Sekedar Terlihat atau Substansi? Tentang Vulgarnya Kita Terhadap Konsep Seksisme
Semua orang yang peduli dan mengimpikan keadilan gender bersepakat bahwa seksisme adalah masalah yang harus kita pikirkan dan tindak secara serius. Seksisme adalah kerak peradaban yang membuat ketimpangan gaji perempuan dan laki-laki bertahan di tahun 2017; menjadikan seorang pelaku pelecehan seksual menjadi presiden di negara adidaya; dan kasus pelecehan seksual tidak pernah tuntas hingga korban tak pernah mendapat keadilan. Ia hadir ketika posisi Theda Skocpol sebagai perempuan pertama yang mendapat posisi professor permanen (tenure) di Departemen Sosiologi, Harvard University, dibatalkan karena dia dianggap bukan pencari nafkah utama (breadwinner). Skocpol kemudian berhasil mengambil hak tenure-nya setelah serangkaian investigasi di Harvard. Seksisme adalah sumpah serapah terhadap para gay ngondek. Seksisme juga hadir dalam ucapan yang seolah-olah membela perempuan, tapi menendang para lelaki, transgender dan interseks dalam gerakannya seperti “all men are trash”, “intersex itu tidak ada”, tanpa mengoreksi bahwa menjadi patriarkis bisa saja berbarengan dengan memiliki vagina.
Joan Scott, seorang sejarawan feminis, sudah dari dulu mengingatkan bahaya logika dangkal dalam menulis sejarah perempuan yang hanya sebatas membuatnya terlihat. Dalam buku Gender and The Politics of History, Scott dengan dingin menyatakan bahwa, “fakta-fakta baru barangkali bisa mendokumentasikan kehadiran perempuan dalam sejarah, tapi fakta ini tidak mengatakan apa-apa tentang pentingnya aktivitas perempuan di masa itu” (1999:3) dan apa makna kehadirannya di peradaban yang patriarkis — apakah perlawanan? Kepentingan di luar politik gendernya? Atau justru menguatkan patriarki? Pengungkapan perempuan dalam sejarah, tidak serta berarti kita telah melawan seksisme — jika kita tidak menganalisa kenapa, apa, dan bagaimana dia hadir dalam ruang sejarah tersebut, serta apa implikasi kehadiran data baru ini dalam mengungkap relasi gender dan kelas di sebuah masyarakat. Contoh paling sederhana adalah filem Siti yang katanya membawa narasi perjuangan perempuan karena ia hadir dalam tubuh perempuan. Namun, perempuan yang bagaimana?
Dalam magnum opus sejarah buruh Inggris, The Making of English Working Class (1978) oleh E.P. Thompson, narasi perempuan jelas ada di sana. Mereka adalah kelas pekerja. Tetapi yang menarik bagi Scott bukan apakah perempuan ada atau tidak. Tentu saja perempuan ada — dan mereka akan selalu ada. Itu bukan pertanyaan besarnya. Scott mengkritik E.P Thompson bukan karena ketiadaan perempuan, tapi bagaimana perempuan dinarasikan secara reduksionis melalui narasi kelas (1999:83). Ketika si perempuan dari keluarga buruh mendapati suaminya ditangkap keamanan kerajaan, ia mendadak sakit dan meninggal dunia ketika melahirkan — gambarannya adalah sebuah bentuk “rasa kasihan” (pitying) dan bernada mengagumi kemalangan perempuan (fetishizing the female suffering), sementara si suami digambarkan secara heroik. Di sinilah letak kekurangan kacamata sekedar asal memberikan perempuan tempat dan suara, tanpa memeriksa secara detil relasi gender apa yang sedang berlangsung dalam “perjuangan” buruh, misalnya dalam karya E.P Thompson.
Meskipun dalam beberapa kasus pemisahan seks secara biologis berguna dalam analisis kita terhadap gender, terkadang dua kutub laki-laki versus perempuan juga menyulitkan pemahaman kita akan gender. Gender bukan hanya cerita salah satu identitas seks. Gender dan seks sendiri, walaupun digunakan dalam ruang yang sangat dekat, artinya bisa berbeda. Dalam wacana sejarah feminis kritis, penolakan terhadap narasi laki-laki sebagai fokus utama cerita tidak didasari oleh “Representasi Perempuan” dalam sejarah, melainkan ketika berbicara mengenai perempuan, maka ia akan hadir satu paket bersama teman lelakinya. Kita tidak bisa membicarakan perempuan tanpa memahami sejarah lelaki, begitu pula sebaliknya. Gender adalah perangkat pengetahuan mengenai seks maupun seksualitas, dan bagaimana ia ditunjukkan. Oleh karenanya, gender selain sebagai identitas, adalah sebuah bentuk hubungan antara berbagai ragam pengetahuan seksual dan bagaimana ia berjalan di tengah masyarakat. Tidak ada dinamika gender yang mentok di satu identitas (perempuan/lelaki saja), mereka saling terkoneksi. Ketika berbicara gender, memang sering kali kita salah kira, bahwa itu adalah narasi perempuan. Padahal ilmunya sendiri jauh lebih rumit.
Studi gender di bawah feminisme punya lapisan keilmuannya sendiri. Dalam hal tubuh misalnya, banyak akademisi gender melebarkan sayap dan membahas konsep disabilitas dan bagaimana “ableism” atau rezim “orang-orang yang tidak difabel” (baik permanen atau tidak) yang menguasai layanan publik, diturunkan dari persepsi gender yang patriarkis. Berkembangnya ilmu feminisme sendiri inilah yang membuat seksisme bukan hanya permasalahan orang berjenis kelamin apa ditindas siapa, tapi ia berkembang menjadi permasalahan masyarakat yang tidak memberikan akses yang setara untuk orang-orang berdasarkan merit-based atau kecakapan individu, dan malah mengerdilkannya menjadi persoalan seks mana yang superior (dalam hal ini mayoritas adalah lelaki).
Maka call-out culture atau budaya “melabelkan” seksisme hari ini perlu kita tinjau secara serius pula. Beberapa waktu lalu, saya tak sengaja melihat akun @lawanseksisme. Menurut keterangan di laman media sosialnya, mereka berusaha melawan seksisme dengan mengarahkan jarinya ke panel yang diisi laki-laki semua.
Apakah hanya karena tak ada seorang pun perempuan dalam sebuah panel pendidikan publik maka ia otomatis adalah bentuk seksisme? Apalagi jika kita bersepakat dengan penjelasan di atas bahwa untuk melabeli seseorang/grup sebagai seksis butuh analisa yang dalam. Bagi saya tidak ada faedahnya memanggil orang sembarangan sebagai seksis hanya ketika kita tidak mengetahui proses diskusi apa yang terjadi dalam perumusan panel atau acara yang berisi laki-laki semua. Apakah mereka laki-laki? Atau sebenarnya seorang queer dalam kloset? Apakah laki-laki difabel tetap dianggap lebih beruntung ketimbang perempuan kelas atas tanpa keterbatasan fisik? Representasi yang membawa semangat feminisme sendiri belum tentu menuntut hanya keberadaan perempuan, tapi bisa juga keberadaan laki-laki pro-feminis, atau laki-laki difabel (yang perspektifnya dalam politik masih belum mendapatkan porsi yang tepat), atau laki-laki queer atau trans.
Alih-alih menunjuk dan memperkuat kultur public shaming yang tak sehat dan sepemahaman saya akan jadi senjata makan tuan ke depannya, mengapa kita tidak mempromosikan masyarakat yang menghargai kapabilitas individu di bidangnya, terlepas dia perempuan, lelaki, transgender, dan/atau queer? Tentu memberikan representasi bahwa perempuan hadir dan bisa unjuk gigi di ruang publik adalah hal yang baik, tetapi di titik mana representasi jauh lebih penting ketimbang kita berbicara substansi dari kehadiran perempuan maupun laki-laki di panel ilmiah? Penelitian Solidaritas Perempuan dan Search for Common Ground (2015) setelah pilkada dan pemilu 2014 menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tidak terlalu memusingkan gender/identitas seks kandidat. Mereka memperhatikan bagaimana kandidat berhasil menangkap kebutuhan masyarakat akar rumput. Penelitian ini dilakukan di tiga daerah dengan representasi perempuan paling rendah; Tabanan, Bogor, dan Lombok Barat. Dalam hal ini, pertanyaan Nancy Fraser (2012) menjadi menarik: apakah feminisme mau berhenti di politik rekognisi (bermain di representasi semata) atau mulai membicarakan secara serius redistribusi, termasuk memberikan pengetahuan anti-patriarki dengan cara dan tubuh manapun yang membelanya?
Tentu saja ada garis yang rancu antara seksime di ranah publik khususnya dalam bentuk produksi pengetahuan seperti panel-panel diskusi di tempat umum, tetapi saya rasa kita cukup cerdas untuk menolak pendapat bahwa semua panel lelaki cis hetero/gay dapat dibilang sebagai ruang yang seksis. Sebab, kehadiran perempuan di panel itu belum tentu membantu pendidikan tentang perempuan. Saya percaya ada laki-laki di luar sana yang berbicara feminisme jauh lebih baik dari saya yang seorang perempuan. Feminisme adalah ilmu pengetahuan, setidaknya bagi saya, dan ilmu pengetahuan tidak sepatutnya hanya dimiliki oleh satu kaum tertentu.
Saya paham betapa makin bertahannya patriarki di saat ini, berikut seksismenya. Tetapi kampanye reaksioner seperti contoh di atas tidak terlalu banyak membantu dalam memberikan pengetahuan tentang apa itu seksisme, rumitnya mempelajari gender, dan yang paling fatal — justru jauh dari cara “berpengetahuan feminis” yang mendengar, mendetil, dan memperhatikan aspek domestik yang tidak terucap di ruang publik — urung mendengar proses putusan seperti apa yang berjalan dalam membuat panel semua-lelaki. Para penyelenggara kegiatan temu ilmiah/seminar tentu tidak asing dengan cerita-cerita kecil seperti pembicara (perempuan) membatalkan kedatangan di menit terakhir, persoalan bayaran [1], dan hal-hal kecil lainnya. Tidak ada kewajiban panitia di ujung Banda Aceh sana mengundang seorang perempuan dari Skow hanya karena keahliannya, apalagi jika tidak ada dana untuk itu. Siapa yang mau membayar? Orang yang menuduh mereka seksis barangkali? Jika ada ahli nomor dua, dan kebetulan lelaki, di tempat yang dekat dan ia bersedia hadir, apa alasan rasional untuk tidak mengajaknya berbicara di depan umum?
Ada banyak perempuan di bidang keahlian tertentu; itu benar. Tapi visibilitas atau keterlihatan mereka tidak ditentukan dari panel semua-lelaki.
Saya terkadang geli dengan orang yang sembarang mengutip well-behave women seldom make history (perempuan baik-baik jarang membuat sejarah) (Tirto, 22 Oktober 2017) untuk membenarkan logika kehadiran perempuan yang rebel; perempuan yang hadir di depan umum karena memporak-porandakan struktur panel yang seksis. Ketika Ulrich mengeluarkan testamen itu, dia justru sedang menyindir sikap para feminis yang terus mempromosikan wajah perempuan “pembangkang” dan “melawan arus” untuk perjuangan. Ulrich justru berhasil membuktikkan bahwa representasi perempuan tidak melulu ala bad girl atau run the world Beyonce si kapitalis (dan perempuan non-kulit putih) itu. Dalam A Midwife’s Tale: The Life of Martha Ballard, Based on Her Diary, 1785–1812, Ulrich justru berhasil melihat, meminjam istilah Virginia Woolf, ruang milik si Martha Ballard sendiri yang memiliki ide-ide segar dalam menerapkan feminisme dalam ruang domestiknya; komunitas dan keluarganya. Mulai dari dapur bersama di gereja, doa bagi martir perempuan Kristen, hingga membuat obat herbal untuk menolak penemuan medis modern yang tidak menghormati alam.
Semua itu dilakukan tanpa ribut meminta ruang dan berkoar-koar siapa seksis siapa tidak. Karena mereka, para perempuan “well-behaved” itu sendirilah yang menciptakannya. Toh mereka menjadi feminis dan berjuang untuk anti-patriarki di ruangnya masing-masing. Dan kita tidak tertarik mendaku mana feminis yang oke, mana yang tidak.
Tentu saja kita tetap bisa menilai kapan suatu ruang publik menjadi seksis dan penting untuk terus menolaknya. Kasus paling ekstrim adalah membuat kebijakan tentang aborsi dan kesehatan reproduksi tanpa perempuan di dalam ruang para pembuat keputusan. Tetapi, itu adalah contoh yang jelas karena langsung berefek pada kebijakan publik dan ruang untuk protes yang sempit karena melewati birokrasi negara yang melelahkan. Bagaimana kita bisa melihatnya dalam ruang panel ilmiah yang rentan dengan “cerita-cerita kecil” seperti dipaparkan sebelumnya dan bisa dengan mudah dilawan dari dalam panelnya sendiri (misalnya dengan datang ke acara tersebut dan melawan argumen yang ternyata memang seksis)?
Saya tidak tertarik menjawab pertanyaan retorik di atas. Anda saja yang memberitahu saya.
Jo Pradigda, seorang difabel yang tidak terlihat (bertahan hidup adalah obat penahan rasa sakit), menghabiskan waktunya dengan tidur dan menonton video anjing di The Dodo.
Referensi
Scott, Joan W. Gender and The Politics of History. Columbia University Press, 1999.
[1] Saya sendiri secara pribadi pernah membatalkan kerjasama dengan seorang aktivis perempuan yang secara halus meminta bayaran untuk kampanye sosial dan seorang lagi tidak membalas setelah saya bilang ini kerja tanpa insentif. Setelah panik karena target aktivis perempuan yang saya dekati tidak memenuhi target, yang ada dan bersedia untuk tidak dibayar (karena memang tidak perlu kegiatan besar, cukup berdiskusi di sosial media sekali) dan menawarkan diri rupanya lebih banyak yang laki-laki.