Angel Sahupala: Ibu Jenderal Waria

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
11 min readMar 12, 2024
Ilustrasi Angel Sahupala karya Gio Austriningrum.

“Kalau saja ada semacam lokalisasi (tempat/wadah), kehadiran kami akan tampak lebih positif…. Itu bisa menjadi tempat kaum waria untuk berkumpul, misalnya tempat arisan dan kegiatan lainnya.”

Himpunan Waria atau Hiwaria merupakan istilah generik yang pernah digunakan dalam penamaan organisasi, kolektif, atau perkumpulan transpuan di Indonesia. Hiwaria DKI Jakarta (Hiwaria Jakarta) maupun Hiwaria Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Hiwaria MKGR) merupakan organisasi transpuan besar yang pernah ada di Indonesia. Majalah Matra edisi Februari 1994 pernah menyinggung bahwa Hiwaria MKGR pernah memiliki anggota hingga sekitar 4.500 orang hanya di Jakarta ketika jumlah transpuan di kota metropolitan itu diprediksi mencapai 10 ribu orang. Pada buku berjudul Kami Bukan Lelaki, Kemala Atmojo mengutarakan bahwa Hiwaria awalnya merupakan perubahan nama dari organisasi yang sebelumnya ada, yaitu Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) yang lahir pada 1973. Pergantian nama itu terjadi tahun 1979 ketika Mirna Martinely (Mami Mirna) menjadi ketuanya untuk menggantikan Maya Puspa (Mami Maya). Namun, organisasi transpuan di Indonesia punya keunikan dan kompleksitasnya yang menurut saya memang tidak mudah untuk bisa dipetakan, apalagi disederhanakan dengan mengacunya pada satu referensi saja. Meski begitu, upaya tersebut seharusnya bukanlah hal yang mustahil, melainkan punya tantangan yang khas.

Seiring berjalannya waktu, pada era 1980-an dan 1990-an, Hiwaria MKGR berkembang tidak hanya di Jakarta, melainkan pula berbagai daerah. Di sejumlah kelompok, Hiwaria MKGR kerap disebut dengan HMKGR. Ketika menulis ini, penelusuran saya terhadap asal-usul berdirinya Hiwaria Jakarta maupun Hiwaria MKGR masih belum terang untuk menjawab pertanyaan bagaimana keduanya pada mulanya terbentuk. Apakah keduanya saling terhubung atau terpisah? Apakah Hiwaria kelak berinisiatif untuk bergabung dengan MKGR atau MKGR yang mengajak Hiwaria untuk bergabung? Atau, apakah memang ada dua versi Hiwaria yang sama sekali berbeda: Hiwaria Jakarta dan Hiwaria MKGR? MKGR sendiri pernah menjadi sayap Golongan Karya (Golkar) dan partai politik peserta Pemilu 1999. Pada awalnya, MKGR didirikan oleh kalangan militer, tepatnya R. H. Sugandhi Kartosubroto pada 3 Januari 1960. Salah satu sosok yang pernah ambil bagian dalam kepemimpinan MKGR, ialah Mien Sugandhi (Siti Aminah Sugandhi), istri R. H. Sugandhi Kartosubroto, yang menjabat sebagai Anggota DPR dan MPR periode 1977–1993 serta Menteri Negara Urusan Peranan Wanita periode 1993–1998. Meski nama Mirna kemudian masih sering disebut sebagai “ketua waria” oleh berbagai media dan komunitas, namun sosoknya tak dilekatkan pada peran pemimpin Hiwaria MKGR yang berkembang sebagai sebuah organisasi hingga memiliki berbagai cabang di level provinsi dan kabupaten/kota selayaknya struktur organisasi partai politik. Hiwaria MKGR di ibu kota seringkali disebut sebagai Hiwaria Pusat — terkadang juga Hiwaria Jakarta — dengan penamaan formalnya adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hiwaria MKGR, sementara di level provinsi dan kabupaten/kota terdapat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Di Jakarta, Hiwaria MKGR pernah dipimpin oleh Angel Sahupala.

Angel Sahupala dikenal oleh kawan-kawan transpuan dengan panggilan Mami Angel. Dalam berbagai arsip, nama depannya kerap ditulis dengan nama Angelia atau Angeliq, tetapi pada kartu namanya ia menuliskan secara lengkap namanya dengan Angelie. Sejak usia belia, Angel telah menyadari kalau dirinya berbeda. Ia lari dari rumah orang tua ketika umurnya masih 12 tahun karena tidak ingin membuat mereka malu pada tetangga dan masyarakat sekitar dengan memiliki anak transgender.

Potret Angel Sahupala. Sumber: MATRA No. 91 edisi Februari 1994.

“Saya sadar bahwa kelainan yang ada pada saya akan menjadi masalah buat keluarga cepat atau lambat. Waktu itu orang tua saya memang bisa mengerti,” katanya seperti dikutip pada buku Apa yang Anda Ketahui Mengenai: Kehidupan Transexual dan Waria (1991). “Tapi apa mereka bisa mengerti selamanya, kalau setiap hari mendapat ejekan? Itu saya yang ragu.”

Kala itu, ia akhirnya memutuskan menyendiri dengan berlabuh di Surabaya. Angel tetap melanjutkan sekolah di sana. Ia bisa membiayai hidup dan sekolahnya secara mandiri dengan bekerja di salon.

Menurut informasi dari Tina Lopez (Mami Tina), seorang karib yang pertama kali mengenalnya di Kota Pahlawan, Angel berasal dari Banjarmasin dan pergi merantau ke Jakarta ketika Mami Tina mengajaknya untuk bekerja bersama di Sariayu Salon, kemungkinan terjadi di atas tahun 1972. Saat Mami Tina berhenti bekerja dan pulang ke kampung halamannya di Cilacap tahun 1975, ia mengabarkan kalau Angel masih terus meniti karier di salon tersebut sebagai perias dan penata rambut.

Pada era 1970-an, Angel sempat bergabung dengan Fantastic Dolls, grup hiburan yang terdiri dari para transpuan dan dipimpin oleh Mami Mirna. Bersama grup tersebut, sosok Angel semakin dikenal luas. Ia bahkan sempat tayang sebagai kameo pada scene awal dalam Akulah Vivian, sebuah film biografi (biopic) yang berkisah tentang pergulatan transpuan Vivian Rubiyanti dalam keluarga, asmara, dan perjuangan afirmasi gendernya sebagai perempuan (dulu disebut “operasi kelamin”). Dalam film tersebut, Angel tampil sebagai transpuan dan namanya disebut beriringan dengan sembilan transpuan lainnya dengan keterangan sebagai “wadam-wadam ibu kota.”

Karier Angel bersama Fantastic Dolls tidak berlangsung lama. Mami Tina mengungkapkan bahwa kemungkinan Angel tidak memiliki kecocokan dengan Mirna dalam mengelola grup transpuan paling tenar sepanjang 1970-an dan 1980-an tersebut. Meski begitu, Angel tidak lantas berhenti untuk melakukan berbagai pertunjukan di Jakarta. Ia kemudian mendirikan sendiri kelompok hiburan dengan nama Blue Angel’s yang berkantor di kediamannya di Perumahan Sunter Hijau, sebuah kawasan permukiman kelas menengah atas di Jakarta Utara kala itu. Blue Angel’s juga menyediakan penyewaan kostum yang ia rancang sendiri bagi kawan-kawan transpuan yang hendak pentas di panggung atau show.

Dari kabar yang bisa saya dapat, pada tahun 1979, Angel menjalani operasi penyesuaian kelamin di Singapura ketika usianya genap 30 tahun.

Kartu nama Blue Angel’s. Sumber: Arsip pribadi Tina Lopez.
Kartu nama Angel Sahupala. Sumber: Arsip pribadi Florens Lee.

Nama Angel Sahupala kemudian telah amat dikenal di berbagai kalangan dan media massa pada era 1990-an. Selain tenar di antara bermacam komunitas transpuan di dalam dan di luar Jakarta, salonnya juga populer di kalangan artis dan industri periklanan untuk jasa makeup. Posisi strategis yang diembannya dalam organisasi yang terhubung dengan para pejabat dan petinggi militer di masa Orde Baru, yaitu Hiwaria MKGR, tentu saja membuatnya punya banyak relasi dan pengaruh besar.

“Aku pernah punya foto Mami Angel salaman dengan Presiden Soeharto,” ucap Florens Lee, seorang transpuan yang turut membangun dan memimpin Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati (IPOOS), ketika saya mengajaknya berbincang tentang Angel pada suatu hari. Kak Florens — begitu saya biasa menyapanya — mengatakan kalau dulu ia dan kawan-kawan transpuan kerap menjuluki Mami Angel sebagai “ibu jenderalnya waria.” Selain berparas cantik, ia punya kecakapan dalam berucap dan berperilaku. Angel jugalah yang seringkali menjadi pelindung komunitas transpuan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan aparat penegak hukum di Jakarta, khususnya razia transpuan karena ketiadaan KTP maupun razia pekerja seks di sejumlah area mangkal atau transaksi seks. Meski tidak mengidentifikasi diri sebagai pekerja seks, Angel mengakui kalau dirinya di kala muda juga kerap ke Taman Lawang untuk mencari teman kencan.

Angel Sahupala bersalaman dengan Presiden Soeharto didampingi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi di Istana Negara pada 13 Juli 1994. Sumber: Arsip pribadi Florens Lee.

Ketika ditanya tentang alasan terkait dengan identitas dan ekspresi gender sebagai transpuan, ia pernah bilang, “Kami memperoleh kepuasan tersendiri dengan tampil seperti itu.” Pada berbagai kutipan arsip wawancara media, perempuan kelahiran tahun 1949 itu juga sering memberikan penegasan dengan bilang bahwa jiwanya adalah perempuan.

Dalam kesehariannya, Angel tidak hanya telah melakukan tindakan-tindakan revolusioner terhadap komunitas transpuan, khususnya dalam membangun organisasi yang besar dan kuat sebagai wadah perjuangan hak-hak transgender, melainkan pula hal-hal kecil yang kemudian turut mengubah atau menantang pandangan orang terhadap sifat-sifat keibuan (motherhood) yang normatif. Ketika saya menggali tentang sosoknya, tak sedikit kawan-kawan transpuan yang menyinggung Angel sebagai mami bagi mereka. Angel kemudian juga punya anak-anak tiri yang ia rawat selayaknya seorang ibu mengasuh anak-anaknya.

“Saya memang kepengen sekali mempunyai anak, itu normal karena jiwa saya adalah perempuan,” katanya.

Potret Angel ketika berusia muda (kiri) dan senior (kanan). Sumber: Arsip pribadi Tina Lopez.

Hal yang senada terkait dengan kesan Florens terhadap Mami Angel, juga diutarakan oleh Madam Seroja (Devi Bernadette), seorang transpuan pekerja seni yang tergabung dalam Sanggar Seroja. Devi pernah menjadi bagian dari kelompok transpuan yang memiliki keistimewaan untuk bisa mangkal di Taman Lawang. Ia tentu saja pernah mengenal Mami Angel yang ia gambarkan “berwibawa sekali, tinggi, cantik, pewong.” Yang Devi maksudkan dengan pewong mengacu pada penampilan selayaknya perempuan cisgender yang feminin dan berparas cantik. “Ia tidak ber-makeup medok, tidak seronok…. Dulu, aku melihat dia pakai blazer selayaknya perempuan-perempuan terhormat. (Ia) beda! Kita jadi segan,” ujar Madam.

Angel yang menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari perguruan tinggi negeri di Jawa Timur itu, punya julukan sebagai Gina Lollobrigida dari Gondangdia. Gina Lollobrigida adalah seorang pemain film dan model asal Italia yang dikenal sebagai simbol seks pada era 1950-an hingga 1960-an, sedangkan pelekatan Gondangdia kemungkinan mengacu pada lokasi salonnya di Jakarta. Namun, tak hanya soal wajah yang cantik, Angel juga punya kecakapan dalam membangun atau menyesuaikan karakter dan penampilan diri selayaknya ibu-ibu pejabat di masa Orde Baru sebagai sebuah pendekatan atau strategi. Kedekatan Kak Florens dengan Mami Angel dan keaktifan IPOOS sebagai penyelenggara berbagai acara terkait dengan komunitas gay dan transpuan di sejumlah klab malam atau diskotik, kerap membuat IPOOS — sebagai organisasi gay — menerima undangan kegiatan dari Sekretariat DPP Hiwaria MKGR.

Ibu Lenny Sugiharto, pendiri dan pemimpin Yayasan Srikandi Sejati, menginformasikan bahwa alamat kantor Hiwaria MKGR ada di Menteng (tak jauh dari Stasiun Gondangdia), tepatnya di salon milik Angel yang bernama Angel’s Salon.

“Dulu, teman-teman waria yang Kristen juga suka melakukan ibadah di sana,” tambah Bu Lenny. Secara detail, ia menjelaskan kalau lokasinya ada di lantai atas hotel di samping supermarket Hero.

Terkait dengan kegiatan kebaktian komunitas transpuan yang digagas Mami Angel tersebut, saya ingat pernah berbincang tentang itu dengan Chenny Han, seorang transpuan yang pernah menyandang gelar Queen of the Universe (Ratu Waria Sejagat) 1992 dan perancang baju pengantin terkenal. Ibadah itu, ungkapnya, memang diselenggarakan di salon Mami Angel di Hotel Menteng. Di sana, kawan-kawan transpuan beribadah selayaknya kebaktian dalam agama Kristen pada umumnya di akhir pekan.

“Di mata saya, dia orangnya baik, enggak macam-macam. Dia oke, welcome waktu saya datang. Rapi, bersih, dan bisa menghargai diri sendiri,” kenang Chenny.

Majalah GAYa NUSANTARA edisi 42 tahun 1995 untuk pertama kalinya turut memasukkan “Angel’s Salon” pada daftar kolom “Direktori” untuk kategori “Aktivis Waria.” Tapi, nama Angel tak lagi muncul di edisi 92.

Potongan kepala surat DPP Hiwaria MKGR dengan alamat sekretariat yang kini berada di Hotel Menteng I di Jl. RP Soeroso №28, Jakarta Pusat. Sumber: Arsip Queer Indonesia Archive.

Pada tahun 1990-an, Angel telah memiliki hampir segalanya untuk sosok yang diidealkan oleh kawan-kawan transpuan saat itu. Usianya tak lagi muda, sehingga ia dilekatkan dengan panggilan mami. Sejumlah orang menaruh hormat dan tak ragu untuk menyebutnya dengan sebutan Ibu Angel. Pada wawancara dengannya, Matra menggambarkan sosoknya sebagai “banci kawakan” dan “figur waria kelas menengah atas” untuk menghubungkannya pada kondisi ekonomi, prestasi, dan asam garam di dalam kehidupan “dunia waria.” Ia sukses memiliki dan mengelola sebuah salon (Angel’s Salon) dan kelompok hiburan (Blue Angel’s) serta pernah menjuarai berbagai lomba tata rias dan rambut di dalam dan luar negeri. Ia juga berhasil memimpin Hiwaria MKGR menjadi organisasi transpuan yang besar saat itu, di mana DPP Hiwaria MKGR seolah menjadi induk untuk banyak organisasi transpuan yang secara resmi diakui sebagai bagian dari Hiwaria MKGR, termasuk adanya DPD Hiwaria Sumatera Selatan, DPD Hiwaria Jawa Timur, DPD Hiwaria D. I. Yogyakarta, DPD Hiwaria Irian Jaya, dan kemungkinan pada DPD Hiwaria lain di berbagai provinsi. Selain itu, terdapat juga organisasi atau kolektif lain di banyak daerah yang ikut menggunakan kata “himpunan waria” atau “hiwaria” sebagai sesuatu yang umum dipakai. Meski tak dapat benar-benar dipastikan, namun jika jumlah anggota Hiwaria MKGR di lima provinsi saja digabungkan (DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Jawa Timur, D. I. Yogyakarta, dan Irian Jaya), — dengan mempertimbangkan dulu Sumatera Selatan dan Irian Jaya (kini Papua) belum mengalami pemekaran provinsi seperti sekarang — maka diprediksi anggota Hiwaria MKGR bisa mencapai puluhan ribu individu transpuan.

Tetapi, Angel pernah mengakui bahwa mengorganisasi individu atau komunitas transpuan untuk bergabung ke dalam organisasi yang dipimpinnya, bukanlah perkara mudah.

“Saya tak mengerti kenapa mereka enggan menjadi anggota Hiwaria,” katanya seperti dikutip dalam majalah Matra yang menyajikan liputan khusus tentang kehidupan transpuan di Jakarta. “Padahal, uang pendaftaran anggota Rp5.000 sudah termasuk asuransi jiwa. Menjadi anggota Hiwaria bisa terlindungi. Misalnya, bila terjaring oleh razia ketertiban, organisasi ini bisa membelanya dan membebaskan dia dari tahanan.” Setiap anggota Hiwaria MKGR kala itu memiliki “Kartu Waria” yang dapat menjadi “pelindung” jika dirazia atau tertangkap polisi atau Satpol PP. Kartu Waria punya peran penting yang menegaskan identitas individu transpuan di suatu wilayah pada saat itu untuk menghubungkannya pada konteks situasi yang menantang di kalangan transpuan terkait akses KTP. Penduduk di Jakarta yang tak memiliki KTP bisa dianggap sebagai “penduduk ilegal” dan dapat ditangkap dalam razia KTP kala itu. Ada pula banyak kasus transpuan yang meninggal tanpa identitas, sehingga membuat jenazahnya terlantar dan mempersulit proses penguburan. Maka, inisiasi Kartu Waria merupakan suatu capaian karena pada awalnya itu turut didukung oleh Gubernur Ali Sadikin.

Meski kerap muncul di Taman Lawang, Madam Seroja pun melihat sosok Angel tidak seperti dirinya yang kala itu bekerja sebagai pekerja seks di kawasan yang dianggap eksklusif hanya diperuntukkan bagi transpuan-transpuan berpenampilan dan berparas cantik.

“Memuaskan diri waktu muda di Taman Lawang, boleh saja,” kata Angel. “Tetapi, seorang waria harus memiliki keterampilan untuk menopang hidupnya di masa mendatang…. Tak mungkin seorang waria akan terus di Taman Lawang atau tempat lainnya, atau menjadi pelacur terus. Usia kita terus bertambah, sementara waria muda juga berdatangan dan menjadi saingan.… Pemunculan para pendatang baru itu adalah kenyataan yang harus kita hadapi.”

Angel punya perhatian pada akses terhadap pemberdayaan dan pekerjaan layak bagi komunitas transpuan. Seringkali ia menjadi yang paling tegak untuk berdiri di garis depan dalam menghadapi aparat-aparat yang dengan semena-mena melakukan razia dan penangkapan terhadap kelompok transpuan. Mami Angel kerap mengingatkan kawan-kawan untuk terus mau belajar menggali keterampilan dan bertanggung jawab pada diri sendiri agar dapat hidup lebih baik di hari tua.

“Kalau saja ada pihak pemerintah atau swasta yang menyediakan semacam lokalisasi — bukan lokalisasi semacam tempat wanita tuna susila itu — tetapi dalam arti yang positif, kehadiran kami akan tampak lebih positif. Lokalisasi itu bisa menjadi tempat kaum waria untuk berkumpul, misalnya tempat arisan dan kegiatan lainnya,” ungkapnya.

Angelie Sahupala tutup usia di Jakarta tahun 2000 di umur sekitar 50 tahun. Sejak itu, salon maupun kantor Hiwaria MKGR di Jakarta ikut mati. Selama hidupnya, perempuan yang sejak muda telah mendamba untuk menjadi ibu itu punya beberapa anak asuh yang ia sekolahkan hingga ke bangku universitas.

“Bila tidak ditangani secara serius, kaum kami kelak bisa menimbulkan masalah sosial tersendiri. Bagaimana pun itu kenyataan. Tidak bisa dibendung, tidak bisa cuma dengan diburu atau dirazia untuk menyelesaikannya. Tak cukup dengan itu saja.”

Sumber Tulisan

Atmojo, Kemala (1986). Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Han, Chenny. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 14 September 2023.

Moerad, Deded Er; Ugroseno, Gogor; Raharjo, S. S. Budi; Pakpahan, Deddy; dan Hartanto (1994). Liputan: Banci-banci Taman Lawang dalam MATRA №91 Edisi Februari 1994.

Moerthiko (1991). Apa yang Anda Ketahui Mengenai: Kehidupan Transexual dan Waria. Solo: Surya Murthi Publishing.

Lopez, Tina. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 23 Juli 2023.

Lee, Florens. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 23 Juli 2023.

Sugiharto, Lenny. Wawancara QIA dengan Nurdiyansah Dalidjo dan Dania Joedo. 28 Juni 2023.

Bernadette, Devi. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 13 Agustus 2023.

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah