Bahasa dan Cara Berpikir

Apakah cara berpikir kita ditentunkan oleh bahasa?

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa
11 min readMar 13, 2021

--

Dalam film Arrival, doktor Louise Banks, yang diperankan oleh Amy Adams, memperkenalkan hipotesis Sapir-Whorf. Louise mengatakan bahwa hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa yang kita gunakan menentukan cara kita berpikir dan melihat semuanya. Tapi, apakah hal itu benar?

Dialog tentang hipotesis Sapir-Whorf mulai dari menit 2:38

Tentang Hipotesis Sapir-Whorf

Hipotesis Sapir-Whorf sendiri, uniknya, adalah sebuah kesalahan pemberian nama. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf tidak pernah menulis bersama dan mereka bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ide-ide mereka sebagai sebuah hipotesis.

Hipotesis Sapir-Whorf adalah relativitas linguistik. Inti dari relativitas linguistik adalah cara kita berpikir menentukan cara kita berpikir dan melihat dunia. Ide ini berawal dari Wilhelm von Humboldt dan Johann Gottfried Herder yang menganggap bahasa nasional sebagai bentuk dari jiwa atau semangat sebuah bangsa.

Relativitas linguistik ini kemudian tumbuh subur di kalangan ahli bahasa di Amerika. Penelitian bahasa di Amerika sendiri tengah mengalami perubahan paradigmanya sendiri dimana studi bahasa mulai difokuskan ke arah deskriptif yang dipimpin oleh Franz Boas. Edward Sapir, yang juga bagian dari kalangan ahli bahasa di Amerika, juga mengamini ide relativitas linguistik ini dan berargumen pada bentuk yang lebih kuat; determinisme linguistik yang kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf.

Sapir bertemu dengan Whorf, yang adalah muridnya, di sebuah kelas yang diadakannya di Yale pada pertengahan tahun 1930an. Whorf kemudian menjadi salah satu orang yang dikenal mendorong argumen-argumen Sapir tentang relativitas linguistik. Hal ini yang mungkin menjadi penyebab hipotesis ini disebut Hipotesis Sapir-Whorf, walaupun ada beberapa ahli bahasa yang lebih memilih untuk menyebut hipotesis ini sebagai Hipotesis Whorf, atau Whorfianisme.

Argumen-Argumen dalam Hipotesis Sapir-Whorf

Edward Sapir (kiri) dan Benjamin Lee Whorf (kanan)

Untuk lebih dalam memahami Hipotesis Sapir-Whorf, kita harus melihat pada argumen-argumen yang menjadi dasar dari kelahirannya.

Perjalanan linguistik Wilhelm von Humboldt membawanya menuju Pyrenees, sebuah daerah pegunungan antara Prancis dan Spanyol. Disana, Ia menemukan bahasa Basque, sebuah bahasa yang memikatnya dan menyadarkannya bahwa tidak semua bahasa berasal dari bahasa Latin. Ia kemudian mulai mempelajari banyak bahasa terpencil lainnya dan mulai merasa sedih ketika banyak misionaris yang memaksakan aturan bahasa Latin pada bahasa yang mereka gunakan untuk menyebarkan ajaran mereka.

William Van Humboldt, dari Wikipedia

Humboldt kemudian mulai menulis ulang buku-buku tentang bahasa selain Latin dengan membuang bagian aturan Latin yang dipaksakan. Hal ini semakin membuka mata Humboldt, “The difference between languages, is not only in sounds and signs but in worldview. Herein is found the reason and ultimate goal of all the study of language.” (Perbedaan antarbahasa, tidak hanya dalam bunyi dan isyarat tetapi juga dalam pandangan dunia. Di sinilah ditemukan alasan dan tujuan akhir dari semua studi bahasa). Ia kemudian melanjutkan bahwa bahasa ibu:

is not just the means for representing a truth already recognized but much more to discover the truth that had not been recognized previously…Thinking is dependent not just on language in general but to a certain extent on each individual language.” (bukan hanya alat untuk merepresentasikan kebenaran yang sudah diakui tetapi lebih untuk menemukan kebenaran yang belum pernah diakui sebelumnya…Berpikir tidak hanya bergantung pada bahasa secara umum tetapi sampai batas tertentu pada masing-masing bahasa).
- Wilhelm van Humboldt, dalam Guy Deutscher (2010)

Ide Wilhlem van Humboldt ini kemudian menjadi fondasi dari paham relativitas linguistik. Edward Sapir, melalui Franz Boas, menemukan ide relativitas linguistik ini menarik. Ia kemudian menelusuri ide ini dengan meneliti bahasa-bahasa suku yang berada di Amerika.

Salah satu bahasa yang diteliti Sapir adalah Nootka. Sapir mengatakan jika seorang pembicara bahasa Inggris mengamati sebuah batu yang jatuh dari langit, maka Ia akan memisahkan dua hal: batu itu sendiri dan kejadian jatuh dalam bentuk kalimat, “(the stone) (falls).”

Sapir mengatakan pemisahan ini adalah ilusi, spesifiknya ilusi yang dihasilkan oleh gramatika bahasa Inggris itu sendiri dimana bahasa Inggris memisahkan subjek dan predikat.

Dalam bahasa Nootka, tidak ada kata kerja yang secara spesifik merujuk pada kejadian jatuh. Seorang pembicara Nootka akan menggunakan kata kerja spesial, ‘to stone’, untuk menjelaskan segala jenis pergerakan yang dilakukan oleh sebuah batu.

Untuk membantu memperjelas, pembicara Nootka akan menambahkan adjektiva kemana batu tersebut bergerak, misalnya ‘down’ untuk menunjukkan kejadian jatuh.

Hal ini dianggap Sapir sebagai bentuk dari bagaimana bahasa mengekang kita pada cara berpikir dan melihat dunia yang spesifik. Ia mengtakan bahwa contoh diatas sebagai contoh yang: “

incommensurable analysis of experience in different languages make very real to us a kind of relativity that is generally hidden from us by our naive acceptance of fixed habits of speech. . . . This is the relativity of concepts or, as it might be called, the relativity of the form of thought.” (Analisis pengalaman yang tak dapat dibandingkan dalam berbagai bahasa membuat kita tersadar akan semacam relativitas yang umumnya tersembunyi dari kita oleh penerimaan kita yang naif terhadap kebiasaan bicara kita umumnya. . . . Ini adalah relativitas konsep atau, mungkin disebut, relativitas bentuk pemikiran)
- Edward Sapir dalam The Grammarian and His Language (1924)

Sapir kemudian memoles argumennya dalam tulisan lainnya. Pada tahun 1929, Ia mempublikasikan tulisannya yang kemudian menjadi salah satu argumen kunci dalam Hipotesis Sapir-Whorf. Salah satu argumennya berbunyi:

Language is a guide to ‘social reality’. Though language is not ordinarily thought of as of essential interest to the students of social science, it powerfully conditions all our thinking about social problems and processes. Human beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has becomethe medium of expression for their society. It is quite an illusion to imagine that one adjusts to reality essentially without the use of language and that language is merely an incidental means of solving specific problems of communication or reflection. The fact of the matter is that the ‘real world’ is to a large extent unconsciously built up on the language habits of the group. No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached.
- Edward Sapir dalam The Status of Linguistics as A Science (1929)

Bahasa, menurut Sapir, adalah cerminan realitas sosial. Bahasa adalah medium atau perantara yang kita gunakan untuk mengakses dunia dan karena tiap bahasa memiliki keunikannya masing-masing, dari kosa kata, sintaksis, dan lain-lain, maka realitas sosial dua orang yang berbicara bahasa yang berbeda akan berbeda.

Dunia yang ditinggali oleh masyarakat yang berbeda adalah dua dunia yang berbeda, bukan dunia yang sama dengan label yang berbeda.

Dunia yang berbeda dan bukan sekedar label yang berbeda kemudian menjadi salah satu kunci Whorf yang mendukung relativitas linguistik. Benjamin Lee Whorf adalah seorang insinyur kimia yang ahli dalam mencegah kebakaran. Whorf menemukan hal menarik ketika Ia mengamati bagaimana orang-orang memperlakukan drum bensin.

Drum bensin yang masih berisi dan drum bensin yang sudah kosong disimpan terpisah. Whorf menemukan bahwa label empty (kosong) pada label drum bensin membuat sebuah drum diperlakukan berbeda. Orang-orang lebih berhati-hati ketika sebuah drum tidak dilabeli kosong dan cenderung lebih tidak berhati-hati, seperti merokok, disekitar drum dengan label kosong.

Padahal, drum bensin yang sudah kosong memiliki resiko yang lebih besar. Drum bensin yang kosong memiliki uap eksplosif yang dapat mengakibatkan ledakan atau kebakaran. Whorf berargumen bahwa label kosong membuat kesan aman, seperti kosong atau tidak mengandung bahaya; sebuah akibat dari bagaimana bahasa menentukan cara kita berpikir dan melihat dunia.

Whorf kemudian membawa ide-ide Sapir ke tempat yang belum pernah dijamah oleh intelektual manusia sebelumnya. Sapir sendiri belum menjelaskan bagaimana bahasa mengekang cara kita berpikir. Whorf, sementara itu, ingin menjelaskan hal demikian.

Tujuan utama petualangan linguistik Whorf adalah untuk menunjukkan bagaimana bahasa menentukan cara berpikir kita. Ia ingin menunjukkan hal tersebut melalui gramatika, kosa kata, dan elemen linguistik lainnya. Whorf bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa alam semesta akan tampak berbeda di mata tiap-tiap penutur bahasa yang berbeda.

Secara umum, argumen Whorf mengaitkan sebuah fitur tata bahasa sebuah bahasa dengan efek yang diasumsikan muncul dari fitur tersebut. Misalkan, Ia mengatakan bahwa suku Indian di Amerika memandang alam sebagai sebuah kesatuan karena bahasa mereka cenderung menggabungkan kata benda dengan kata kerja.

Misalnya contoh dalam bahasa Mohawk, “Washakotya’tawitsherahetkvhta’se” yang berarti “Dia merusak gaunnya” (secara harafiah, ‘Dia membuat benda-yang-orang-taruh-di-badan seseorang jelek kepadanya’). Ia menjustifikasi klaimnya dengan mengatakan:

some languages have means of expression — chemical combination, as I called it — in which the separate terms are not so separate as in English but flow together into plastic synthetic creations. Hence such languages, which do not paint the separate-object picture of the universe to the same degree as English and its sister tongues, point toward possible new types of logic and possible new cosmical pictures (beberapa bahasa memiliki alat ekspresi — kombinasi kimiawi, saya menyebutnya — di mana istilah yang terpisah tidak begitu terpisah seperti dalam bahasa Inggris tetapi mengalir bersama menjadi kreasi sintetis plastik. Oleh karena itu bahasa seperti itu, yang tidak menggambarkan alam semesta sebagai objek-objek yang tersepisah seperti yang dilakukan dalam Bahasa Inggris dan bahasa serupanya, menunjukkan kemungkinan jenis logika baru dan kemungkinan gambar kosmis baru)
- Benjamin Lee Whorf dalam
Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (1957)

Salah satu gambaran kosmis baru yang paling terkenal dari Whorf datang dari deskripsinya tentang bahasa Hopi. Awalnya, Whorf mengatakan bahwa Hopi memiliki angka yang lebih besar daripada satu. Orang-orang Hopi tidak mengatakan, “Saya tinggal selama lima hari,” tetapi mengatakan ,”saya pergi pada hari kelima.”

Photo by Sonja Langford on Unsplash

Whorf juga menemukan kalau kata-kata yang merujuk pada durasi atau waktu juga tidak memiliki bentuk jamak. Dari sini, Whorf kemudian berasumsi bahwa bagi orang Hopi, waktu bukanlah sesuatu yang dapat bergerak, berubah, dan dapat dihabiskan atau digunakan, tetapi sesuatu yang dikumpulkan.

Kita mengenal ucapan “esok adalah hari yang baru,” dan kita bisa menggunakan waktu tersebut untuk melakukan sesuatu, tetapi buat orang Hopi waktu selalu memiliki sifat yang sama dimana mereka mengumpulkannya setelah waktu tersebut lewat.

Whorf terus menggali lebih dalam. Ia menemukan bahwa Hopi tidak memiliki fitur tenses ataupun kata atau konsep yang merujuk pada waktu, baik itu masa lampau, kini, dan depan. Whorf kemudian berkesimpulan bahwa orang Hopi, “has no general notion or intuition of time as a smooth flowing continuum in which everything in the universe proceeds at an equal rate.” (tidak memiliki gagasan umum atau intuisi waktu sebagai kontinum yang mengalir mulus di mana segala sesuatu di alam semesta berjalan dengan kecepatan yang sama)

Ide Whorf ini kemudian tersebar luas dengan cepat. Sebuah buku berjudul Some Things Worth Knowing: A Generalist’s Guide to Useful Knowledge mengatakan bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Inggris tidak akan bisa memahami waktu sebagai dimensi ke-4, sementara orang Hopi yang tidak melihat waktu sebagai sesuatu yang mengalir akan lebih mudah memahami hal tersebut.

Dorothy Eggan, seorang antropolog, memaknai hal ini dengan menjelaskan hal ini dengan mengatakan, “time seems to be that aspect of being which is the knife-edge of now as it is in the process of becoming both ‘past’ and ‘future.’ Viewed thus, we have no present either, but our linguistic habits make us feel as ifwe had” (waktu tampaknya menjadi aspek keberadaan seperti ujung sebuah pisau bagi sekarang karena sekarang sedang dalam proses menjadi ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’. Dilihat demikian, kita juga tidak memiliki sekarang, tetapi kebiasaan linguistik kita membuat kita merasa seolah-olah kita punya).

Kritik Terhadap Argumen-Argumen Hipotesis Sapir-Whorf

Klaim kontreversial Whorf mengundang banyak kritik. Salah satu kritik datang dari Ekkehart Malotki yang menunjukkan kebalikan dari klaim Whorf tentang bahasa Hopi.

Malotki merilis bukunya yang berjudul Hopi Time. Di dalamnya, Ia menunjukkan kalau Hopi memiliki kata-kata yang merujuk pada konsep waktu, “pu’ antsa pay qavongvaqw pay su’its talavay kuyvansat, paasatham pu’pam piw maanat taatayna.” (Kemudian, keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika orang berdoa untuk matahari, sekitar waktu itu, dia membangunkan gadis itu lagi). Malotki kemudian mendeskripsikan dan menjelaskan berbagai ekspresi dalam Hopi yang menggambarkan waktu dalam bukunya.

Steven Pinker juga mengkritik hipotesis ini. Jika kita membutuhkan bahasa untuk berpikir, maka orang-orang yang tidak memiliki bahasa seharusnya tidak bisa berpikir, lalu bagaimana dengan bayi? Pinker kemudian mengutip Schaller yang menulis tentang Ildenfonso, seseorang yang pernah tidak memiliki bahasa.

Ildefonso adalah seorang imigran yang tidak menguasai bahasa apapun. Ildefonso kemudian mempelajari bahasa isyarat dan dia dapat berkomunikasi dengan Schaller tentang pengalaman-pengalamannya sebelum Ia mengenal bahasa.

Kritisi lain datang dari bidang pemrolehan bahasa kedua dan penerjemahan. Jika Hipotesis Sapir-Whorf terbukti benar, maka pemrolehan bahasa kedua dan penerjamahan akan menjadi tugas yang sangat sulit, bahkan dapat menjadi tidak mungkin.

Tetapi, tentu kita melihat ada banyak sekali orang yang menguasai lebih dari 1 bahkan 2 bahasa, dan karya-karya sastra, buku panduan, dan karya tulis lainnya yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Hipotesis Sapir-Whorf di Masa Kini

Selepas tahun 1960an, hipotesis ini kehilangan tempatnya dikarenakan gerakan baru yang dipelopori oleh Noam Chomsky. Gerakan baru ini mengedepankan sifat universal bahasa-bahasa yang ada. Klaim-klaim yang diberikan oleh pendukung hipotesis ini juga kemudian dipatahkan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Tetapi, hipotesis ini telah berubah dan mulai diterima kembali di ilmu Linguistik dan Psikologi. Hipotesis Sapir-Whorf seperti yang telah dijelaskan di atas kini dikelan sebagai Determinisme Kuat, dimana bahasa menentukan apa yang bisa kita pikirkan, sementara hipotesis yang diterima kini disebut Determinisme Lemah, dimana bahasa memiliki pengaruh terhadap apa yang dapat kita pikirkan.

Salah satu contoh positif dari Determinisme Lemah adalah soal warna. Winawer, et al (2009), misalnya, menemukan bahwa penutur Rusia dapat lebih mudah membedakan biru terang (goluboy, dalam bahasa Rusia) dan biru gelap (siniy) ketika keduanya dibandingkan, tetapi memiliki kesulitan untuk menentukan warna apa yang mereka lihat ketika keduanya berwarna biru terang atau biru gelap. Penutur Inggris, dilain sisi, tidak menunjukkan kemudahan ataupun kesulitan dalam situasi yang sama.

Hipotesis Sapir-Whorf masih hidup sampai saat ini, walaupun bentuknya sudah tidak sama seperti yang dahulu. Hubungan antara bahasa dan pikiran manusia masih terus menjadi rahasia. Setidaknya, sekarang kita tahu bahwa jawabannya tidak terletak pada Hipotesis Sapir-Whorf semata.

Referensi

  1. Contoh dalam bahasa Mohawk saya ambil dari https://en.wikipedia.org/wiki/Synthetic_language
  2. Deutscher, G. (2010). Through the language glass: Why the world looks different in other languages. Metropolitan books.
  3. Gilbert, A. L., Regier, T., Kay, P., & Ivry, R. B. (2006). Whorf hypothesis is supported in the right visual field but not the left. Proceedings of the National Academy of Sciences, 103(2), 489–494.
  4. Malotki, E. (2011). Hopi time: A linguistic analysis of the temporal concepts in the Hopi language (Vol. 20). Walter de Gruyter.
  5. Regier, T., & Kay, P. (2009). Language, thought, and color: Whorf was half right. Trends in cognitive sciences, 13(10), 439–446.
  6. Sapir, E. (1924). The grammarian and his language. American Mercury, 1, 149–155.
  7. — . (1929). The status of linguistics as a science. Language, 207–214
  8. Schaller, S. (2014). A man without words. Univ of California Press.
  9. Whorf, B. L. (1940). Science and linguistics (pp. 207–219). Indianapolis, IN, USA:: Bobbs-Merrill.
  10. — . (1950). An American Indian model of the universe. International Journal of American Linguistics, 16(2), 67–72.
  11. — . (1956). Language, thought, and reality: selected writings of Benjamin Lee Whorf. Edited by John B. Carroll.
  12. Winawer, J., Witthoft, N., Frank, M. C., Wu, L., Wade, A. R., & Boroditsky, L. (2007). Russian blues reveal effects of language on color discrimination. Proceedings of the national academy of sciences, 104(19), 7780–7785.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.