Semangat Marsinah dalam Perjuangan Buruh Saat Ini

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
10 min readMay 31, 2017
Sumber: instagram @rudi_nofiandri

Jika kamu adalah buruh perempuan di Orde Baru (Orba), kamu akan menghadapi penindasan dari dua sisi, penindasan sebagai buruh dan sebagai perempuan. Di satu sisi, gerakanmu untuk melakukan tuntutan kolektif dalam serikat buruh dibatasi oleh pemerintah. Kegiatan untuk memberikan tuntutan secara kolektif oleh serikat buruh, seperti unjuk rasa, mogok kerja, dan aksi massa lainnya, dianggap sebagai kegiatan yang dapat menjadi sandungan untuk melanggengkan kekuasaan rezim Orba dan program-program yang ingin dijalankan rezim. Kepatuhan dari buruh-buruh terhadap agenda Orde Baru yang mengedepankan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah kebijakan yang harus diterima buruh, walaupun itu berarti kondisi kerja yang tidak layak dan pengupahan yang jauh dari kata cukup bagi kaum buruh.

Sebagai perempuan kamu juga akan mengalami penindasan berdasarkan gender yang kamu miliki. Nasionalisme versi Orba menuntut perempuan sebagai “penjaga budaya Indonesia” menjaga kodrat mereka sebagai perempuan yang memiliki karakteristik submisif, penurut, dan pasif secara politik. Gerakan perempuan yang bertentangan dengan apa yang dianggap kodrat ini dipastikan akan bernasib sama seperti Gerwani, dicap sebagai perempuan tidak bermoral, tidak beragama, dan disamakan dengan komunis yang perlu dibinasakan.Pembatasan ini juga terjadi dengan penyediaan ruang pemberdayaan yang dibentuk dan dikontrol pergerakannya oleh agenda pemerintah seperti Dharma Wanita dan PKK. Pemberdayaan yang akhirnya mereka berikan memang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan perempuan, namun organisasi ini juga yang memperkokoh peran gender tradisional di mana tugas utama perempuan tetaplah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Pemberdayaan ini akhirnya dibuat hanya karena ini menguntungkan rezim karena mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai usaha untuk melawan penindasan terhadap perempuan.

Gerwani Bukan Tukang Potong Alat Kelamin Jenderal, Itu Hanya Rekayasa! Oleh: Lidya Apriliani, mahasiswi S-1 Kriminologi Universitas Indonesia.medium.com

Dalam kondisi inilah Marsinah, seorang buruh pabrik jam, berjuang untuk kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan buruh- buruh lain di PT Catur Putra Surya. Beliau memperjuangkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp. 2.250 per hari yang sejatinya adalah imbauan Gurbenur Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok sebanyak 20%. Bersama dengan 18 buruh lain yang menjadi tim koordinator, Marsinah berada pada garis depan untuk memimpin ratusan buruh melakukan demonstrasi.

Dalam usahanya untuk mencapai tuntutannya, Marsinah dan para buruh PT CPS melakukan unjuk rasa dan pemogokan kerja sebagai pendorong daya tawar mereka untuk berunding dengan perusahaan. Mereka tahu, selama mereka tidak melumpuhkan sektor produksi perusahaan dengan tidak memberikan tenaga mereka, perusahaan tidak akan tertarik untuk berunding dengan mereka, terlebih ketika aparat penegakan hukum amat berpihak dengan para pemilik modal. Tuntutan mereka juga diperkuat dengan riset upah minimum di sekitar daerah Sidoarjo untuk menciptakan legitimasi kenaikan upah yang mereka tuntut.Represi dihadapi oleh Marsinah dan rekan-rekannya dari berbagai pihak, baik dari pihak perusahaan sendiri maupun dari pihak Komando Distrik Militer (Kodim) setempat. Walaupun demikian, mereka akhirnya berhasil membawa pihak perusahaan ke meja perundingan dan berhasil memenuhi tuntutan kenaikan upah pokok yang mereka perjuangkan. Terlebih lagi, beragam tuntutan untuk memperbaiki standar kerja seperti cuti haid, cuti hamil, dan upah lembur juga dijanjikan untuk dibicarakan lagi nanti. Saat itu sejatinya perjuangan buruh PT. CPS sudah usai dan mereka sudah kembali bekerja setelah melakukan unjuk rasa dan mogok kerja.

Namun ternyata mereka malah berurusan dengan Kodim Sidoarjo yang memanggil 13 buruh PT CPS dan memaksa mereka untuk menerima di-PHK. Hal ini sejatinya tidak sesuai dengan hasil perundingan dengan PT CPS yang sudah setuju tidak akan mencari-cari kesalahan buruh yang melakukan unjuk rasa untuk memecat mereka. Marsinah sendiri bukanlah satu dari 13 buruh yang dipanggil oleh kodim, tetapi dia menjadi salah satu buruh yang menghampiri Kodim untuk mengecek keadaan temannya. Saat itu ternyata ada salah satu teman mereka yang sedang disiksa oleh aparat Kodim.

“Kamu tidak usah demo lagi, kamu harus keluar dari pabrik tidak usah bekerja. Kamu tahu siapa yang ada di dalam itu. Dengar suaranya, dia itu sekarang disiksa. Kalau tidak mau, kalian semua nasibnya itu seperti yang ada di dalam,” kata Uus menirukan salah satu aparat Kodim waktu itu.

Berbekal surat pemanggilan Kodim dan surat pernyataan yang dibuat buruh untuk perusahaan, Marsinah berencana untuk kembali melakukan advokasi untuk keadilan bagi rekan-rekan buruhnya. Saya rasa saat itu Marsinah sudah tahu bahwa apa yang dia lakukan akan mengancam keselamatannya . Tapi dia memilih untuk terus berjuang karena solidaritas selalu dianggap dan menjadi nilai utama dalam gerakan buruh. Perjuangan buruh tidak dapat terjadi ketika buruh hanya mementingkan kepentingannya sebagai individu di atas kepentingan kolektif. Mengabaikan ketidakadilan yang dialami rekannya saat itu akan membuat pergerakan buruh kehilangan prinsip solidaritas yang menyatukan mereka melawan penindasan yang mereka alami.

Sayangnya, usaha-usaha Marsinah tersebut harus dibayar nyawa, Rabu, 5 Mei 1993 malam setelah Marsinah bertemu dengan buruh lain menjadi kali terakhir dia terlihat masih hidup. Selama empat hari dia menghilang dan baru ditemukan di sebuah gubuk di Hutan Wilangan dalam kondisi tak bernyawa dan sekujur tubuh penuh luka.

Pembunuh Marsinah sendiri sampai sekarang masih belum diketahui. Proses pengadilan yang menjadi isu nasional pun penuh dengan kejanggalan. Penangkapan yang dilakukan dianggap cacat hukum dan interogasi yang dilakukan terhadap 8 petinggi PT. CPS dan satu komandan rayon militer dilakukan dengan pemaksaan agar mereka mengaku telah bersekongkol membunuh Marsinah. Baju Marsinah yang menjadi barang bukti dibakar oleh pihak rumah sakit. Saksi yang menemukan jasad Marsinah tidak didatangkan dengan persidangan. Terdakwa yang kemudian divonis bersalah, akhirnya semuanya bebas tanpa syarat di Mahkamah Agung, yang berarti pada dasarnya secara hukum bukti masih belum berhasil menunjukkan bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan tersebut.

Mungkin selamanya kebenaran di balik pembunuhan Marsinah tidak akan terungkap. Sudah 24 tahun sejak pembunuhan Marsinah, yang berarti kasus ini sudah kadaluarsa menurut hukum. Andaikan mau dibuka kembali pun, ingatan mengenai kejadian itu perlahan terkikis oleh waktu. Barang bukti sudah nyaris mustahil untuk ditemukan jejaknya setelah begitu lama waktu telah berlalu. Keadilan dan kebenaran mungkin tidak akan kita dapatkan, namun hal itu bukan berarti semangat Marsinah sudah tidak relevan untuk kita bawa dalam perjuangan buruh saat ini.

Banyak hal yang sudah berubah sejak Orde Baru runtuh. Serikat buruh memiliki ruang yang lebih besar untuk menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Tidak ada lagi ancaman penculikan dari tentara dan polisi. Bahkan ada undang-undang yang melindungi hak buruh untuk berserikat dan melakukan demonstrasi terhadap pemilik perusahaan. Tapi mengklaim bahwa saat ini tidak ada represi dan pelemahan serikat buruh adalah sebuah klaim yang naif dan gegabah.

Secara institusi, penggunaan kekerasan oleh kepolisian diatur dengan peraturan yang sangat fleksibel dan subjektif. Berdasarkan Perkap №16 Tahun 2006, situasi unjuk rasa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu situasi hijau, kuning dan merah, Hijau berarti situasi unjuk rasa tertib, kuning berarti tidak tertib, merah berarti terjadi kerusuhan. Masalahnya di sini adalah deskripsi yang sangat tidak jelas mengenai apakah yang termasuk dalam kategori-kategori itu, di situ diatur mengenai apa yang seharusnya polisi lakukan tapi tidak menjelaskan situasi seperti apakah yang bisa membuat polisi merubah status dari hijau ke kuning, atau kuning ke merah. Semua bergantung dari pengamatan pemegang komando lapangan yang standarnya bisa berbeda-beda dari satu kasus ke kasus lainnya. Karena itu, kejadian seperti pembubaran dengan penggunaan kekerasan di demonstrasi damai atau pembubaran paksa demonstrasi yang sejatinya tidak melanggar hukum lazim terjadi di aksi massa.

https://www.youtube.com/watch?v=2QMjuBunoGo

Ancaman kekerasan terhadap buruh yang tidak sesuai peraturan juga kerap terjadi. Masih segar di ingatan kita kejadian penamparan yang dilakukan polisi terhadap buruh perempuan yang melakukan unjuk rasa bulan April lalu. Melihat kasus ini, mungkin banyak orang akan segera defensif dan mengatakan bahwa itu hanyalah sekedar kelakuan dari oknum kepolisian. Namun melihat banyaknya kasus yang sudah ada, dari kasus penamparan terhadap buruh perempuan, kasus penyebaran foto penggerebekan pesta seks, berbagai represi terhadap orang Papua yang menyuarakan diskriminasi yang mereka alami, hingga penyiksaan yang tak jelas dasar hukumnya kepada pelaku kriminal kecil seperti pencopet oleh para polisi, saya rasa patut dipertanyakan apakah daripada kesalahan oknum lebih tepat mengatakan bahwa ini adalah kegagalan besar kepolisian untuk mengontrol penggunaan instrumen kekerasan yang mereka miliki sebagai pelaksana hukum. Otoritas yang mereka miliki seharusnya ada untuk melindungi masyarakat dan melaksanakan hukum, bukan untuk mendiamkan suara yang berbeda pendapat hanya demi narasi kestabilan omong kosong yang cuma menyembunyikan diskriminasi yang terjadi bagi kaum-kaum yang termarjinalkan.

Dari ranah kebijakan pemerintah, pola kebijakan yang mengutamakan pelaku usaha dibandingkan buruh juga dapat kita lihat di beberapa tempat. Pengaturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 mengenai pengupahan berdasarkan inflasi membuat Dewan Buruh yang sebelumnya diikutkan untuk membahas upah yang layak berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak menjadi tidak dilibatkan. Implikasi dari kebijakan ini adalah hilangnya suara buruh dalam menyuarakan apakah yang sebenarnya patut dikatakan sebagai upah layak dan berapa jumlah kenaikan yang pantas untuk mencapai itu. Serikat Buruh juga dilemahkan relevansinya dengan menggeser mereka dari penentuan upah yang selalu menjadi isu utama bagi seluruh buruh.

Selain itu, kebijakan lain yang patut mendapat perhatian adalah peraturan mengenai buruh magang yang sekarang dipergunakan untuk mendapatkan buruh murah dengan jaminan minim. Peraturan Kemenaker 36 tahun 2016 yang memberikan kelonggaran menerima pegawai magang di atas 17 tahun dan memperpanjang kontrak magang melebihi satu tahun menjadi cara perusahaan untuk mendapatkan buruh yang dapat digaji di bawah upah minimum regional dan cara penyalur untuk mendapat untung dengan mekanisme pemotongan gaji pegawai magang. Tujuan kebijakan ini untuk melatih pencari kerja yang tidak punya keahlian kerja, pada akhirnya menjadi ruang untuk eksploitasi buruh yang tidak punya alternatif lain selain menyambung hidup dalam skema pemagangan eksploitatif ini.

Marsinah Hari Ini

Tantangan yang dialami saat ini, walaupun tentu berbeda dengan yang dialami di masa Orba dulu, memiliki pola yang mirip. Pemerintah yang menguasai instrumen kekerasan, seperti wewenang untuk memberikan ijin dan membubarkan unjuk rasa, menggusur warga demi pembangunan infrastruktur, dan mengintimidasi aktivis dengan ancaman kriminalisasi, demi kepentingan pemilik modal, menjadi halangan untuk buruh menyuarakan tuntutannya.

Jika ada satu pelajaran yang bisa kita ambil dari perjuangan Marsinah, hal itu adalah kondisi kerja dan pengupahan yang layak tidak akan pernah diberikan secara cuma-cuma oleh pemilik modal dan pemerintah. Lebih tepatnya, harga untuk sebuah hidup yang lebih baik dalam ruang kerja amatlah mahal. Kesejahteraan (dan kesetaraan) itu hanya bisa muncul ketika kita memperjuangkan hal tersebut dengan segala daya tawar yang kita punya. Pemilik modal yang hanya peduli dengan keuntungan yang dapat mereka raup selamanya tidak akan mau berhenti menganggap perempuan sebagai buruh yang tidak berharga hanya karena mereka dapat hamil, tidak akan peduli soal apakah buruh perempuan dapat memberikan ASI eksklusif kepada anak mereka, apalagi nasib buruh-buruh magang atau buruh di sektor informal yang nyaris tak memiliki perlindungan hukum, kecuali buruh perempuan menuntut dan melawan pemilik modal untuk menghentikan perilaku diskriminatif tersebut.

Pelajaran lain yang dapat kita petik dari sini adalah bagaimana solidaritas buruh seharusnya membuat perjuangan buruh melawan penindasan dijalankan bersamaan untuk memperjuangkan kesetaraan bagi kaum yang tertindas lainnya seperti perempuan dan kaum LGBT. Menyalakan obor Marsinah berarti mengingat perjuangannya yang memilih membela rekan buruh sesama buruh walaupun dia bisa saja diam dan terus bekerja dengan upah yang sudah dinaikkan. Berdasarkan semangat itu, tidak seharusnya perjuangan buruh abai untuk memperjuangkan penindasan yang spesifik terhadap gender dan seksualitas hanya karena penindasan itu secara pribadi tidak mereka alami.

Dalam kasus buruh perempuan misalnya, mereka mengalami beban ganda dalam perjuangan mereka melawan ketidakadilan yang mereka alami. Berjuang dalam serikat buruh bagi perempuan berarti menambah tugas yang mereka perlu lakukan dari mengurus keluarga dan bekerja, hingga berorganisasi. Ditambah lagi lingkungan sosial buruh, yang masih menjunjung peran gender tradisional, juga sangat jarang memberikan dukungan untuk aktivitas mereka di serikat. Belum lagi lingkungan kerja yang masih sarat akan pelecehan seksual terhadap buruh perempuan. Akan sangat sulit untuk bisa mengharapkan partisipasi buruh perempuan tanpa adanya kebijakan yang secara khusus menangani masalah ini dari serikat buruh.

https://medium.com/merah-muda-memudar/sebatas-selebrasi-atau-pengingat-kondisi-permasalahan-buruh-perempuan-hari-ini-16d82e2ea0f9

Buruh LGBT juga tidak dapat dipungkiri mengalami bermacam-macam penindasan di berbagai lapis. Ekspresi gender mereka membuat mereka lebih sulit untuk mendapat pekerjaan karena pemberi kerja yang kebanyakan transfobik dan homofobik. Saat diterima kerja pun mereka menghadapi pengucilan dari sesama buruh dan pelecehan seksual yang dilakukan atasan atau rekan sesama buruh. Bahkan di luar lingkungan kerja, mereka juga kerap kesulitan mencari tempat tinggal karena ditolak pemilik kos atau diusir dari tempat tinggalnya setelah orientasi seksual mereka diketahui. Karena penindasan ini, beberapa memilih untuk menyembunyikan jati diri mereka agar tidak mengalami penindasan-penindasan tersebut. Penindasan,lebih berlapis lagi dialami transgender yang tidak dapat menyembunyikan jati dirinya dan paling terlihat mencolok secara alami. Bukan cerita aneh ketika mereka banyak yang terpaksa menjadi pekerja seks komersial karena terbatasnya pilihan kerja .

Buruh seharusnya paling paham betapa menderitanya ketika tidak mendapatkan pekerjaan dan terpaksa hidup susah karena tidak memiliki pekerjaan. Namun, para buruh jugalah yang seharusnya paham betapa tidak enaknya ketika lingkungan kerja tidak bersahabat. Sudah lelah bekerja memenuhi target, dan juga pelecehan, dari atasan yang makin lama makin tak masuk akal malah dikucilkan dan dilecehkan oleh rekan sesama buruh yang ditemui setiap hari, apalagi ketika membuat kita terpaksa mencari nafkah di sektor yang kondisi kerjanya lebih buruk. Oleh karena itu, seharusnya adalah sebuah tanggung jawab moral untuk pergerakan buruh merangkul dan bersolidaritas dengan buruh LGBT yang mengalami penindasan lebih berat di antara kaum buruh lainnya.

Meskipun masih banyak PR yang harus dilakukan oleh pergerakan buruh, kita memiliki alasan untuk tetap optimis perubahan ke arah yang lebih baik akan terjadi. Di May Day tahun ini, kita dapat melihat ada aksi nyata untuk bersolidaritas dengan berbagai kelompok yang tertindas. Gerakan perempuan mendapatkan kesempatan untuk melakukan orasi di depan istana negara, bendera pelangi juga ikut berkibar di antara puluhan bendera serikat buruh yang turun ke jalanan, bahkan ada organisasi buruh yang membawa isu penindasan di papua sebagai tuntutan mereka. Menyalakan obor Marsinah berarti mengingat dan terus mempraktekkan semangat Marsinah untuk bersolidaritas memperjuangkan keadilan di tengah penindasan yang para buruh. Marsinah adalah perjuangan individual dan kolektif yang terus berdialog; ia sebagai buruh di bawah sepatu boots besi kapital bersama rekan-rekannya, dan sebagai seorang perempuan. Sebuah kengototan untuk membawa paket ‘kesejahteraan’ dan ‘kesetaraan’ di meja perjuangan yang sama. Dan kengototan ini adalah obor yang terus menyala dan menolak padam.

Charlie Sanjaya adalah mahasiswa Agribisnis IPB. Sekarang sedang menyesali penggunaan bio yang dia tulis untuk tulisan-tulisannya sebelumnya. Kritik dan saran bisa dikirimkan ke charliesanjayalie@gmail.com

Sumber Bacaan

Wieringa, S., 2003. The birth of the New Order state in Indonesia: Sexual politics and nationalism. Journal of Women’s History, 15(1), pp.70–91.

Douglas Wilson, I., 2006. Continuity and change: The changing contours of organized violence in post–New Order Indonesia. Critical Asian Studies, 38(2), pp.265–297.

Caraway, T.L., 2004. Protective repression, international pressure, and institutional design: Explaining labor reform in Indonesia. Studies in Comparative International Development (SCID), 39(3), pp.28–49.

https://indoprogress.com/2016/06/mencoba-orde-baru-sekali-lagi/

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501083700-20-50453/coba-selami-cerita-diskriminasi-bagi-buruh-pelangi/

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.