Jakarta: Hasrat dan Ketakutan

Sebuah senandika mahasiswa rantau

Gehitto
Nekropolis
5 min readFeb 23, 2018

--

Foto Oleh Gehitto

Pernah suatu kali dalam sebuah sesi wawancara, saya ditanya berasal dari mana. Saya jawab dengan segala konsekuensi yang saya sudah tau akan stereotype daerah asal saya. Benar saja setelah saya menjawab pertanyaan tersebut, ia membalasnya dengan “Ohh anak ‘gue-elo’”. Untungnya, tidak sebernada sinis sebelum-sebelumnya. Namun lucu.

Kemudian saya bertanya-tanya dalam diri “apa itu ‘anak gue-elo’”? Saya sempat gugling istilah tersebut — mungkin memang ada istilah baru yang lagi hype yang saya tidak tahu. Lalu yang muncul adalah blog-blog pribadi remaja yang sedang mencurahkan isi hatinya karena “elo-gue” kini berubah menjadi “aku-kamu”…

Itu hal lain.

Dalam kesempatan yang berbeda, orang pernah tidak percaya saya berasal dari daerah saya tersebut. Menurutnya saya terlalu ‘kumuh’ untuk ukuran manusia dari kota besar sekelas Jakarta.

Kemudian saya semakin penasaran dengan diri saya sendiri. Seperti apa saya di mata orang lain? Pemikiran seperti apa yang muncul di kepala mereka ketika bertemu dengan saya? Apa yang mereka harapkan dari saya yang lahir dan besar di kota besar? Apa saya tidak merepresentasikan asal tempat dimana saya dilahirkan? Atau sebaliknya. Atau memang tidak perlu, karena memang tidak ada. Atau masyarakat telah membuat sekat-sekatnya sendiri dan membawanya ke publik? Atau memang benar apakah publik mempunyai template tertentu untuk suatu daerah tertentu yang harus atau mau tidak mau saya penuhi? Lalu pertanyaaannya lagi, lalu siapakah sebenarnya saya dan siapa saya di bumi ini? Faktisitas saya terbentuk. Sartre baru saja mempertanyakan eksistensi saya di tengah masyarakat yang cenderung deterministik. Ini akan sangat seru jika dibahas secara filsafat.

Lagi-lagi itu hal lain.

Kemudian kita bicara sedikit lebih jauh,

Memang siapa yang disebut orang Kota dan siapa yang disebut orang Desa?

Ada orang kota yang tinggal menetap dan bekerja di kota dan ada orang desa yang harus bolak-balik mencari nafkah di kota atau sebaliknya. Ada orang desa yang punya rumah di kota dan bekerja musiman di kota dan ada orang desa yang mempunyai rumah peristirahatannya di desa namun bekerja di kota. Dan ada orang yang terjebak dengan hal-hal tersebut.

Pertanyaannya, apakah yang membedakan orang desa dan orang kota? Tempat tinggal? Pekerjaan? Cara berpakaian? Isi kepala? Cara ia bertutur dan berjalan?

Kita semua menatap layar kaca televisi yang sama, menikmati listrik negara yang sama dan memakai provider telepon genggam yang sama, dan hormat di bawah bendera yang bewarna sama. Mudik hanyalah peristiwa simbolik yang mengukuhkan arus bolak-balik setahun sekali tersebut, di antara ratusan arus yang sebenarnya juga terjadi pada hari-hari biasa.

Desa di hulu, kota di hilir, kembali bersatu. Kota berhulu pasar, pasar berhilir kota. Desa kampung halaman, penyangga pangan kota. Orang kota punya sawah di desa. Orang desa punya kos-kosan di kota. Semuanya satu saling timbal balik dan memiliki. Batas antar keduanya tidaklah jelas. Alhasil semua orang kota itu Ndeso dan orang desa itu Ngota.

Semuanya bernada positif.

Orang kota yang busuk
Kering kerontang
Gembrot tidak pedulian
Kesepian
Budak mesin dan kapitalisme
Borjuasi yang membentuk peradaban
Ruang konsumtif yang menggerogoti dirinya sendiri

Begitukah nyata benar adanya?

Pada suatu sore yang tenang di Jakarta. Kendaraan melaju pelan dan gerimis halus membasahi jalan dan badan-badan kendaraan pribadi yang tersendat menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Tampak lalu-lalang orang orang pulang kerja membawa tas mereka yang hitam dan besar-besar. Seperti tas-tas anak sekolah dasar negeri yang harus hitam dan mereka berseragam. Berjalan bergerombol dengan wajah dan kesah yang sama. Terburu-buru, berdesakkan, dan linu di bagian tubuh yang sama.

Kemudian seorang teman menghampiri saya. Ia tampak kenyang setelah menikmati nasi goreng tek-tek di pinggir jalan, di daerah Blok M, yang dipenuhi dengan bajaj biru mengetem.Ia juga tampak kelelahan dan mengeluh ingin pulang.

Bagi ia, kata “pulang” mempunyai dua arti. Pulang ke kos-nya di Gondangdia dan kembali pulang ke kampungnya (mudik) di Yogyakarta seperti yang orang biasa lakukan menjelang Lebaran atau libur panjang tiba.

“Jakarta semakin macet tiap hari. Orang-orangnya semakin ganas. Pada kurang piknik”. Begitu terus ia setiap hari katakan. Hidup dari dan tetap mengeluhkan kota ini. Walaupun ia bukan berasal (lahir) di Jakarta. Namun ia memaki dengan semangat dan mencari uang dengan giat di kota ini.

Bagaimana orang seperti ia bisa merasa dirinya sebagai “orang Jakarta”? Bagaimana ia bisa merasa sayang akan taman-taman kota Jakarta, drainase-drainase yang ia langkahi setiap hari, pepohonan, jembatan layang, bunga ungu di median Jalan Sudirman, tetangga, pedagang kaki lima, dan bangunan-banggunannya? Saya juga tidak tahu.

Baginya Jakarta tak lebih dari wilayah yang terdiri dari mesin-mesin tanpa arti. Tidak punya jiwa dan ruh serta visi yang jauh untuk penduduknya. Hanya sebuah sistem besar yang bisa memproduksi apapun. Barang mentah, barang olahan, setengah jadi, jadi, sangat jadi, jadi-jadian, hiburan, pendidikan, kuliner dan lain sebagainya. Jakarta memang menyajikan banyak hal, tapi adakah sesuatu yang membuat Kota Jakarta unik dan berharga untuk dipertahankan atau diteruskan?

Teman saya tersebut menjawab “tidak ada” dengan terus memaki dan menggali sesuap nasi dari kota ini.

Ia memang jenis orang yang seperti kita juga, menyimpan kepusingan dan kegelisahan yang sama. Seseorang yang tak cukup mencintai tempat asal, tapi juga gagal menambatkan hati ke tempatnya yang baru. Jakarta toh hanya menadahi ia, tak membentuk. Sebaliknya, ia cuman mengakomodasikan tuntutan-tuntutannya tapi tidak mengasimilasikan diri dengan lingkungan barunya.

Di Jakarta saya memang tidak hanya menyaksikan proses urbanisasi, tapi juga proses ruralisasi: suatu arus manusia dan cara hidup yang masuk ke dalam kota namun malah membuat kota itu seperti udik dengan jumlah kemiskinan dan masalah sosial lainnya, dengan kemacetan dan pencemaran udara bersihnya, dengan politik dan ketidakbebasannya.

Apa yang pernah dikatakan dosen saya, memang benar ada fenomena ‘urbanisasi semu’ di kota-kota di Indonesia. Mungkin secara landscape sudah kota tetapi mental dan perilaku penghuninya masih purba.

Kekinian kota Indonesia

Dalam sejarahnya, kota dianggap sebagai lambang kebebasan dan peradaban. Tapi apa daya sebuah kota di dunia ketiga di abad ke 20 seperti Jakarta. Benteng-benteng dan bangunan yang menyimpan peristiwa penting bangsa dalam membangun ruh kolektif masyarakat, rasanya telah kalah dan lenyap. Ia bukan dikalahkan oleh pasukan Mataram. Ia dikalahkan oleh sesuatu yang lain yang lebih kuat: ia terdesak oleh kenyataan bahwa kota di Indonesia tidak bisa mandiri. Ia dikelilingi dan akhirnya dikelola, oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik disekitarnya.

Kota di Indonesia tidak bisa menjadi sebuah arena yang mempunyai ciri kebebasan dan semangat yang khas tersebut. Ia hilang dalam sejarah. Ia tenggelam dalam remang-remang pusaran kebijakan pembangunan yang pragmatis. Ia tidak seperti suatu watak yang dalam sejarah, khususnya di Eropa telah menyebabkan kota menjadi sumber kebebasan, dan penggerak kemajuan bangsa. Kota disana memang lain, ia hadir dan kukuh sebelum teritorial tumbuh dan jadi.

Kota-kota seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan. — Marco Polo

Saya lalu ingat teman saya tesebut — yang memaki dan mencari uang dengan giat di Jakarta. Hasratnya mungkin hasrat lain, ketakutannya mungkin ketakutan yang lain. Sehingga ia tak merasa ikut menjadikan Jakarta.

Referensi

Kusumawijaya, Marco.(2006). Kota Rumah Kita. Jakarta: Borneo Publications.

Esai “Kota” oleh Goenawan Mohammad

--

--