Mengapa kita harus mendukung penulis queer

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
9 min readDec 26, 2020

--

Ada proses panjang dan pergulatan yang tidak mudah bagi seorang queer untuk menulis. Itu baru sebatas aktivitas: menulis. Dan untuk membayangkannya sebagai profesi, yaitu penulis, kita harus mampu — jika pun tidak, memberikan simpati — untuk membayangkan rangkaian proses dan pergulatan yang bisa jadi bertubi-tubi. Di sini, saya bukan sekadar hendak berbagi (sebagai penulis queer, tentunya), tetapi menegaskan dua hal. Pertama, pesan bagi kawan-kawan queer untuk terus merawat semangat menulis dan bertahan menjadi penulis. Kedua, pesan bagi kawan-kawan yang queer maupun bukan queer untuk mau terus membaca karya penulis queer dan mendukung penulis queer.

Maka, judul pada esai ini bukan pertanyaan, melainkan pernyataan — mungkin pula seruan. Bahwa ada alasan-alasan penting untuk kita perlu mendukung penulis queer tetap hidup dan bertahan.

Menulis sebagai proses refleksi & melawan

Saya katakan di awal kalau itu sebagai proses panjang dan pergulatan yang tidak mudah, sebab itu bukan sekadar perkara pada keterbatasan keterampilan atau kemampuan individu queer dalam menulis. Tetapi, saya hendak menghubungkannya pada konteks ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok queer di dalam dunia yang tak hanya patriarki dan heteronormatif, namun pula homofobik.

Bagi individu queer, menulis seperti bercermin. Saya melihat diri sendiri di depan laptop atau kertas putih itu bagai medium yang memantulkan begitu banyak pertanyaan. Tiba-tiba, bukan cuma tentang saya yang menulis (apa yang mau ditulis), tetapi kemudian itu membawa kita pada proses refleksi untuk bertanya (siapa diri saya). Dua pertanyaan yang bagi individu queer amatlah penting dan relevan sekaligus sulit dijawab. Karena dari dua pertanyaan itulah yang lantas mendesak kita merenungkan identitas, tubuh, dan pengalaman hidup. Bagi banyak queer, khususnya mereka yang bukan cis gender dan terutama lagi bagi transgender (waria/transpuan dan transpria), adalah tentang hal-hal yang memilukan, getir, pahit, sedih, dan sengsara, bahkan traumatis. Kita dihadapkan pada peristiwa atau pengalaman yang menyakitkan: itu mungkin tentang perundungan (bullying), perkosaan, kekerasan, pemiskinan, stigma, tindakan diskriminatif, dan lain-lain. Sampai sini, saya hendak mengutarakan bahwa menulis itu sungguh tidak mudah bagi queer. Bahkan, bertahun-tahun untuk diri saya sendiri yang telah memutuskan menjadi penulis, pun masih tidak mudah.

Tetapi, dengan menulis, saya menyadari bahwa saya ternyata sedang belajar menghadapi para setan dan monster yang selama ini bukan hanya datang dari luar diri (yang bisa saja mewujud pada sosok orangtua, kakak, paman, guru, ustad, pendeta, dan lain-lain yang selama ini menegaskan kebencian terhadap kelompok queer), tetapi juga diam-diam mengendap di dalam diri. Ya, nilai-nilai homofobik itu terinternalisasi. Saat saya “bercermin”, saya pernah melihat diri saya sendiri sebagai yang setan dan yang monster. Ketika seorang queer bertahan dan terus menulis, ia mengurai dan melawan setan dan monster dalam diri. Bayangkan, kau bergelut dengan diri sendiri. Bayangkan, bahwa betul ada setan dan monster di dalam diri kita yang tertanam dan ternyata telah menggerogoti diri kita sendiri.

Dan pada akhirnya, bayangkan, ada dari kita yang masih berjuang. Dan, sesungguhnya ada jauh lebih banyak dari kita yang hadir sebagai pemenang. Bayangkan, mereka penuh luka dan darah usai bertarung, — dengan napas tersengal-sengal — mereka memeluk diri sendiri dan mengibarkan suatu perayaan yang kadang pula hanya dirayakan oleh dirinya sendiri. Inilah proses bagi kita (dalam menulis dan sebagai queer) mengenal dan memahami, lalu menerima diri kita sendiri: yang queer dan penuh luka.

(Untuk kawan-kawan queer yang menulis, saya juga ingin menaruh hormat pada kalian. Kalian hebat dan kalian patut merayakan itu.)

Tetapi, itu adalah pertarungan pertama yang harus dilalui oleh kawan-kawan queer yang menulis. Medan tempur lain, menanti di depan mata.

Jika ia tak hendak menulis diari, tentu saja ada tujuan dan harapan lain untuk bisa menampilkan karya tulis itu bisa dibaca/dinikmati oleh orang selain dirinya. Ini bukan sekadar bercita-cita mau jadi penulis atau tampil dengan karya semata, tetapi ini membutuhkan keberanian dan perjuangan yang lain lagi. Sebab, artinya apakah kita cukup berani menunjukkan jati diri atau cukup nyali untuk dihajar lagi berkali-kali. Sebagian queer yang menulis memutuskan melangkah lebih jauh — dengan keberanian, nyali, dan mungkin saja senjata tempur yang terbatas — meski ada pula yang memutuskan untuk tidak melanjutkan.

Apa artinya itu? Kita perlu melawan (lagi) setan dan monster yang lebih besar dan kuat. Mereka tentu lebih perkasa. Kita melawan ketakutan pada prasangka orang-orang dekat yang kita kenal maupun tidak kita kenal, tentang karya itu yang queer dan tentang si penulis yang queer. Di sinilah, kita perlu punya kesadaran bahwa visibilitas itu memberikan risiko-risiko, bahkan ancaman dan perundungan. Dan setan dan monster itu hidup dalam sistem dan struktur yang selama ini menindas kita sebagai queer.

Penulis queer harus lebih banyak menulis tentang seks. Sebab, sejak awal kita tahu kalau tubuh dan seksualitas itulah pertempuran kita. Kita ditindas karena orientasi seksual, ekspresi gender, dan keunikan seksualitas kita. Dari situ, kita sesungguhnya sedang menebar perlawanan atas penindasan…

Karya queer dibilang mesum, ecek-ecek, dan sampah ketika kita bicara tentang seks dengan gamblang. Tentu saja, ketika queer bicara tentang itu, kita tidak sedang mencari sensasi atau “strategi marketing” dalam mempromosikan karya. Penulis queer memang harus lebih banyak bicara (menulis) tentang hal-hal yang mendobrak tabu: seks. Sebab, sejak awal kita tahu kalau tubuh dan seksualitas itulah pertempuran kita. Kita ditindas karena orientasi seksual, ekspresi gender, dan keunikan seksualitas kita. Dari situ, kita sesungguhnya sedang menebar perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan sekaligus menegaskan otonomi kita sebagai queer atas tubuh dan seksualitas sebagai akar masalah atau dalih atas kekerasan dan diskriminasi yang selama ini kita terima.

Tentu saja, ada topik lain yang tak melulu tentang seks. Queer yang menulis dan penulis queer tak harus juga menulis hanya topik queer. Dan sebagian penulis queer, bahkan terpaksa memilih nama samaran atau menutup identitas (discreet) atas aspek keamanan dan kenyamanan.

Sampai sini, saya mau bilang bahwa kawan-kawan queer yang mau mengirimkan karya, adalah hal yang patut disambut, terlepas dari karya itu punya derajat kualitas atau tidak yang bisa ditakar para pakar.

(Untuk kawan-kawan queer yang mengirimkan karya tulisnya, saya menaruh hormat dua kali lebih besar pada kalian. Kalian hebat dan berani dan kalian patut merayakan itu dan mendapatkan dukungan.)

Lantas, ketika karya tulis itu sampai di kotak surat atau meja redaksi (katakanlah, jika itu sebuah media), pertarungan lanjutan hadir lagi. Menerima surat penolakan itu hal yang lumrah dan kita tentu menerima itu secara wajar. Jangan menyerah kawan!

Tetapi, terkadang “penolakan” bisa lebih menyakitkan sebab ternyata lagi-lagi si setan dan monster itu ada di sana. Tema queer bukan tema yang dianggap agung, apalagi kalau itu ditulis oleh queer. (Sementara penulis straight yang mengangkat tema queer, kerap malah diagung-agungkan sebagai capaian). Dan proses dan perjuangan kita untuk tiba sampai sejauh itu, kerap memang tak dianggap, sebab penulis yang bukan queer tak selalu mengalami itu.

Dan secara khusus untuk itu, saya pernah menerima surat balasan atas karya dari editor media ternama dengan isi berupa pujian dan keterangan bahwa mereka tak bisa menerbitkannya karena tema queer yang diangkat bertentangan dengan kebijakan redaksional mereka. Tentu saja, saya mencoba santai karena penolakan menjadi hal yang sering saya dapatkan. Tetapi, setelah merenungkannya, saya menangis juga karena saya tak tahu apakah saya harus sedih (karena ditolak) atau senang (karena dipuji). (Ah, mungkin saja ia memuji karya saya sekadar untuk menyenangkan saya agar tak sedih.) Saya merasa kalah, meski belakangan saya tak mau menyerah dan mau merasa jadi pemenang. Ya, setidaknya menang atas keberanian saya melangkah.

Puncak pertempuran dan ketika solidaritas amat dibutuhkan

Dan pertempuran yang sebenarnya tiba ketika karya penulis queer itu akhirnya terbit. Terlepas dari tema yang digali, — apakah itu tentang queer atau tidak — tentu saja itu relevan untuk mengaitkannya pada pengalaman sebagai queer yang menulis. Jadi, kritik tentang karya sastra queer (queer literature), bisa jadi tak relevan untuk diutamakan ketika itu menegasikan pengalaman diri queer atas identitas, tubuh, dan pengalaman hidup sekaligus nilai sosial yang homofobik.

Saya menyebut itu sebagai pertempuran yang sebenarnya, karena kompetisi tanpa kehadiran kita yang queer pun sudah amat kencang di dunia sastra atau penerbitan. Dan sistem dan struktur itu dibangun atas pondasi yang tak bebas dari nilai atau norma homofobik. Seorang penulis queer atau karya tulis queer yang hadir di publik, — dalam konteks dunia yang homofobik seperti di Indonesia secara umum atau khususnya dunia sastra maupun dunia penerbitan di Indonesia — akan berhadapan dengan setan dan monster yang teramat jauh lebih perkasa, besar, kokoh, dan brutal. Seorang penulis queer hampir mustahil untuk melawannya sendirian. (Meski begitu, saya tahu ada yang sangat hebat untuk berhasil mengalahkan setan dan monster itu seorang diri dengan penuh luka dan darah yang sangat berarti untuk kita hormati dan hargai.)

Kini, setan dan monster itu bisa menjelma sebagai akademisi atau pakar gender sekali pun yang tak punya keberpihakan pada penulis dan karya queer, kritikus sastra yang patriarkis, panitia festival atau penghargaan sastra yang menganggap kompetisi itu harus sama rata, elit sastra yang hanya mau tahu soal kualitas tanpa mempertimbangkan bagaimana kualitas itu bisa disandingkan kalau dunia memang sudah sejak awal tidak adil pada queer sendiri, bahkan para pembaca yang dapat menjelma setan dan monster kecil-kecil, tapi mereka dapat beranak-pinak dan mampu melawan dengan kekuatan kolektif yang didukung oleh sistem dan struktur yang homofobik.

Dengan segala situasi itu, bayangkan bagaimana kita mau bicara soal ruang? Adakah ruang untuk kita — baik itu sebagai queer yang menulis atau penulis queer? Tentu saja, ada. Sangat kecil. Jika pun ada dari kita hendak diam-diam menaruh topeng menjelma setan dan monster itu sendiri, kita mungkin tak harus berhadapan dengan mereka. Tetapi, ingatlah, persekutuan dengan mereka ibarat iblis. Kau harus membalasnya dengan mahal, bahkan dengan jantungmu sendiri. Maka, bagi para penulis queer yang mampu hadir dan bertahan di ruang itu, camkan ini: tak ada yang namanya “keberuntungan”! Dan apakah itu berarti pertempuran telah usai?

Pertempuran tidak pernah selesai. Pertama, meski queer itu adalah pula penulis yang bertahan, ada pada diri kita identitas lain yang diikuti dengan masalah-masalah lain pula. Menjadi penulis tidak mudah, apalagi mereka yang berasal dari kalangan/keluarga kelas pekerja dan hidup tanpa privilise serta menghadapi stigma dan diskriminasi berganda atau ekstrim. Siapa? Ya, perempuan yang queer, kawan-kawan waria/transpuan dan transpria, queer dengan pendidikan formal rendah atau tidak sekolah tinggi, buruh yang queer, pemuda adat yang queer, disabilitas yang queer, lansia yang queer, orang Papua yang queer, dan lain-lain. Kedua, potensi pada tindakan kekerasan, stigma, dan diskriminasi yang tak terbendung. Saya katakan tak terbendung karena ketika ia atau karyanya telah terbit atau mendapat penghargaan, para setan dan monster seperti hendak meluapkan amarah yang lebih besar. Ia jadi pergunjingan atas kesuksesannya, tetapi setan dan monster itu secara otomatis akan bekerja di atas sistem dan struktur yang homofobik. Mengapa? Karena kehadiran dan kesuksesan penulis queer atau karyanya, menggoyahkan sistem dan struktur yang selama ini menguntungkan bagi setan dan monster itu.

Maka, saat itulah penulis queer perlu menghimpun kekuatan dari luar dirinya. Kita yang queer sudah seharusnya merasa terpanggil untuk menolongnya. Bukan semata melihatnya sebagai individu penulis, melainkan bagian dari diri kita sebagai kaum. Kita membangun solidaritas! Capaian penulis queer itu adalah sebuah prestasi representasi. Terlepas dari karyanya politis atau tidak, ingatlah menjadi queer dan hadir sebagai queer itu sendiri, sudah merupakan hal yang politis. Kehadirannya adalah buah pertempuran yang dahsyat dan bukan karena keberuntungan. Dan jangan biarkan ia sendirian! Ia patut dan harus mendapat dukungan.

Ingatlah, “hal-hal yang jahat” itu benar-benar nyata dialami oleh penulis queer. Jika ada dari kita tak yakin atau tak percaya soal itu, jangan abai dan tak peduli, bertanyalah! Berkacalah pada cermin jika kau sendiri adalah queer (dengan privilise) dan renungkan itu pada dirimu yang queer dan juga menulis. Jika kamu bukan queer, bangunlah empati dan tanyakan pada teman-temanmu sendiri yang queer dan menulis: apakah mereka pernah menerima hal-hal yang jahat itu, adakah hal yang bisa dibantu. Dan itu terkait langsung tentunya dengan kehidupan penulis queer, baik itu karier kepenulisannya maupun pengalaman hidup yang telah dilaluinya.

Bagaimana dengan mereka yang bukan queer menulis tentang queer? Itu pun penting mengingat suara-suara queer perlu terus digaungkan. Tetapi, mau sampai kapan? Sehebat apa pun penulis itu mewakili suara-suara kita yang minoritas, ingatlah bahwa mereka tak memiliki diri kita, mereka tidak mengalami ketertindasan yang kita alami. Masalah kita khas dan justru mereka yang hendak mendukung itu, bukankah lebih baik mempersilahkan kita yang queer untuk maju ke sebuah podium — mewakili kelompok kita sendiri — dan bersuara tentang kita dan persoalan kita. Nothing about us without us.

Maka, sampai sini, mudah-mudahan tidak mematahkan arang kawan-kawan queer untuk menulis. Semangatlah dan berjuanglah! Kehadiran kamu penting, karya kamu penting dan relevan. Cintai dirimu sendiri, hargai dirimu yang dengan segala upaya dan kekuatan, telah berani dan melangkah untuk bertempur di berbagai medan. Segala hal memang tidak mudah dan para setan dan monster itu, celakanya, bukan hanya mitos. Mereka nyata dan kejahatan yang mereka perbuat itu nyata di atas sistem dan struktur yang homofobik. Kita sebagai queer berharga, karya kamu sebagai queer pun berharga. Saat kamu ada dan masih bertahan, kamu adalah pemenang!

Dan kita semua — orang-orang queer dan ally — HARUS memastikan agar kawan-kawan queer punya ruang aman dan nyaman serta memperoleh dukungan. Setelah itu, — dalam situasi yang adil dan setara — baru kita bisa bicara soal kritik-kritik sastra.

Buat para kritikus pun, — khususnya yang cis, apalagi straight — tak usahlah merasa pantas mendikte apa yang harus kami tulis sebagai queer, sementara kami masih harus merebut ruang dan melewati banyak pertempuran sekadar untuk hadir dan ada!

Sending lots of love untuk kawan-kawan queer yang menulis dan para penulis queer!

*Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis lintas isu. Ia baru saja mengeluarkan buku berjudul Rumah di Tanah Rempah (Gramedia, 2020). Di sela-sela kegemarannya bertualang dan menggali sejarah rempah-rempah, ia terkadang juga berbagi pengalaman personalnya seputar cinta atau relasi queer. Silahkan ikuti keseharian kicauannya melalui Twitter (@nurdiyansah) dan Instagram (@penjelajah_rempah).

www.PenjelajahRempah.com

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah