasuki alam puisi ini dengan sepenuh hati. Aku tidak mau ikut tenggelam dalam sikap mereka yang hanya setengah-setengah. Tolong aku, Sin! Tolong aku!

CHAIRIL 2
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

CHAIRIL 1
Ah…!!

Kini Chairil 1 berhasil mengambil posisi mencekik Chairil 2 dari belakang.

CHAIRIL 2
Segala menebal, segala mengental

CHAIRIL 1
Segala tak kukenal

Namun, Chairil 2 bisa membebaskan diri dan mengakhiri pergulatan ini dengan sikutan yang jitu. Chairil 1 jatuh tergeletak.

CHAIRIL 2
Selamat tinggal…!!!

BABAK V

Chairil 2 terduduk kelelahan. Jassin tiba-tiba muncul. Masih memakai sarung dan kaos oblong, sambil mencoba mengenakan kemeja.

JASSIN
Ada apa, Ril? Ini jam 3 pagi. Kau selalu saja mengganggu tidur orang.

CHAIRIL 2
Sin, aku tak bertukar. Masih seperti dulu juga. Tapi, kalau siksaan ini terus saja, aku bisa tidak tahan lagi.

JASSIN
Siksaan apa?

CHAIRIL 2
Aku tidak tahu harus bagaimana lagi meneruskan menulis puisi. Kubaca lagi semua puisiku. Mengecewakan! Sampai saat ini belum ada garis nyata yang bisa dipegang. Aku kehilangan arah, Sin.

Hening. Jassin menerawang, menarik napas panjang. Chairil mengambil sebatang rokok. Berusaha menyalakan korek api, tapi selalu gagal menyala. Dengan kesal dia membuang rokok dan korek api itu sekalian.

JASSIN
Kukira kau perlu menulis puisi semacam “Diponegoro” itu lagi. Itu sangat penting untuk masa perjuangan kemerdekaan saat ini, Ril.

CHAIRIL 2
Hah?! Bahkan, itu sama sekali tidak bisa disebut puisi, Sin. Jelek! Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis puisi kepahlawanan seperti “Diponegoro” itu, no! Tidak akan lagi, Sin.

JASSIN
Apa kau tidak melihat bahwa dunia kini sedang berubah total? Masa depan kemanusiaan akan lebih cerah.

CHAIRIL 2
Sin! Kemanusiaan macam apa yang bisa kita harapkan jika kita sudah menukarnya dengan kekejaman bom atom?!

Hening. Jassin menghempaskan punggungnya ke kursi. Chairil 2 mencoba memungut kembali rokok dan korek api yang tadi dibuangnya. Berusaha lagi menyalakan api.

JASSIN
Mungkin kini saatnya kau perlu melihat proses kreatifmu dari perspektif yang lebih luas, yang lebih mendunia. Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, kini situasi sedang berubah ke arah yang baru, semuanya akan sangat tak terduga, Ril.

CHAIRIL 2
Lantas? (sudah berhasil merokok)

JASSIN
Ya, maksudku… (tampak bingung). Ya, … aku juga tidak tahu mau bilang apa. (garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum)

Mendengar jawaban Jassin, Chairil 2 tertawa sambil terbatuk-batuk karena rokoknya. Jassin bergegas mengambil rokok itu dan mematikannya. Chairil 2 terhuyung hendak jatuh. Jassin menahan tubuh Chairil dan memangkunya. Chairil 2 masih tertawa-tawa sambil batuk-batuk.

JASSIN
Ril, dingin sekali badanmu.

CHAIRIL 2
Haha… Aku tahu kau punya niat baik untuk menolongku, tapi kau sendiri tak punya ide ‘kan? Haha..

JASSIN
Kalau kau tidak datang jam 3 pagi begini, mungkin aku akan punya ide segar untuk menolongmu dari kemacetan kreatifmu. Hehe…

CHAIRIL 2
Alah! Banyak alasan kau, Sin. Haha… (batuk-batuk lagi)

JASSIN
Ril, badanmu dingin sekali!

CHAIRIL 2
Kukira saatnya sudah tiba, Sin. Aku tidak merasakan lagi seluruh nyeri di tubuhku. Kau lihat itu, Sin. (menunjuk ke depan). Aku hanya menyaksikan kita akan hidup seribu tahun. Sebab, kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Kau lihat, Sin?

JASSIN
Ya, aku lihat itu, Ril.

Keduanya memandang ke depan. Kaku, tak bergerak.

CLOSING

Iring-iringan orang masuk tertunduk, ada yang membawa tandu kemudian meletakkan tubuh Chairil 1 di sana. Iring-iringan bergerak dari panggung menuju ke arah penonton sambil membagikan rangkaian daun cemara. Mereka terus menghilang keluar.

Terdengar suara membacakan puisi Chairil “Derai-derai Cemara”. Kertas-kertas berjatuhan dari atas langit-langit panggung, seolah seperti naskah-naskah puisi yang terus bermunculan dari pikiran Chairil.

SUARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Setelah semuanya sunyi, di panggung hanya terlihat Chairil 2 dan Jassin dalam posisi semula, tidak bergerak. Lampu perlahan padam.

SELESAI

Naskah drama ini dipentaskan untuk pertama kalinya oleh Teater Caraka bekerja sama dengan Rumah Produksi Diorama dalam program Theatron dari para mahasiswa Angkatan 2020 dan 2021 Prodi Sastra Indonesia FBS UNJ.

--

--