Mirna Martinely: Tokoh Pemersatu Transpuan

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
10 min readFeb 25, 2024
Ilustrasi Mirna Martinely karya Sasha Valent.

“Mereka (transpuan) telah dilahirkan. Mereka juga diciptakan Tuhan. Mereka ada di antara insan di dunia. Juga ada rasa kasih sayang.”

Perjuangan transpuan di Indonesia punya sejarah yang unik dan panjang. Gerakan perubahan untuk kesetaraan dan pemberdayaan komunitas transpuan di masa lalu kerap dilekatkan dengan sosok Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (Bang Ali). Di bawah kepemimpinannya, dunia hiburan malam mulai muncul dan bergelora di ibu kota. Tetapi secara umum, pusat-pusat hiburan dan rekreasi, termasuk Taman Hiburan Rakyat (THR) maupun diskotik, memang turut didukung oleh pemerintah agar menjamur di kota-kota besar pasca-pembantaian 1965 yang diduga telah memakan korban ratusan ribu hingga jutaan orang yang tewas dan hilang atas tuduhan sebagai pendukung komunisme maupun terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kehadiran mereka tampaknya sengaja disodorkan selayaknya peredam trauma dan pemancing bagi berjalannya roda perekonomian. Selain itu, kebijakan Indonesia yang membuka keran lebar-lebar terhadap investasi asing secara besar-besaran, mendorong kedatangan para pekerja asing yang pula punya kebutuhan akan gaya hidup pada hiburan malam. Begitu pun di antara derasnya gelombang urbanisasi, ada juga orang-orang transpuan yang menjajal peruntungan hidup di kota. Dan di tengah-tengah situasi itulah geliat perjuangan transpuan tumbuh dan berkembang. Banyak pihak mungkin akan meragukan penegasan untuk menyebutnya sebagai sebuah gerakan sosial karena ia tumbuh di dalam ruang yang sekilas seperti bercorak kapitalistik, urban sentris, dan seolah dipenuhi hingar-bingar yang mudah saja untuk dihubungkan dengan hedonisme (gaya hidup yang berfokus pada kesenangan dan kepuasan). Tetapi, penindasan terhadap transpuan sesungguhnya telah berlangsung lama dan begitu dahsyat di masa kolonialisme, bahkan perburuan dan pembunuhan terhadap kaum transgender pernah terjadi di Sulawesi Selatan pada pergantian transisi kekuasaan. Sehingga, kita bisa saja mempertegas bahwa momentum representasi dan kolektivitas yang terjadi pada akhir tahun 1960-an di Jakarta dan menguat pada dekade selanjutnya, merupakan keberhasilan dari upaya mengambil peluang yang telah diupayakan oleh komunitas transpuan, salah satunya dengan merebut ruang di sarana hiburan malam Sasana Anggrawina dan — atas dukungan Bang Ali — Paradise Hall di dalam perhelatan Djakarta Fair 1968.

Seorang transpuan muda yang turut menampilkan diri di sana, adalah Mirna Martinely. Ia tak hanya hadir dengan mempertegas identitas dan ekspresi gendernya sebagai wadam (identitas yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh kelompok transpuan kala itu ke publik), melainkan unjuk kebolehan sebagai seorang dengan bakat bermusik, bernyanyi, dan menghibur. Usianya baru sekitar 21 tahun. Wajahnya penuh riasan makeup dan itu memberikan kesan cantik untuk seorang perempuan kota yang modis. Di Paradise Hall, Mirna bertemu dengan banyak transpuan lain, termasuk Conny Pattirajawane. Bersama Conny dan sembilan wadam lain yang sebagian besar aktif berkumpul dan pentas di klab malam yang didedikasikan Sang Gubernur untuk komunitas transpuan itu, mereka bergabung dalam kelompok hiburan Wadam All Stars yang terbentuk pada 1969 dan pernah melakukan roadshow di kota-kota di Pulau Jawa. Pada malam-malam pertunjukan yang menghadirkan Wadam All Stars sebagai bintang utama, Mirna menyanyi di atas panggung, sementara rekan-rekannya ada yang unjuk kebolehan lewat tari, catwalk atau fashion show bak model profesional, dan peniruan (impersonation) sosok-sosok selebritis papan atas.

Potret Mami Mirna. Sumber: Arsip pribadi Tina Lopez.

Tina Lopez, rekan sesama anggota Wadam All Stars, mengenang Mirna sebagai sosok yang berbakat, berani, dan juga usil. Ketika pertama berkenalan, Mami Tina ingat betul keisengan Mirna yang menempelkan garam ke rambutnya. Keusilan Mirna itu kerap tidak hanya ia lakukan ke teman-teman dekatnya, tapi juga sering muncul secara spontan di atas panggung, sehingga memberikan kesan yang jenaka dan lucu. Di antara para anggota Wadam All Stars, Mirna mungkin tak sebanding dalam hal kecantikan diri sebab ia tidak pernah meraih gelar juara dalam kontes kecantikan, tapi talenta dan kekhasannya membuat ia kerap jadi favorit penonton yang dibuat kagum sekaligus terhibur.

Mirna (kiri) bersama kawannya Astuti Afuni (kanan) yang diberitakan majalah Tempo telah menjalani “operasi kelamin” di Singapura tahun 1987. Sumber: Tempo pada 1989.

Wadam All Stars tak berumur panjang. Mirna bersama saudara kembarnya, yakni musisi Bambang Priyo, kemudian membentuk kelompok hiburan dengan konsep yang memadukan seni pertunjukan musik dalam format grup (band) dan Mirna berperan sebagai penyanyi utama (lead singer) sekaligus penampil. Namanya Bambros. Bambros merupakan kepanjangan dari Bambang Brothers. Bambang sendiri telah akrab dengan komunitas transpuan karena sering menjadi band pengiring untuk berbagai show mereka. Popularitas Bambros dipertegas dengan kemunculan mereka pada suatu adegan di dalam film Akulah Vivian (1977), di mana Bambros tersorot sebagai penghibur di klab malam.

Tetapi, bukan Mirna namanya kalau ia tak punya ide dan aksi lain untuk menghimpun kawan-kawan transpuan yang — usai berakhirnya perhelatan Djakarta Fair 1968 (tutupnya Paradise Hall) maupun tak aktifnya Wadam All Stars — terpencar-pencar dan tak lagi punya ruang untuk berkumpul dan berekspresi. Pada 22 November 1977, bersama sahabat-sahabat sesama transpuan: Lydia, Leila, dan Lisa, ia mempelopori kelompok hiburan baru yang terdiri dari para wadam, yaitu Fantastic Dolls. Bambros masih menjadi band pengiring untuk Mirna dan Fantastic Dolls-nya ketika manggung di berbagai tempat di dalam dan luar Jakarta. Seperti Wadam All Stars, Fantastic Dolls juga menampilkan hiburan yang dibawakan kawan-kawan transpuan. Ada yang menari, menyanyi, memperagakan busana, serta memainkan sulap dan komedi.

Sampai sini, saya belum menemukan arsip atau informasi tentang pertemanan Mirna dan Maya Puspa (Mami Maya) yang mendirikan Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) sekitar tahun 1973. Saat itu, Mami Maya telah tenar sebagai wadam penari ular serta perias wajah dan tata rambut yang ulung. Keduanya sama-sama penampil dan artis yang terkenal di panggung-panggung dunia malam ibu kota. Menurut Kemala Atmojo dalam buku Kami Bukan Lelaki, Mirna dinobatkan sebagai Ketua Hiwad menggantikan Maya tahun 1979. Saat itu, istilah “wadam” telah diprotes Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berganti dengan “waria.” Di waktu yang bersamaan dengan kepimpinan Mirna tersebut, Hiwad berganti nama menjadi Himpunan Waria DKI Jakarta atau biasa disingkat Hiwaria atau Hiwaria Jakarta.

Meski tak memiliki perangkat maupun infrastruktur organisasi yang komplit seperti umumnya organisasi saat ini, Hiwaria bisa dibilang sukses dalam mengorganisasikan komunitas transpuan di berbagai wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta. Di masing-masing wilayah, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan, Hiwaria punya koordinator dengan julukan “Ketua Waria.” Nama Hiwaria maupun Mirna kala itu telah populer di kalangan media dengan kutipan yang kerap beragam. Majalah Tempo pada 1986 pernah menyebut Mirna sebagai Ketua Persatuan Waria DKI Jakarta, jurnalis Kemala Atmojo — yang pula pernah bekerja di Tempo — pada 1986 menuliskannya sebagai Ketua Himpunan Waria DKI Jakarta dalam bukunya, majalah Senang pada 1989 menyinggung Mirna sebagai Ketua Himpunan Waria Indonesia, serta sejumlah media dan arsip umumnya mencatat Mirna sebagai Ketua Waria.

Potongan kliping majalah yang mengangkat profil Mirna. Sumber: Arsip QIA.

Meski tampak riang dan gemar melucu, masa kecil Mirna diwarnai dengan banyak pengalaman pahit. Ia lahir di Yogyakarta tahun 1947 dan tumbuh besar di Jakarta. Ketika duduk di bangku SD, Mirna gemar pelajaran Matematika dan seringkali mendapatkan nilai bagus untuk itu. Namun, seperti ia pernah akui, masa kecil dan remajanya penuh dengan perundungan dan kekerasan. Ejekan-ejekan dari teman sebaya menjadi bagian dari kesehariannya. Ia pernah ditinju, ditarik tangannya, ditendang, dan celananya dipelorotkan di sekolah.

“Kenapa hidup teramat keras buat saya?” renungnya saat masih amat belia. Mirna mengatakan bahwa keterbukaannya pada pengalaman perundungan dan kekerasan tersebut tidak ia maksudkan untuk mendapat belas kasihan, melainkan memang apa adanya dialami oleh dirinya sebagai anak yang telah menunjukkan keunikan identitas dan ekspresi gender sebagai transpuan.

Mirna mulai menyadari ketertarikannya terhadap pria ketika ia bersekolah di SMP Negeri di Jakarta. Ia bilang kalau ia kerap menari-nari dan menyanyi bak seorang putri raja di depan cermin sambil membayangkan tengah didekap lelaki ganteng. Saat itulah ia merasa dirinya sebagai gadis remaja yang cantik. Ia terus melatih kemampuannya menari dan menyanyi sejak dini.

Ketika tiba waktunya, ia memberanikan diri berdandan. Kesukaannya adalah bermain-main dengan eyeshadow dan polesan bibir berwarna merah menyala, lengkap dengan wig pendek model bondol. Sebagai transpuan, ia akhirnya melekatkan dirinya dengan nama baru: Mirna. Ia mengaku membuang seluruh pakaian laki-lakinya kala itu.

Kepedulian Mirna terhadap nasib transpuan di Jakarta, sebetulnya telah ditunjukkan bukan hanya dari kelompok hiburan yang dibangunnya. Ketika terdapat kasus kematian transpuan, Mirna ikut turun tangan. Ia menjelma sosok yang berani dan punya inisiatif dalam menggalang dana di kalangan transpuan untuk kepengurusan jenazah kawan-kawan transpuan yang tewas atau terlantar di kamar mayat rumah sakit, salah satunya peristiwa razia bertanggal 25 Oktober 1979 di Taman Lawang yang memakan korban Susi dan Iin. Menurut saksi mata, pada awalnya Susi dan Iin sekadar berniat menghindar dari kejaran dan tangkapan polisi dengan menceburkan diri ke sungai, namun justru berakhir malang. Kala itu, kasus-kasus kematian transpuan telah mulai bermunculan. Bukan cuma akibat razia, tetapi juga sakit dan bunuh diri.

Lenny Sugiharto yang pernah menjadi Ketua Waria di wilayah administrasi Jakarta Timur, mengungkapkan kalau Mirna memang jadi yang paling vokal dan sigap ketika terjadi razia terhadap transpuan pekerja seks, terutama di sekitar Menteng. Ia tak sungkan untuk langsung mendatangi kantor polisi saat tahu ada transpuan yang ditangkap.

Di bawah komando Mirna, Hiwaria Jakarta yang digerakkan dengan basis kesukarelawanan dan kepedulian, kian aktif menghimpun anggota dan mendampingi komunitas transpuan. Ketika terjadi kejadian-kejadian darurat yang menimpa kawan transpuan, misalnya penangkapan dan penguburan, Mirna kerap muncul di tempat-tempat komunitas transpuan berkumpul dan bekerja, baik sebagai penghibur di klab malam maupun pekerja seks di taman atau jalan, termasuk Taman Lawang, untuk menagih uang penggalangan dana. Tak heran jika kemudian ada yang melabeli Mirna selayaknya “preman waria.” Sebab, dengan gayanya yang cuek dan tak banyak penjelasan, ia terkesan setengah memaksa saat menagih dana duka atau iuran.

Bala-bala-nya, dong!” seru Mirna ketika “memalak” uang, seperti dikenang kawan. “Serini, serini, ayo serini buat banci mati!” Maksudnya adalah menagih kawan-kawan agar menyetor seribu rupiah kepadanya untuk dukungan kepengurusan dan duka cita kawan transpuan yang meninggal.

Pada awal 1980-an, — saat namanya telah semakin dikenal luas sebagai bagian dari Bambros, pimpinan dari kabaret Fantastic Dolls, dan Ketua Waria Jakarta — Mirna pernah terlibat dalam pembuatan film Mereka Memang Ada yang rilis tahun 1982. Di dalam film tentang kisah hidup waria karya sutradara Mardali Syarief tersebut, Meify D. Canto — juga mantan anggota Wadam All Stars — menjadi pemeran utama, sementara Mirna berperan sebagai dirinya sendiri, seorang tokoh pimpinan waria. Bersama Bambros dan Fantastic Dolls serta komposer Aloysius Riyanto, Mirna juga memberikan kontribusi untuk album lagu tema (album soundtrack) dengan judul yang sama dengan film tersebut. Dengan suara merdu, ia tampaknya benar-benar menjiwai lagu “Mereka Memang Ada” dengan lirik yang menegaskan eksistensi dan visibilitas transpuan secara humanis dan manis.

“Mereka Memang Ada”

Mereka telah dilahirkan. Mereka juga diciptakan Tuhan. Mereka ada di antara insan di dunia. Juga ada rasa kasih sayang.

Mereka juga tak sengaja. Berada di antara hidup kita.Menerima seadanya sabda Tuhan. Juga berikanlah tempat dalam kehidupan. Apa dosa kami kepadamu? Apa cinta kami tak berlaku?

Aku pun bernyawa sepertimu. Yang berasal dari satu.

Berikan padaku masa depan. Juga damai di hatiku. Berikan padaku masa depan. Juga damai di hatiku.

Mirna bersama saudara kembarnya Bambang Priyo. Sumber: Majalah Senang №2 edisi 30 Juni-13 Juli 1989.

Kemarahan Mirna pernah pecah. Pada Selasa siang di bulan Desember 1986, ia bersama dengan rekan-rekannya sesama transpuan menggeruduk Markas Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) DKI di Jl. Kramat Raya. Kedatangannya dimaksudkan untuk melayangkan protes ke Dokter Masri Rustam, Ketua Divisi IV Usaha Transfusi Darah PMI yang sebelumnya “menghimbau agar para pria homoseksual tak menjadi donor darah… karena dia menganggap para kaum homo itu merupakan orang-orang yang berisiko tinggi sebagai pengidap dan penular AIDS,” seperti dikutip Tempo dalam rubrik “Kesehatan.” Pada konteks itu, sebagian kalangan masih ada yang menganggap gay dan transpuan ke dalam satu payung identitas, yaitu banci, bencong, atau homoseksual. Dan kemunculan krisis AIDS di Indonesia, hadir di tengah-tengah stigma dan diskriminasi terhadap kelompok queer secara umum, terutama gay dan transpuan yang pula diabaikan dan tersingkirkan dalam sistem dan layanan kesehatan. Saat itu, Masri bahkan berencana untuk memperluas kampanye terkait himbauan tersebut. Mirna dan kawan-kawan merasa itu tidak adil dan menghalangi usahanya dalam menggagas donor darah di kalangan transpuan.

“Siapa, sih, yang mau jadi waria? Siapa yang tidak ingin jadi orang normal?” Pertanyaan tersebut pernah Mirna utarakan kepada publik untuk menegaskan betapa transpuan mengalami perundungan, stigma, diskriminasi, bahkan kekerasan yang mengancam nyawa. Lewat berbagai aksinya, baik itu bersama Bambros maupun Fantastic Dolls, ia telah menegaskan eksistensi dan representasi transpuan. Keberaniannya pun membuat suara transpuan kian nyaring dan diperhitungkan. Mirna adalah aktivis transpuan dari gelombang pertama di akhir 1960-an yang terus aktif hingga dekade 2000-an.

Potret Mirna di masa lansia (kiri) dan ketika tampil di Ancol pada 2004 (kanan). Sumber: Arsip pribadi Raditya Nova Pratama, cucu Mirna.

Mirna Martinely meninggal di Jakarta tahun 2019. Ia dikubur di liang lahat yang sama bersama saudara kembarnya yang lebih dulu dimakamkan. Warisan Mirna dengan kehadiran Fantastic Dolls telah menginspirasi banyak transpuan untuk melahirkan grup-grup serupa dan mengarusutamakan pertunjukan cabaret show transpuan ke dalam arus utama corak hiburan di kota-kota besar. Begitu pun dengan kehadiran Hiwaria Jakarta yang turut memantik tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi transpuan di Indonesia. Ada sejumlah nama anggota Fantastic Dolls maupun Hiwaria Jakarta yang kemudian menjadi figur publik dengan beragam profesi, termasuk superstar Dorce Gamalama, aktivis senior Lenny Sugiharto, serta penata rias dan desainer Chenny Han.

Sumber Tulisan

Atmojo, Kemala (1986). Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

IdFilm Center. https://www.indonesianfilmcenter.com/filminfo/detail/1789/mereka-memang-ada (diakses pada 9 Seputember 2023.)

Lopez, Tina. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 23 Juli 2023.

Senang. Senang №2 edisi 30 Juni-13 Juli 1989.

Sugiharto, Lenny. Wawancara QIA dengan Nurdiyansah Dalidjo dan Dania Joedo. 28 Juni 2023.

Tempo. Tempo edisi 1989.

Tempo. Korban AIDS dan Protes Waria dalam Tempo edisi 07/16 tanggal 1986–04–12.

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah