Jalur Evakuasi Bencana ala Kampung Kota

inez darmalia
Nekropolis
Published in
4 min readMar 2, 2018

Artikel ini bercerita tentang inisiatif pengadaan jalur evakuasi oleh sebuah kampung di Yogyakarta, serta kemiripannya dengan sebuah model jalur evakuasi di Washington. Tentu saja kampung Sorogenen bukan satu-satunya yang melakukan hal tersebut, namun melaluinya kita dapat merefleksikan kesiapan perencanaan kota dan neighborhood kita sendiri dari bencana.

“Great acts are made up of small deeds” -Lao Tzu

Pedestrian Flow-path Modelling

Berawal dari tugas kuliah mengenai mitigasi dampak pembangunan New Yogyakarta International Airport dimana kami secara berkelompok ditugaskan untuk membahas mengenai proyek tersebut dari kacamata keilmuan masing-masing (dalam hal ini, saya adalah urban planning), saya menemukan studi mengenai model alur pedestrian dengan prinsip evakuasi tsunami, yang dapat dilihat di sini. Riset yang berlokasi di Washington tersebut bertujuan untuk menyediakan model geo-spasial alur evakuasi pejalan kaki dari bahaya tsunami. Riset tersebut berfokus pada komunitas yang tinggal di pinggir pantai daerah barat daya Grays Harbor di Washington. Secara general, berikut langkah-langkah yang dilakukan:

  1. Pemetaan jalur evakuasi yang paling efektif dari zona rawan tsunami hingga ke arah dataran tinggi menggunakan model geo-spasial, anisotropic, dan jarak jalan. Lalu menentukan kantong evakuasi dan mengarahkan neighborhood yang memiliki jalur evakuasi yang sama ke area aman
  2. Perkiraan jumlah orang yang akan melewati masing-masing jalur evakuasi dan yang akan datang ke titik kumpul. Informasi tersebut akan digunakan untuk mengukur kebutuhan shelter dan bantuan
  3. Penentuan jalur-jalur yang memiliki resiko kerusakan karena dampak gempa bumi, yang akan berpengaruh pada kemampuan individu untuk mencapai tempat aman
  4. Aplikasi dari hasil analisis terhadap rencana respon bencana, serta rencana tata ruang jangka panjang untuk meningkatkan resiliensi komunitas.
Peta area studi di Grays Harbor, Washington. Sumber: International Journal of Disaster Risk Reduction 18 (2016) 41–55

Meskipun menarik, ia jadi sesuatu yang “wajar” saja mengingat Washington merupakan salah satu daerah penting di Amerika yang tentunya harus memiliki perencanaan kota yang matang.

Kampung Sorogenen

Membaca jurnal tersebut, saya jadi ingat sekitar setahun sebelumnya, saya bersama beberapa teman melakukan wawancara mengenai Kampung Hijau untuk artikel RUANG (hlm 7). Kami mendapat kesempatan mewawancarai Ibu Sugiyanti, yang bersama suaminya merupakan pelopor dari gerakan kampung hijau di Sorogenen.

Di sela pembicaraan mengenai betapa kampung tersebut dengan progresif telah meraih berbagai penghargaan dari pemerintah dan swasta, Ibu Sugiyanti membeberkan tentang keinginan Kampung Sorogenen untuk mendapatkan titel ‘Kampung Tangguh Bencana’. Masyarakat awam mungkin akan berfikir yang muluk-muluk (bahkan menjadi pesimis) terkait titel terkait. Bagaimana hal tersebut akan menghabiskan banyak tenaga dan sumber daya, atau membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan untuk mencapai ‘Kampung Tangguh Bencana’.

Ternyata jawaban Ibu Sugiyanti sangat sederhana. Mereka memetakan jalan-jalan kecil di kampung tersebut dan membuat jalur evakuasi yang pada saat itu, untuk mempersiapkan diri jika suatu waktu terjadi kebakaran. Mereka mengadakan simulasi kebakaran, dengan aktif mensosialisasikan langkah-langkah yang harus dilakukan ketika terjadi kebakaran, serta membuat berbagai signage jalur evakuasi dan titik kumpul.

Jalan-jalan sempit dan signage di Kampung Sorogenen. Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016

Terdengar familiar?

Prinsip dasar dari mitigasi bencana sendiri memang untuk mengurangi resiko dampak bencana, sehingga kadang yang tidak kalah penting dari pencegahan bencana adalah persiapan untuk mengurangi jumlah korban dengan sebesar-besarnya. Yang membuat saya pribadi cukup terkesan adalah kesadaran dari warga Kampung Sorogenen dan keinginan mereka untuk bergerak mengatasi masalah yang ‘mungkin’ dihadapi, meski dengan aksi-aksi sederhana.

Saya pernah mengungkapkan dalam tulisan saya mengenai betapa kampung-kampung di Yogyakarta telah menjadi sorotan masyarakat luar negeri di sini. Bagaimana dengan segala ketidak-glamorannya, kampung kota masih tetap berfungsi dengan baik, bahkan memunculkan inovasi-inovasi yang patut diacungi jempol. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan spasial di Indonesia, secara informal mulai mengejar kualitas perencanaan spasial yang formal. Selain itu, orang-orang seperti Ibu Sugiyanti dan warga Kampung Sorogenen ini pun bersama-sama dapat menjadi ‘sentilan’ bagi pemerintah dan kita sendiri agar semakin aware dengan keberadaan perencanaan bottom-up dan perencanaan partisipatif.

Referensi:

Wood, N. et al. (2016) ‘Pedestrian flow-path modeling to support tsunami evacuation and disaster relief planning in the U.S. Pacific Northwest’, International Journal of Disaster Risk Reduction. Elsevier, 18, pp. 41–55

--

--