Memahami dan Melawan Homofobia

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
11 min readNov 27, 2020
Sumber gambar: https://image.freepik.com/free-vector/stop-homophobia-illustration-concept_23-2148590514.jpg

Belakangan, kita banyak mendengar kabar tak mengenakkan. Ini bukan soal kabar burung atau gosip atau keluh-kesah semata, melainkan hal yang penting untuk menjadi perhatian kita bersama, baik kamu yang queer dan ally, maupun siapa saja yang punya cita-cita sama terhadap kesetaraan (dan keadilan) bagi semua.

Masalah yang mau saya angkat ini, adalah soal homofobia (homophobia) atau queerphobia yang di dalamnya menyangkut pula hal serupa yang lebih spesifik, yaitu transphobia yang menargetkan kelompok transgender, termasuk waria/transpuan dan transpria; lesbophobia yang menargetkan kelompok lesbian; dan biphobia yang menargetkan kelompok biseksual. Seorang kawan mengatakan kalau situasi ini telah kian mengerikan. Saya tak mungkin tidak mengiyakan. Dan ini bukan hanya karena seringkali yang menjadi korban adalah kawan saya sendiri, melainkan ada terlalu banyak dari orang-orang yang saya kenal juga harus berhadapan dengan rasa cemas (anxiety) yang sulit dikendalikan maupun gangguan lain dan bermacam kekerasan, baik itu kekerasan seksual, fisik, sosial-ekonomi, psikis/mental, serta praktik kekerasan berbasis tradisi/budaya/agama. Sebagai queer, saya menolak diam melihat situasi tersebut, terutama melihat kawan-kawan waria/transpuan yang bisa seenaknya dijadikan target kekerasan yang bahkan mengancam nyawa mereka hanya untuk bekerja atau mempertahankan sumber penghidupan sebagai hak yang paling mendasar.

Di Indonesia, setiap tahunnya ratusan orang, mungkin ribuan individu queer mengalami kekerasan. Mungkin pula jumlahnya jauh lebih mencengangkan dari yang bisa kita kira, di mana banyak dari individu queer menjadi target kekerasan. Tak ada data yang pasti. Saat ini, terdapat sekitar 70 negara di dunia, di mana orang-orang LGBTIQ+ atau perilaku homoseksual dianggap ilegal. Bahkan di beberapa negara, mereka yang terbukti melakukan praktik seks sesama, dapat diancam hukuman mati. Meski begitu, kita tahu bahwa setiap tanggal 17 Mei, kita merayakan Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia atau kita kenal dengan IDAHOBIT (International Day Against Homophobia, Biphobia, and Transphobia). Hari itu dipilih untuk menegaskan keputusan WHO (World Health Organization) yang menghapus homoseksualitas dari klasifikasi kelainan mental tahun 1990. Namun, kekerasan masih marak terjadi, terutama di kalangan lelaki queer dan waria/transpuan, bahkan di negara yang telah mengakui dan menghormati hak LGBTIQ+. Indonesia bukanlah negara yang sepenuhnya menganggap LGBTIQ+ itu ilegal, kecuali Provinsi Aceh dan Sumatera Selatan. Tetapi, bukan hendak mengatakan situasi kekerasan terhadap LGBTIQ+ di Indonesia itu lebih baik, melainkan ada kecenderungan memburuk. Tak sedikit kawan lesbian dan transpria yang diperkosa dengan anggapan untuk “memperbaiki” (mengoreksi) seksualitasnya yang dianggap salah atau menyimpang. Tak sedikit pula anak-anak lelaki queer yang menjadi target kekerasan (perundungan) dan diperkosa oleh lelaki dewasa. Setelah kasus Mirna yang tewas dibakar hidup-hidup, secara terus menerus berita buruk tentang kawan waria/transpuan yang dikeroyok para preman maupun mengalami kekerasan, terjadi di berbagai daerah. Dan kabar itu tak pernah menjadi liputan utama pada surat kabar, apalagi televisi. Itu membuat saya tak habis pikir untuk merenungkan apakah satu nyawa dari kawan kita yang gugur itu tak lebih berharga dari nilai kemanusiaan seluruh umat di bumi?

Sumber gambar: https://www.forbes.com/sites/jamiewareham/2020/05/17/map-shows-where-its-illegal-to-be-gay--30-years-since-who-declassified-homosexuality-as-disease/?sh=3c68824b578a

Di balik berbagai dalih, kita perlu menyadari bahwa homofobia pun selayaknya rasisme. Kita yang queer — tanpa alasan yang masuk akal — menjadi target kekerasan, presekusi, kriminalisasi, dan lain-lain. Data soal itu amat sulit meski beberapa pihak pernah mencoba melakukan pendataan. Yang bisa saya ingat jumlahnya cuma ratusan. Tentu saja, jumlah itu relatif sangat kecil mengingat populasi Indonesia dan buruknya situasi homofobia. Maka, kekerasan terhadap queer dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es yang perkaranya bukan saja pada urusan visibilitas pendataan/pelaporan, melainkan visibilitas korban atau individu queer itu sendiri. Banyak dari kita sebagai korban, kerap diam. Sebab, jika pun bersuara sebagai korban, kita punya risiko untuk menjadi korban untuk yang kedua kalinya. Kerumitan ini membawa persoalan semakin runyam karena homofobia tidak hanya menjangkiti mereka yang straight, tetapi juga tumbuh di dalam kelompok queer, terutama lelaki queer.

Untuk persoalan homofobia ini, saya harap kita tidak main-main lagi. Ini tidak main-main!

Apa itu homofobia?

Tetapi, tentu, katanya tak adil untuk menuduh seseorang itu homofobik, sementara yang dituduh ternyata tak paham mengenai itu. Baiklah, mari, kita memulainya dengan memahami apa itu homofobia!

(Jika setelah ini masih ada dari kita menyangkal, maka patutlah berkaca untuk kita melihat borok sendiri dan merawat rasa malu. Maafkan diri kamu yang mungkin pernah berlaku tidak adil pada diri sendiri atau orang lain! Dan, tak usah sungkan untuk meminta maaf pada teman, keluarga, atau orang lain atas kesalahan yang pernah diperbuat. Dengan begitu, hal baik mungkin bisa datang. Semoga!)

Sumber gambar: https://i.kym-cdn.com/photos/images/original/001/265/736/d8d.png

Secara sederhana, pada awalnya homofobia diartikan sebagai ketidaksukaan atau prasangka terhadap orang-orang gay. Atau, kita bisa tarik secara umum terhadap queer (LGBTIQ+) untuk menegaskan bahwa homofobia itu adalah pula queer-fobia. Ketidaksukaan atau prasangka yang dimaksud tersebut, mencakup berbagai perilaku maupun perasaan negatif yang tidak rasional terhadap kelompok queer. (Dengan catatan bahwa terlahir atau menjadi queer itu, adalah hal yang SANGAT MASUK AKAL dan alamiah terkait dengan keragaman gender dan seksualitas. Kita tak usah berdebat soal ini!) Penyebabnya, saya mau bilang adalah ketakutan yang tidak masuk akal. Sehingga, pantaslah disebut sebagai “fobia.” Selain itu, alasan lain adalah karena pengabaian atau ketidakpedulian (ignorance). Saya mau bilang begitu, karena jika pun ada orang-orang kota atau yang punya privilese itu masih homofobik, jelas sekali ia memang tak peduli untuk mencari pemahaman. Atau, sesungguhnya, keistimewaannya dibangun di atas ketertindasan kelompok queer? Bisa jadi, toh!

Agar kita bisa memahami akar dan solusi dari perkara homofobia, kita perlu memetakan homofobia itu ke dalam beberapa kategori. Lewat pemetaan ini, semoga kita juga tak lepas dari penyangkalan bahwa betul homofobia bisa terjadi di kalangan kita sendiri, terutama lelaki gay. Kok, bisa? Tentu saja, bisa. Wajarkah? Dalam lingkungan yang relatif homofobik, seharusnya ini menjadi hal yang bisa dimaklumi secara sementara. Mari, kita membahasnya!

Pertama, ada yang namanya institutionalized homophobia atau homofobia yang terlembagakan. Lembaga atau institusinya bisa bermacam: lembaga negara, agama, adat, budaya, dan lain-lain. Di suatu daerah atau negara maupun organisasi, nilai dan praktik homofobia itu bisa terlembagakan lewat peraturan, baik tertulis atau tidak tertulis. Contoh, Aceh lewat Perda Syariah melarang hubungan sesama jenis. Tidak hanya itu, kondisi akan diperparah dengan adanya para pejabat atau pimpinan suatu institusi yang juga menyerukan kebencian kepada publik terhadap individu atau kelompok queer. Hal itu menimbulkan ketakutan, baik bagi individu queer maupun keluarga dan masyarakat. Bayangkan, kamu sebagai orangtua tentu tak mau punya anak yang kemudian dipenjara karena ketahuan punya pacar sesama, bukan! Atau, itu sudah pasti membuat kita yang queer menjadi takut untuk membuka diri.

Institutionalized homophobia dapat dikurangi dan dihapus (disembuhkan), salah satunya lewat kampanye dan advokasi yang berdampak pada perubahan nilai atau aturan di dalam suatu negara maupun institusi atau lembaga tersebut. Bahkan, ada hal menarik, di mana homofobia mulai bisa dianggap ilegal di suatu negara, salah satunya Swiss.

Nah, untuk ketakutan queer membuka diri itu, kemudian terkait erat dengan jenis lain dari homofobia, yakni internalized homophobia atau homofobia yang terinternalisasi. Jadi, nilai dari homofobia itu meresap ke dalam individu dan membentuk pola pikir. Ini menjelaskan mengapa seorang lelaki gay bisa juga terjangkit homofobia. Bukan hanya karena ketidaktahuan atau kurang pemahaman, tetapi karena ia lahir dan tumbuh di lingkungan yang sangat kuat corak homofobiknya. Ia takut berinteraksi dengan individu queer lain karena takut akan dituduh pula sebagai hal-hal yang dituduhkan pada orang-orang queer. Ia takut menjadi target kekerasan, dikriminalisasi, dan dikucilkan keluarga. Ia takut posisi dan keistimewaan yang selama ini dimilikinya, terancam hilang. Jadi saya mau bilang dengan tegas kalau ada orang mengaku punya ketakutan atau fobia pada bencong atau waria, itu bukan salah identitas atau ekspresi si lelaki bencong maupun waria-nya, melainkan karena ada kultur homofobik yang kemudian menanam dan merawat ketakutan atau kebencian itu. Terutama di kalangan lelaki gay, khususnya lagi cis gay, homofobia perlu mendapat sorotan sebab terkait dengan gender yang dilekatkan pada maskulinitas, termasuk konsekuensi atau tanggung jawab pada peran-peran tertentu yang seolah dibenturkan/dibebankan kepada lelaki terkait hal-hal ideal yang heteroseksis (norma gender).

Internalized homophobia tidak dapat disembuhkan dengan cara lelaki gay misalnya, mengisolasi diri dari interaksi dengan lelaki gay lain maupun komunitas LGBTIQ+. Isolasi diri hanya akan berdampak pada risiko terganggunya kesehatan mental ia sendiri yang kian buruk. Dampak paling ekstrim yang dapat menggerogoti individu gay, adalah bunuh diri dan pembunuhan. Maka, mereka yang mengalami internalized homophobia perlu segera menyadarkan diri atau dirangkul untuk memiliki pemahaman dan sistem dukungan atau teman sebaya queer. Keberadaan komunitas queer — sebagai ruang aman, ruang belajar, dan bagian dari sistem dukungan — sangat penting dalam hal ini.

Ketiga, adalah social homophobia atau homofobia sosial. Homofobia jenis ini merupakan ketakutan yang dialami oleh seseorang untuk dituduh sebagai gay atau queer. Apakah kamu cukup familier dengan ini? Ya, di luar sana ada banyak orang yang mungkin mengaku punya nilai-nilai yang demokratis atau liberal. Tetapi, anehnya, malah takut tak beralasan dan sibuk menangkis berbagai sangkalan kalau dirinya bukanlah queer. Yang seperti ini, mungkin ada juga yang mengaku ally sebagai kedok agar dianggap progresif semata, tapi tak mau bergaul dengan individu atau kelompok LGBTIQ+. Tentu saja, social homophobia punya keterkaitan erat dengan aspek sosial. Salah satunya, berhubungan dengan keistimewaan straight di dalam kultur yang heteronormatif (juga patriarki). Dan ini seperti penegasan pada keunggulan nilai-nilai heteronormativitas itu sendiri. Bahwa seseorang bisa jadi berjarak atau enggan bersuara (misalnya, terkait dengan hak LGBTIQ+), karena takut dituding sebagai pula gay. Dan ketakutan itu berdampak pada aspek sosial dirinya, seperti keluarga, pekerjaan, dan lain-lain. Social homophobia banyak dialami oleh individu straight, terutama yang terkait dengan posisi atau perannya yang penting di dalam suatu komunitas atau masyarakat. Ia tak mau mempertaruhkan citra dirinya yang bisa rusak atau mengurangi keistimewaan yang dimilikinya. Mungkin!

Homofobia, Kerugian Ekonomi Negara, & Buruknya Situasi HIV

Narasi yang selama ini terbangun di dalam kultur yang homofobik, adalah bahwa individu maupun kelompok LGBTIQ+ sebagai suatu kesalahan atau kecacatan atau penghuni neraka atau sesuatu yang patut dibenci, bukan hanya menegaskan kekeliruan, tapi memberikan dampak-dampak buruk di berbagai sektor. (Tentu saja, ini selain dampak buruk terhadap kelompok LGBTIQ+ sendiri.)

Soal urusan HAM, ya sudahlah, kita tampaknya sampai sini paham soal itu. Berbagai pelanggaran HAM pasti terjadi beriringan dengan menguatnya homofobia. Kali ini, saya mau mengutarakan hal lain. Yaitu, kalau homofobia pun dapat berakibat pada kehilangan manfaat atau kerugian di sektor ekonomi. Kok, bisa? Menariknya, ada data soal itu.

Menurut temuan Homophobic Climate Index (HCI), norma sosial dan hukum yang homofobik telah menimbulkan prediksi kerugian terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia dengan nilai mencapai AS$119,1 miliar. Di kawasan Asia dan Pasifik, ditaksir jumlahnya merupakan yang tertinggi, yakni AS$88,3 miliar setiap tahunnya. Hal itu menunjukkan bahwa semakin homofobik suatu negara, maka kehilangan atau kerugian ekonomi negara tersebut, juga kian besar.

HCI beralasan kalau stigma dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual itu terkait dengan mengecilnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja bagi orang-orang LGBTIQ+, sehingga secara otomatis mengurangi PDB suatu negara. Persoalan maraknya kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ+ serta gangguan kesehatan mental yang mereka alami, ternyata juga mempengaruhi kemampuan maupun produktivitas mereka dalam bekerja. Sayangnya, saya tidak menemukan data untuk kondisi yang spesifik di Indonesia. Tetapi, itu bukan hal mustahil untuk siapa saja coba menelusurinya.

Pada situasi tertentu, homofobia pun telah menghalangi orang-orang LGBTIQ+ untuk dapat mengakses layanan kesehatan sebagai hak dasar. Sampai sini, kita bisa lanjut pada bagaimana homofobia memperburuk indeks kesehatan masyarakat, terutama infeksi HIV dan penyakit infeksi menular seksual lainnya.

Mari, kita melihat pada data dengan tren maraknya kekerasan terhadap kelompok LGBT maupun norma atau hukum homofobik yang kian populis di Indonesia beberapa tahun belakangan ini! Lalu, coba sandingkan dengan data HIV di Indonesia!

Pada rentang tahun 2000–2018, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) pernah mengutarakan capaian infeksi HIV yang menurun 37 persen dan kematian terkait HIV/AIDS juga merosot sampai 45 persen. Sebanyak 13,6 juta orang telah selamat karena konsumsi Antiretroviral (ARV). Tetapi, laju kenaikan kasus HIV dan AIDS terus naik setiap tahunnya pada 2005–2019. Pada rentang tahun yang sama, persentase kumulatif AIDS yang tertinggi, terjadi pada kelompok anak muda usia 20–39 tahun dengan persentase mencapai 63,1 persen.

Dari sumber yang sama tahun 2019 lalu, tercatat sebanyak 23 persen mereka yang positif, terputus dari pengobatan ARV. Perkembangan infeksi baru kemudian terjadi kian pesat di kalangan lelaki gay dan biseksual. Jumlah kumulatif terbaru kasus HIV/AIDS di Indonesia telah mencapai 511.955 kasus dan hanya 26,05 persen-nya yang mengonsumsi ARV sesuai dengan resep dokter. Saat ini, jumlah kematian terkait AIDS di Indonesia mencapai 17.210 kasus.

Memperkuat solidaritas sesama queer & sistem dukungan

Dari pemaparan tentang tipologi homofobia, saya sudah coba menyinggung tentang solusi yang bisa dibangun. Namun, secara umum, kita perlu menyadari — setelah memahami definisi dan perkara homofobia-bahwa homofobia adalah masalah dan tanggung jawab bersama (our shared-responsibility). Jadi, jalan keluarnya pun harus dilakukan sama-sama, baik itu oleh kalangan queer maupun straight.

Kita tidak menyinggung bahwa perkara homofobia itu adalah salahnya pihak tertentu. Ada yang sinis dan pesimis dengan candaan norak bisa bilang, “Situ bencong (gay) juga, kok takut sama bencong (waria)!” Pernyataan itu sungguh tak menunjukkan empati dan pemahaman pada relasi kuasa. Bahwa seorang gay bisa jadi adalah pula kelas pekerja atau kelompok miskin yang memang selama hidupnya tak memiliki akses pada pengetahuan maupun interaksi terhadap komunitas queer (terutama, membandingkannya dengan masyarakat kelas menengah perkotaan). Tetapi, ada juga seorang biseksual yang ikut-ikutan berteriak anti-LGBTIQ+. Ingat, terdapat batas tipis antara ketidaktahuan dan ketidakpedulian!

Maka, di sini kita perlu bicara penegasan pada perubahan norma maupun nilai dan praktik dalam berbagai aspek kehidupan yang homofobik, termasuk peraturan tertulis dan tidak tertulis, baik itu hukum negara, hukum agama, maupun hukum adat. Artinya, sistem atau kultur perlu diubah pelan-pelan. Mendorong pemahaman tentang keberagaman gender dan seksualitas atau kini kita mengacu pada SOGIESC (sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristics) sebagai pendekatan, mutlak diperlukan. Ini berlaku bagi kalangan queer dan non-queer. Dan karena nilai/norma dan praktik homofobia telah terlembagakan ke dalam lembaga negara, agama, adat, budaya, dan lain-lain, maka perubahan juga harus didorong dari dalam intitusi-institusi tersebut. Semua kelompok perlu memahami “dosa” yang terlanjur diperbuat. Saya tegas bilang semua kelompok karena terkait dengan interseksionalitas (lintas isu/identitas), di mana yang queer dan non-queer itu juga tak hidup dengan satu identitas. Ada queer dan straight yang buruh, Masyarakat Adat, perempuan, miskin kota, petani, intelektual, dan lain-lain. Masing-masing punya kekhasan dan kompleksitasnya sendiri. Dan, dosa itu terutama yang dimiliki oleh kalangan straight (khususnya mereka yang cis hetero) yang perlu menyadari bahwa keistimewaan yang mereka miliki saat ini, dibangun dengan menindas kelompok minoritas gender dan seksual.

Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/stop-homophobia_8918572.htm

Kita juga perlu sosok pejuang yang bergerak di berbagai medan. Misalnya, kita menyadari bahwa kekerasan berbasis agama itu marak terjadi. Kemarahan kita wajar, tetapi jangan sampai membuat kita menebar kebencian pada agama tertentu. Sebab, mungkin di situlah ada celah untuk kita bisa menghapus homofobia pelan-pelan secara strategis mengingat agama memainkan peran sangat penting dalam kehidupan orang Indonesia. Begitu pula di bidang ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.

Secara khusus, bagi kalangan queer sendiri, amat penting untuk kita bisa sama-sama membangun dan merawat komunitas atau kelompok dukungan sesama atau organisasi berbasis komunitas. Dari situlah sesungguhnya kita sedang belajar dan berproses memperkuat solidaritas dan nilai-nilai demokratis (gotong royong dan musyawarah). Seperti pernah saya singgung pada esai sebelumnya: kita perlu menyadari bahwa kesadaran dan aksi terhadap solidaritas, muncul dari bagaimana kita memahami komunitas kita lewat bahasa, identifikasi kolektif, dan pemahaman kita sendiri terhadap seperti apa kita hendak mendefinisikan ruang (yang aman dan nyaman), perasaan, dan keterhubungan.

Mari, bersama kita melawan homofobia! Ingat, homoseksualitas maupun keberagaman gender dan seksualitas telah terbukti secara saintifik ada dan dianggap wajar (fenomena alamiah) di hampir semua kehidupan spesies binatang. Homoseksualitas bukan penyakit atau kelainan atau dosa. Tetapi, homofobia hanya ada di satu spesies makhluk hidup: manusia. Itu bisa kita perbaiki atau sembuhkan.

*Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis lintas isu. Ia baru saja mengeluarkan buku berjudul Rumah di Tanah Rempah (Gramedia, 2020). Di sela-sela kegemarannya bertualang dan menggali sejarah rempah-rempah, ia terkadang juga berbagi pengalaman personalnya seputar cinta atau relasi queer. Silahkan ikuti keseharian kicauannya melalui Twitter (@nurdiyansah) dan Instagram (@penjelajah_rempah).

www.PenjelajahRempah.com

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah