Hal-hal Kontemporer dalam Ruang Kota Indonesia

inez darmalia
Nekropolis
Published in
6 min readDec 6, 2017

More people have been to space than have gone to the bottom of Marianas Trench”

Banyak orang mengungkapkan bahwa manusia menghabiskan lebih banyak sumber daya untuk pergi ke ruang angkasa dibandingkan untuk mengeksplorasi samudera. Menurut saya, pernyataan tersebut dalam beberapa hal mejadi pantas untuk direfleksikan, karena memang benar bahwa kita seringkali terlalu sibuk mengejar sesuatu yang jauh untuk mendapatkan kondisi yang ideal, padahal yang perlu kita lakukan adalah memperhatikan sekeliling dan memaksimalkan kondisi yang kita miliki. Dalam hal ini, penelitian tentang perkotaan juga mengalami nasib yang sama seperti samudera dan Palung Mariana, dengan berbagai pembahasan mainstream media seputar pembangunan yang memunculkan hal baru dan menghilangkan hal lama.

Penelitian kualitatif itu sering dibully, ya saudara tau sendirilah kenapa. Padahal kalau tidak ada penelitian kualitatif, maka penelitian kuantitatif yang umumnya bersifat menguji juga tidak akan bisa dilakukan.

Melalui salah satu kuliahnya, Profesor Achmad Djunaedi semacam memberikan pencerahan kepada saya mengenai pentingnya penelitian dengan pendekatan induktif dan kualitatif yang bersifat studi kasus. Menyadari akan adanya suatu fenomena, lalu sekadar mendokumentasikan, berusaha mengerti secara dalam, dan mengambil pelajaran darinya. Tidak perlu muluk-muluk menguji kebenaran atau membuktikan baik tidaknya hal tersebut bagi suatu golongan atau pihak. Yang menjadi nilai tambah juga adalah bahwa penelitian seperti ini umumnya sangat anti men-generalisir, namun justru menonjolkan individualitas masing-masing fenomena. Penelitian semacam ini menurut saya bagaikan dorongan kecil yang menembus batas pengetahuan. Soliter dan tidak baku, namun dengan jumlah yang cukup, dapat mengulur garis akhir pengetahuan yang kini ada.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin membagi beberapa hal mengenai fenomena perkotaan berdasarkan beberapa penelitian yang saya pernah terlibat di dalamnya, yang penyelenggaraanya menggunakan metode studi kasus. Betapa banyaknya fenomena yang bersifat kontemporer, dan jika dilakukan lebih banyak studi, berpotensi menjadi gebrakan dan solusi berbagai masalah kita saat ini.

Urban Farming di Indonesia

Saya bersama dengan Fildzah Husna Amalina sempat jalan-jalan di sekitar Bandung dan Jogja untuk mempelajari suatu gerakan yang dinamakan Urban Farming (yang pernah ia ceritakan dalam tulisan ini). Ide mengenai hal tersebut berasal dari keinginan untuk lepas dari ketergantungan pangan kota terhadap desa, dimana selama ini sayur mayur desa bagaikan dieksploitasi oleh masyarakat kota dan harus terus menerus menyediakan produk dalam jumlah banyak. Sederhana memang, dan hal ini telah menjadi gerakan yang cukup diminati di Australia, seharusnya hal yang sebegitu positif dapat diadopsi tanpa ada banyak masalah bukan?

Ternyata gerakan yang sama menjadi sangat menarik jika diterapkan di Indonesia, dimana batas antara desa dan kota tidak begitu jelas, lahan di pusat kota sangat minim, dan belum lagi tanah yang seringkali sudah tidak begitu subur akibat penanaman padi intensif selama puluhan tahun. Menjadi hal yang lain pula saat kita melihat masing-masing karakteristik kotanya, bahkan antara Jogja dan Bandung pun memiliki bentuk urban farming yang berbeda dikarenakan perbedaan cuaca dan sosial masyarakat. Berbagai konteks yang berbeda-beda tersebut menjadi sesuatu yang menarik dapat menjadi beberapa penelitian baru.

Pojok menanam di Maleer, Bandung. Sumber: Pribadi

Fenomena Desa-Kota

Desa-kota di Indonesia umumnya sering diasosiasikan dengan wilayah pinggiran yang tidak semewah suburban. Bagai semang kehilangan induk, desa-kota bukan merupakan perkotaan yang ramai, namun bukan juga perdesaan yang asri. Namun jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, desa-kota berpotensi menjadi solusi untuk masalah aglomerasi kota, jika kita dapat mengidentifikasi nilai positif dan menjaga karakteristik desa-kota sebagai sesuatu yang terencana. Status pekerjaan ganda (siang sebagai pekerja di kota, sore sebagai petani di lahan sendiri), penguatan identitas masyarakat dengan sistem adat dan bertetangganya, dan improvisasi ‘lahan belakang’ menuju perkebunan dapat menjadi langkah-langkah baku dalam mempertahankan identitas masyarakat desa-kota sekaligus ruang fisiknya. Sehingga meski nilai lahannya menggiurkan, mereka dapat menampik godaan tersebut dan memilih cara yang lebih sederhana namun sustainable bagi seluruhnya.

Berapa kali kita menyaksikan kegagalan suatu kota dalam membendung pelebaran pertumbuhannya? Mulai dari Forbidden City yang mempunyai empat lapisan tembok pembatas, hingga Yogyakarta yang diisukan akan membangun outer ring road. Mungkin saja fenomena desa-kota dengan caranya dalam menguatkan identitas masyarakat lokal dapat menjadi suatu bentuk kontemporer dari greenbelt dalam Garden City.

Konsep Garden City oleh Ebenezer Howard. Sumber: Pinterest

Kampung Kota

Selama beberapa tahun kuliah di Jogja, saya baru mengenal konsep Kampung Kota, dan bagaimana jika diperbaiki sistem infrastrukturnya, akan menjadi model permukiman ideal yang mengedepankan ikatan sosial antar penghuni. Dari Profesor Bakti Setiawan saya mengetahui bahwa, kampung-kampung di Jogja bahkan menjadi model permukiman yang dipelajari oleh arsitek dan perencana dari luar Indonesia terkait budaya gotong-royongnya.

Selain dari pemenuhan kebutuhan dasar, beberapa kampung di Jogja bahkan bisa mem-branding dirinya dan mendapatkan tambahan pendapatan dari citra tersebut. Seperti Kampung Kauman yang memiliki spesialisasi dalam wisata kultural, atau Kampung Sukunan yang mengedepankan teknologi lokal untuk mengolah sampah di kawasannya. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang positif dan menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam masyarakat, apalagi dengan dorongan dari masyarakat luar yang mengampanyekan model residensial seperti kampung-kampung pionir ini.

Intelligent Transport System di Surabaya

Pernahkah kamu menonton film mata-mata dan melihat bahwa pekerja IT-nya mampu meretas sistem lampu merah di suatu kota dan memudahkan sang jagoan untuk kabur? Atau bagaimana polisi lalu lintas di negara maju dapat melacak pelanggaran yang pernah dilakukan seseorang hanya dari nomor identitasnya. Sebenarnya hal ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun seringkali stigma masyarakat memberi kesan bahwa hal tersebut sangat sulit dicapai oleh Indonesia. Padahal Surabaya telah menerapkan Intelligent Transport System (ITS) sejak tahun 2010, dan hingga tahun 2017 mengalami kemajuan yang sangat pesat hingga mendapatkan penghargaan dari nasional serta internasional.

Intelligent Transport System merupakan sistem yang mengawinkan sistem informasi dengan transportasi, dan sebenarnya sistem ini merupakan hal yang lazim di negara maju dan awal perkembangannya pun dapat di telusuri sejak tahun 1970-an di Amerika, Eropa, Jepang dan Australia. Sistem ITS menjadi suatu pembahasan menarik tersendiri ketika diterapkan di Indonesia, dengan sistem kelembagaan yang benar-benar berbeda serta dinamika pemerintahan yang berbeda pula.

Jika dilihat dari segi kelembagaan pemerintah kotanya, di negara seperti Amerika polisi berada di bawah walikota, yang berarti lebih mudah bagi walikota untuk menerapkan peraturan baru. Namun di Indonesia, polisi merupakan bagian dari POLRI yang skalanya langsung nasional. Berbagai dinamika seperti ini menjadi bahasan menarik tentang bagaimana mengadopsi teknologi dan ide dari luar negeri tanpa mengorbankan kultur dan budaya Indonesia. Di Surabaya, untuk mempermulus penerapan sistem, dibentuk suatu lembaga khusus di bawah Dinas Perhubungan Kota Surabaya yang dinamakan Surabaya Intelligent Transport System (SITS).

Kantor Surabaya Intelligent Transport System di Terminal Bratang. Sumber: Laman Facebook SITS — Surabaya Intelligent Transport System

Selain dari contoh-contoh topik yang saya paparkan sebelumnya, masih banyak fenomena perkotaan yang sangat menarik untuk dibahas. Ini menjadi kelebihan yang dibawa penelitian bersifat eksploratif dan kualitatif, dimana kita tidak perlu memusingkan hal-hal seperti variabel yang dapat dikontrol, namun lebih kepada mendokumentasikan dan menginterpretasikan unit penelitian berdasarkan pengertian kita sendiri. Meski begitu, tetap ada beberapa protokol yang dapat menjadi pedoman menjalankan penelitian jenis ini, seperti yang dikemukakan dalam buku-buku yang ditulis oleh Yin, Berg, Creswell, dan kawan-kawannya.

Referensi

  1. Auer, A., Feese, S. and Lockwood, S. (2016) History of Intelligent Transportation Systems.
  2. Nowacki, G. (2012) ‘Development and Standardization of Intelligent Transport Systems’, International Journal on Marine Navigation and Safety of Sea Transportation, 6(3), pp. 403–411.
  3. Yin, R. K., 2003. Case Study Research: Design and Methods. 3rd ed. London: Sage Publication.
  4. Artikel-artikel:

--

--