Queer di Masa Lansia (Bagian VII): Queer Adat — Ummi Ida

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
20 min readApr 6, 2024
Ummi Ida. Ilustrasi oleh deer_diary92.

Sejak dulu, orang-orang queer adalah bagian dari orang Indonesia. Pada kekayaan dan kemajemukan kita dengan ragam ras, agama, suku (atau kini kita menyebutnya dengan Masyarakat Adat), bahasa, seni, dan budaya, termasuk di dalamnya ada pula dimensi keberagaman gender dan seksualitas. Dan menariknya, orang-orang queer (terutama trans/non-biner) bukan hanya telah eksis, melainkan juga memiliki peran istimewa di berbagai Masyarakat Adat maupun daerah di Tanah Air. Kita hadir dengan variasi nama yang menegaskan pengakuan (dan seringkali pula penghormatan atas) identitas queer sekaligus signifikansi pada kontribusi kita dalam kehidupan dan perkembangan peradaban yang menjadi mozaik Indonesia.

Menurut saya, orang-orang queer dalam tradisi kita pada awalnya secara umum banyak terhubung dengan sesuatu yang sakral dan relevan terkait dengan peran dalam seni-budaya, spiritualitas atau agama dan kepercayaan lokal, perladangan (agrikultur), serta aspek-aspek lain yang melekat dalam komunitas Masyarakat Adat atau corak masyarakat perdesaan. Tak seperti negara-negara Barat pada beberapa abad lalu yang punya pandangan konservatif dengan mengaitkan orang-orang queer pada hal-hal yang bersifat profan dan menyudutkan selayaknya itu adalah dosa, penyakit, dan bahkan tindakan yang melanggar hukum, leluhur kita justru melihat orang-orang queer seperti punya “bakat” yang spesial dan melampaui yang duniawi. Di berbagai tradisi, orang-orang queer memiliki peran atau kontribusi khusus yang dianggap luhung.

Di sini, saya pastinya bisa menyinggung selintas istilah-istilah pada banyak bahasa dan budaya yang merujuk pada ragam identitas, ekspresi, pengalaman tubuh, peran sosial, dan spiritualitas atau religiusitas terhadap atau terkait orang-orang queer, seperti orang burake atau to burake (lelaki yang berpenampilan perempuan atau sebaliknya) yang bertugas mendoakan ladang atau sawah di Toraja; gemblak yang merupakan sosok dengan penyematan (ketika lahir sebagai) jenis kelamin lelaki yang rupawan atau feminin, kerap berpakaian atau berdandan serupa perempuan, dan berpasangan dengan warog (lelaki yang maskulin) dalam tradisi Reog Ponorogo; lengger lanang yang terlahir dengan penyematan jenis kelamin lelaki, namun menjadi penari Jawa dengan perawakan (ekspresi gender) feminin dan/atau berpenampilan perempuan; Nan Tinjo atau si dua jambar yang dalam silsilah Raja Batak diasosiasikan sebagai sosok transgender, tapi ada juga yang mengatakannya tidak lelaki dan tidak perempuan, dan dipercaya sebagai penjaga keseimbangan alam orang Batak; sadati yang menampilkan kesenian Rateb Sadati di Aceh dengan gambaran sebagai lelaki muda yang berdandan seperti perempuan; wedokan yang hadir dalam kesenian ludruk di Jawa Timur dan dilekatkan sebagai waria/transpuan atau lelaki yang menjiwai diri sebagai perempuan di atas panggung; dan banyak lagi untuk kita dapat menggali lebih lanjut sosok-sosok queer di Nusantara. Artikel ini bisa diperpanjang hingga berpuluh-puluh halaman jika kita mau merunutnya secara komplit.

Namun, kita sadar bahwa pada perkembangan selanjutnya, hal-hal telah mengubah banyak cara pandang masyarakat terhadap ke-queer-an, sehingga kondisi orang-orang queer pun ikut berganti. Penjajahan (kolonialisme) menurut saya adalah yang paling banyak mereduksi peran dan signifikansi orang-orang queer dalam budaya kita. Terutama adalah penjajahan Belanda, baik itu di masa perusahaan dagang VOC maupun pemerintahan Belanda, yang telah merusak dan menghancurkan tatanan yang ada. Tanah (wilayah adat) di mana hutan, ladang, sawah, dan kebun berada, dirampas dan dialihfungsikan secara paksa, sehingga membuat orang-orang burake misalnya, kehilangan ruang untuk eksistensi diri dan perannya dalam pemberkatan ladang. Seni dan budaya lokal hancur dan tak bisa dipraktikkan karena kekejian cara-cara kolonialisme bekerja, seperti penerapan tanam paksa dan kerja paksa di Jawa. Begitu pun dengan kehadiran agama-agama impor yang memporak-porandakan agama lokal dan kepercayaan Masyarakat Adat, sehingga peran-peran spiritual atau religius dari orang-orang queer, ikut tergerus dan banyak yang musnah. Belanda juga memperkenalkan dan menerapkan hukum yang mengatur perkawinan dan keluarga serta mengecam aktivitas seks di luar nikah sebagai perzinahan. Sampai saat ini, kita masih mengadopsi dan menjadikan norma-norma kolonial tersebut sebagai yang berlaku umum, legal, dan acuan pada yang dianggap “normal.” Selama ratusan tahun, kita kemudian didogma pada tatanan kehidupan konservatif ala Barat, yaitu nilai-nilai keluarga yang tradisional — heteronormatif dan biner. Nilai dan norma (kolonialisme) itulah yang hadir bersama imperialisme dan kapitalisme. Sejak itu, banyak dari kita sudah terjangkit “penyakit” warisan kolonial yang bertahan dari abad ke-19 dan berasal dari dunia Barat hingga kini: homofobia dan transfobia.

Dan untuk memahami tradisi asal dan perubahan yang terjadi terhadap persoalan queer dan adat, kali ini saya hendak mengajak kita ke Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya untuk mengenal lebih lanjut tradisi Bugis yang masih menerapkan pengakuan dan peran istimewa terhadap orang-orang trans/non-biner. Masyarakat Bugis sendiri percaya bahwa manusia tidak hanya terdiri dari dua gender biner, yaitu lelaki dan perempuan seperti yang umum kita kenal sekarang, tetapi lima. Mereka adalah oroane (laki-laki cisgender); makkunrai (perempuan cisgender); calalai (perempuan yang berpenampilan/berwujud laki-laki) yang kerap dipadankan dengan identitas priawan/trans maskulin/transmen/translaki-laki; calabai (laki-laki yang berpenampilan/berwujud perempuan) yang kerap dipadankan dengan identitas waria/transpuan; dan bissu (rohaniawan yang memiliki semua gender atau tidak bergender) yang memimpin berbagai ritual dan menghubungkan dunia manusia dan Tuhan (Dewata). Bahkan, kelima gender utama itu pun masih memiliki turunannya dengan bermacam variasi lagi. Bayangkanlah pemahaman dan praktik itu telah jauh lebih dulu ada sebelum konsep maupun gerakan LGBTIQ+ maupun pendekatan berbasis SOGIESC (orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, dan karakteristik seks) lahir dan diinovasikan oleh orang-orang Barat yang hendak mencuci “dosa” mereka atas ampas kolonialisme yang melekat amat erat dan kuat di negara-negara yang ironisnya sudah merdeka dari penjajahan. Persoalan homofobia dan transfobia pun jauh lebih pelik dari yang pernah kita kira. Sebab, mungkin hal itu berlaku sama dengan apa yang pernah diutarakan oleh Soekarno bahwa “perjuangan kalian (kita di generasi saat ini) akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Lansekap alam Maros dan Pangkep yang dipenuhi bentang perbukitan kars.
Lukisan purba pada gua di kawasan Geopark Maros Pangkep.

Pada perjalanan ke Sulsel ini, saya terlampau dibuat kagum pada kawasan perbukitan kars yang membentang sepanjang Kabupaten Maros dan Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan). Batu-batu dengan ragam wujud yang dramatis dan terbentuk dari masa yang terlampau tua pada jutaan tahun lalu, seperti hendak mengingatkan saya pada asal-usul dan leluhur yang menolak untuk dilupakan. Ada lukisan purba di antara cerug-cerug dinding gua di sana. Berbagai situs megalitik juga menegaskan betapa Sulsel sarat akan sejarah dan budaya. Sementara di area persawahan yang hijau nan luas, tak jarang bebatuan itu menyembul di tengah-tengahnya. Kawasan Maros dan Pangkep diberkahi tanah yang subur dan masyarakat masih menggantungkan hidup dari bertani.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari Kota Makassar (dengan mobil dan melintasi jalan tol), saya akhirnya tiba di sebuah desa di Segeri, Pangkep. Tujuan saya adalah bertamu ke sebuah rumah panggung besar dengan cat hijau dan tirai berwarna emas. Dari warga sekitar, saya diberitahu namanya Rumah Arajang, rumah adat orang Bugis yang menyimpan peninggalan pusaka kerajaan. Di sana seorang pemimpin bissu tinggal: Puang Matoa Bissu Nani. Saat saya temui, Puang Matoa Segeri itu menyambut baik. Ia baru saja pulang dari sawah.

Rumah Arajang di Segeri, Pangkep.
Berbagai perlengkapan ritual bissu di dalam Rumah Arajang.

Kami berbincang sejenak di teras rumah panggung yang berlantai dan berdinding kayu. Ia berbagi cerita tentang bagaimana dulu ada banyak puang matoa di Segeri. Tetapi, kini tak lagi. Hal itu diikuti dengan fenomena sawah dan tanah adat yang digadai. Dan tak ada jaminan hidup (kesejahteraan) bagi puang matoa. Saya tak akan menuliskan lebih lanjut obrolan saya dengan Puang Matoa Bissu Nani karena saya memang tidak meminta izin untuk itu bisa ditulis di sini.

Di Kampung Bissu Segeri, biasanya pada bulan November, para bissu melangsungkan upacara adat Mappali yang mengawali dimulainya masa tanam. Mappali didahului dengan pembacaan mantra yang disebut Mattesu Arajang. Saat itu, benda pusaka berupa bajak sawah bertuah dibangunkan dan dimandikan. Setelahnya, ia diarak mengelilingi kampung. Ritual dilakukan untuk memohon restu Dewata di langit agar kelak masyarakat memperoleh panen yang baik. Para bissu akan menari Tari Manggitik. Dan di antara irama gendang dan doa-doa dalam bahasa Torilangi, mereka mengeluarkan badik (pisau panjang khas orang Bugis) dan menusukkannya ke tubuh tanpa ada luka dan darah yang mengalir. Itulah pertanda leluhur sudah datang dan harapan-harapan didengar Sang Khalik.

Setelah dari Segeri, saya pun melanjutkan perjalanan ke Maros untuk menemui Ummi Ida. Ia adalah salah satu pendiri Kerukunan Waria Bissu Se-Sulawesi Selatan (KWRSS), organisasi trans tertua yang masih bertahan hingga kini di Sulsel. Ummi Ida saat ini menjabat sebagai Ketua KWRSS. Usianya sudah 72 tahun. Sebelum bertamu ke rumahnya, saya memang sudah mengatur janji untuk hendak mengangkat sosoknya untuk seri esai. Menurut saya, penting untuk melihat lapis identitas queer adat lewat penggalian pada keterhubungannya dengan gerakan queer di Sulsel. Selain itu, Ummi Ida punya sikap terbuka untuk saya mendapat izin mempublikasikan profil dan obrolan dengannya. Pada siang yang terik di kediaman sekaligus salon miliknya, kami berbincang banyak tentang kisah hidupnya sebagai seorang transgender dalam adat dan tradisi Bugis.

Ummi Ida.

Ummi Ida kalau boleh cerita dulu lahir dan besar di mana?

Saya dilahirkan di daerah terpencil di Desa Parangina, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya dari lahir sampai umur lima tahun tinggal di Bima sama orang tua. Setelah itu, saya tinggal di Makassar. Kebetulan tante saya tak punya anak, jadi saya dijadikan anak angkat. Saya lahir tahun 1952. Saya pindah ke Makassar usia enam tahun, mulai TK sampai SMP. Lalu setelah SMP, balik ke Bima cari tahu orang tua. Orang tua saya campuran, ibu saya Bima dan bapak saya Bugis.

Dan Ummi mengidentifikasi diri sebagai?

Dari kecil, kakak-kakak saya selalu menganggap saya perempuan. Memang kelamin lelaki, tapi nurani saya perempuan. Saya itu dulu diajak ke sekolah, dipakaikan pakaian perempuan oleh kakak-kakak saya. Di Bugis, saya dibilang calabai.

Ketika Ummi kecil di Makassar, kehadiran orang-orang dengan ragam gender, termasuk bissu, calabai, dan lainnya, itu biasa saja?

Biasa saja. Tidak ada masalah. Kita dulu diperlakukan untuk suka dipanggil ke acara. Saya dulu tampil, ya sebagai perempuan: menari, joget di acara perkawinan, seperti Tari Patah Sembilan, Tari Payung, dan lain-lain.

Dulu itu, apakah anak-anak yang punya ekspresi gender seperti calalai atau calabai, diberikan pemahaman oleh orang dewasa?

Saya sudah bekerja, baru ketemu dan main dengan teman-teman (transgender). Di sekolah, saya diperhatikan sebagai perempuan. Waktu sekolah, saya fokus ke sekolah sampai mahasiswa juga masih fokus. Jadi, saat sekolah itu, tujuan saya cari ilmu, hanya tertuju pada sekolah. Setelah itu, saya kerja dengan ekspresi itu (sebagai perempuan) dan ikut lomba-lomba. Saya pertama ketemu di tempat wisata, ada anak-anak gerak-geriknya lain, lalu saya dipanggil, dan mereka mengaku perempuan, jadi ya akhirnya diajak ke rumah untuk belajar salon dan lain-lain.

Ketika saya kecil dan remaja, saya yang laki-laki feminin ini sering dirundung dengan panggilan banci atau bencong. Kalau Ummi Ida di sini, apakah dulu mengalami hal semacam itu?

Ada juga yang seperti itu. Itu tergantung gerak-gerik kita. Dulu, saya tidak. Tak banyak ngomong, pulang sekolah ya ke rumah. Saya SMA di Makassar itu selalu dapat predikat bagus di sekolah, jadi teman-teman segan. Banyak minta contoh kalau ada PR, saya ranking terus di sekolah. Teman-teman juga menghargai kita karena cara bergaul kita dengan tetangga dan lainnya. Itu satu poin untuk kita dari publik. Apa-apa yang dibilang orang tergantung kita. Orang lihat cara kita menghargai orang, jadi orang juga menghargai kita. Itu kunci hidup saya.

Ummi dulu kuliah dan kerja di mana?

Saya kuliah di Akademi Teknik jurusan Teknik Sipil. Tahun 1975, itu masih ada, lalu 1976 dilebur ke Universitas Hasanuddin (Unhas) dan jadi Fakultas Teknik Unhas. Tahun 1975, saya kerja harian lepas. Lalu 1976, saya mau lanjut kuliah untuk titel insinyur, tapi bos saya itu tamatan SMA, tapi saya sudah mahasiswa. Saya diintimidasi kantor. Jadi, kalau kerja, saya minta izin kuliah, bos itu bilang, ‘Mau kerja atau kuliah? Kalau mau kuliah, ya berhenti kerja.’ Jadi, saya tak lanjutkan sekolah, tapi sampai D3 saja. Saya (sebelumnya) kerja sebagai teknisi di Bandara Sultan Hasanuddin.

Apakah ada hal yang membedakan antara calabai/calalai dan transpuan (waria)/translaki-laki (transmen)? Sebab, orang-orang transgender di kota umumnya tidak terikat oleh adat. Bagaimana dengan di sini?

Sebenarnya sama. Yang membedakan itu, baru kita bergabung dengan LGBT. Dulu, kita hanya calabai saja. Kalau kita bergaul dengan transmen, transpuan, itu biasa anggapan orang dulu adatnya kental. Jadi, biasanya jangan panggil itu karena masih lelaki, bukan muhrim. Kecuali, kalau saya sudah tahu betul profesinya dan jiwa saya ini perempuan sejak kecil, jadi kita tahu bedanya. Saya itu perempuan dan dianggap perempuan. Di kantor, saya tak pernah dipanggil lelaki. Tapi, pangil Kak Ida, lalu sudah haji dipanggil Haji Ida. Saya ke kantor pakai baju lelaki. Di luar kantor, (saya pakai) baju perempuan dan orang biasa saja. Saya sudah ikut lomba (untuk kategori perempuan maupun transpuan). Tapi, saya tak tinggal sama tante. Saya mau bebas. Jadi, saya bergaul dengan Haji Rahman (Haji Rahman Daeng Pa’ja pada tahun 1970-an pernah dikenal sebagai Ketua Waria di Makassar) yang suka bawa saya ke Jakarta untuk kenal Mba Lenny Lamor, Miss Waria Indonesia di zaman (Gubernur DKI Jakarta) Ali Sadikin. Jadi, itu baku teman dengan Mba Mirna (yang pendiri dan anggota) Bambang Brothers itu. Ia suka panggil saya Si Kecil karena dulu badan saya kecil.

Oh, pernah ikut pentas di Jakarta dengan Mami Mirna Martinely?

Teman itu waktu (saya) ke Jakarta sekitar 1975–1976. Saya kerja itu masih harian lepas, lalu saya dipanggil teman, ‘Mau kerja atau melancong terus? Ini sudah ada pengangkatan pegawai.’ Jadi, saya pulang. Tahun 1977, saya jadi pegawai.

Apa yang waktu itu memotivasi Ummi ke Jakarta?

Ikut saja, ikut tahu. Ada teman di Jakarta kerja di pelabuhan di kapal pesiar, jadi saya coba saja sampai ke Tanjung Priok. Lalu, sempat manggung dengan Mirna dan Lenny, dengan Fantastic Dolls di Pekan Raya Jakarta. Kita manggung di sana tahun 1976 waktu masih Pak Ali Sadikin.

Manggung dengan Fantastic Dolls, menari apa?

Menari dayang-dayang. Dulu, (Fantastic Dolls sedang) susah cari anggota, lalu ditawari manggung, ya mau saja. Pertama manggung di Balai Sidang itu saya disuruh tari ular, antara berani dan takut, tapi saya paksakan saja. Disuruh waktu sama Fantastic Dolls itu ada tari ular dengan Mba Lenny Lamor.

Ummi, ngomong-ngomong mengenai ragam gender di Sulsel, itu sebetulnya ada berapa?

Ada calalai, calabai, makkunrai, oroane, dan bissu. Bissu tak bisa tergabung dan (menjadi gender) sendiri. Bissu itu transgender. Bissu tak bisa jadi calabai, tapi calabai bisa jadi bissu. Orang jadi bissu tak boleh berbuat macam-macam dan fokus. Itu bagian dari kekebalan tubuh.

Rombongan bissu ketika hendak melakukan pentas. Ummi Ida mengenakan baju berwarna putih dan memainkan peran memberikan penanda bagi para bissu untuk mulai menari. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Ummi Ida.

Saat saya berbincang tentang bissu, kebetulan hadir Marcella. Kata Ummi, ia adalah bissu dan saya bisa bertanya lebih lanjut soal itu kepadanya. Dan ketika Ummi memperkenalkan saya dengannya, Marcella — yang mau disapa dengan panggilan kakak — menyambut dengan hangat.

“Kata ‘bissu’ itu bersih, berarti suci,” kata Kak Marcella. Ia bercerita kalau dirinya ditasbihkan menjadi bissu oleh Mami Fitri, sosok transpuan yang disegani di Makassar karena ikut mendirikan dan memimpin KWRSS sejak awal.

Usia Kak Marcella saat diangkat, baru sekitar 25 tahun. Kini, ia telah memasuki kepala empat. Selain sibuk menjalani peran sebagai bissu, sehari-hari ia bekerja sebagai perias di salon.

Saya pun bertanya apa yang awalnya mendorong ia mau menjadi bissu. Ia menjelaskan, “Kebetulan waktu itu, ada mau pentas. Almarhum Mami Fitri minta saya jadi bissu, jadi saya diminta ke rumah adat di Bone dan kasih duduk dan saya dikasih mantra dan ilmu sama almarhum. Tidak ada tanda-tanda saya akan jadi bissu. Mami Kebetulan bilang, ‘Kamu itu bisa jadi bissu. Tapi, juga tak bisa dipaksa. Kalau mau, silakan!’

Sebagai seorang calabai dan orang Bugis, Kak Marcella pun mengaku terpanggil untuk melestarikan budayanya. Ia akhirnya menjalani serangkaian tahapan menjadi bissu, termasuk direbang dengan berpuasa (tidak makan dan minum, tetapi hanya minum air kelapa) dan tidur di rumah adat. Ketika lolos proses itu, orang Bugis percaya bahwa ilmu dari Dewata telah turun pada bissu tersebut. Ketika telah melalui penahbisan menjadi bissu (irebba), seorang bissu tidak boleh menikah atau berkeluarga, tetapi boleh mengangkat anak.

Sebagai orang yang suci, Kak Marcella dapat melangsungkan ritual adat Maggiri. Tubuhnya dapat kebal dari hunusan benda tajam. Para bissu bekerja dalam beragam acara adat, termasuk membikin sesajen.

“Saat kita mau pentas, kita ritual dulu agar jaga yang tak kita ingin terjadi,” katanya. Jika sudah diritualkan, tambahnya, insyallah acara berjalan lancar. Namun, berbagai pencekalan terhadap bissu datang dari pemerintah setempat. Meski begitu, seperti diutarakan Kak Marcella, bissu masih diundang dan dilibatkan masyarakat untuk ritual dan acara adat, terutama perkawinan.

Saya lanjut berbincang dengan Ummi Ida.

Jadi, sebetulnya siapa saja yang bisa jadi bissu?

Siapa saja yang mau. Tapi, ada peraturan yang terikat, tak boleh macam-macam dan berbuat ini-itu. Itu suci. Dan harus orang transgender. Dulu, masih zaman kerajaan, bissu itu ada bantuan dana dari pemerintah, jadi tak bekerja. Bekerja di rumah adat, melayani tamu adat di rumah kerajaan…. Semua ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Jadi, raja ajukan ke pemerintah untuk hidup mereka ditanggung. Dulu, sebelum pemerintah, ada raja. Jadi, raja perintahkan masyarakat untuk bawa beras untuk makanan bissu dan semua ditanggung kebutuhannya. Banyak ritual adat yang dipimpin bissu, mulai dari kekebalan tubuh, mau turun panen atau turun ke sawah, memohon hujan.

Apakah mereka itu orang-orang pilihan?

Bukan selalu pilihan, tapi yang penting ada kemauan dan keinginan.

Tahun 1950, Kahar Muzakkar memimpin pemberontakan besar di Sulsel yang dikenal dengan Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada 7 Agustus 1953, ia mengumumkan Sulsel sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Pemberontakan pada gelombang selanjutnya terjadi pada 1953–1965, di mana ia dan kelompok gerilyanya menyerukan Revolusi Islam dengan penegakan syariat Islam. Saat itulah, orang-orang transgender mengalami persekusi karena dianggap menyalahi agama dan menyembah berhala. Cerita tentang pemaksaan terhadap bissu untuk menampilkan ekspresi dan peran gender sesuai dengan seks yang disematkan sejak lahir (dalam pandangan Islam konservatif yang dipahami kelompok Kahar Muzakkar), bukanlah isapan jempol belaka. Dari penelitian berjudul “Resistensi Bissu terhadap Pembantaian DI/TII di Sulsel Periode 1950–1965 dalam Dua Cerpen Faisal Oddang” karya Ais Nurbiyah Al-Jum’ah, dijelaskan bahwa sebagian bissu ada yang memilih dibunuh ketimbang menuruti tuntutan tersebut. Banyak dari mereka juga terpaksa bersembunyi di gua-gua selama masa perburuan. Hingga saat ini, saya masih belum menemukan berapa banyak jumlah korban dari perburuan dan pembantaian terhadap kelompok trans/non-biner di tengah konflik itu.

Apakah Ummi tahu tentang tragedi pembantaian terhadap bissu di masa Pemberontakan DI/TII oleh Kahar Muzakkar dan bersedia bercerita?

Saat itu, kebanyakan bissu lari. Dulu, Mami Fitri tinggal setahun lebih itu (di persembunyian). Pembantaian itu karena respons tingkah laku kita: (dianggapnya) laki-laki jadi perempuan…. Bukan bissu saja, tapi juga waria. Jadi, waria yang keliaran ke sana kemari dianggap mengganggu ketenangan masyarakat. Mereka pada lari mengungsi ke daerah-daerah. Mereka (komunitas transgender) ‘kan kerja baik sama masyarakat dan masyarakat suka. Jadi, masyarakat bilang, ‘Kau cepat pergi ke tempat lain! Jangan di sini, nanti ada orang cari!’ Itu dianggap Kahar Muzakkar (waria/transpuan) berhubungan seks lelaki dengan lelaki, jadi anggapannya dosa dan macam-macam. Kita mengalah dengan lari ke daerah teman. Ada yang ke Kalimantan, Sumatra. (Kalau di Sulsel lari ke mana?) Kampung-kampung, bisa sembunyi dengan keluarga di sana. Di dusun-dusun itu ‘kan ada pelindung kita, jadi mereka kasihan sama kita.

Pemberontakan DI/TII di Sulsel meredup usai ditembak matinya Kahar Muzakkar pada 3 Februari 1965 dalam operasi yang diperintahkan langsung oleh Presiden Soekarno. Dan memasuki babak dimulainya kepemimpinan Presiden Soeharto, persekusi bissu masih berlanjut. Pembakaran Rumah Arajang dan penangkapan terhadap bissu dilakukan oleh ormas yang menuding kalau bissu maupun Rumah Arajang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Aktivitas maupun komunitas transpuan dan bissu kemudian berangsur-angsur membaik setelah situasi politik mulai stabil pasca-pembersihan PKI tahun 1965–1966, baik di Kota Makassar maupun berbagai daerah. Pada dekade 1970 hingga 1990-an, aktivitas dan gerakan mereka bertumbuh dengan adanya beragam lomba dan pentas transpuan yang marak dilakukan. Interaksi antar-transpuan pun semakin terjalin erat. Dan di tengah-tengah rezim militer Orde Baru itu, sebuah organisasi transpuan lahir di Sulsel.

Ummi Ida, sekarang ngobrol tentang KWRSS. Bagaimana awalnya dulu organisasi ini terbentuk?

Estimasinya berdiri tahun 1996, tapi resminya 1999. Tahun 1996, itu ada salah satu kabupaten yang adakan acara pernikahan di Bulukumba. Di situ, diundang seluruh waria di Kabupaten di Sulsel. Muncul ide kita, terutama Mami Fitri, yaitu bagaimana caranya menyatukan waria di Sulsel agar kalau kita bikin acara bisa berhasil, supaya berkumpul, agar tak dianggap enteng masyarakat dan orang-orang tak bertanggung jawab. Lalu, ada perwakilan tiap kabupaten (sebanyak) tujuh orang. Akhirnya, (kami) setuju rencana bikin organisasi. Jadi, ya sudah bikin 1997 itu Kerukunan Waria Sulsel, belum ada bissu-nya. Dilibatkan beberapa kabupaten yang hadir. Saat itu, yang ditunjuk sebagai ketua adalah Mami Fitri, sekretarisnya Haji Saripah Untung dari Wajo, dan saya bendahara. Jadi, perwakilan waria yang hadir itulah pendirinya: Mami Fitri dari Bone, Bissu Ancu dari Bone, Mince dari Bulukumba, Haji Asnawi dari Bone, Haji Saripah Untung dari Wajo, dan saya dari Maros. Saya tinggal di Maros dari 1975.

Lalu, kegiatan pertama yang digagas KWRSS itu apa saja?

Bikin lomba-lomba, tapi belum resmi. Lomba antar-kabupaten, tapi di pesta perkawinan. Ada lomba bola gaun, voli, olahraga, dan macam-macam. Jadi, timbul ide adakan Porseni atau Pekan Olahraga Seni khusus teman waria tahun 1997–1998, sebelum Reformasi. Jadi, 1999 sudah resmi diangkat Kerukunan Waria Sulsel. Porseni pertama di Bulukumba. Karena Mami Fitri itu pendekatannya dekat dan dia juga pegawai Dinas Pariwisata, jadi dekat dan yang diusulkan itu diterima.

Porseni di Bulukumba yang diorganisasikan KWRSS itu berapa banyak pesertanya?

Banyak, tak sampai seratus, tapi dari kabupaten saja bisa ada 10 orang. Jadi, kurang lebih 50 orang.

Bagaimana ceritanya kemudian KWRSS menambahkan bissu?

Itu tahun berapa ya saya lupa, tapi ini ‘kan kita sering diundang ke Jakarta. Dengan cara menempelkan nama bissu di kop surat, jadi dulu Mami Fitri itu akhirnya (terpikir) kalau ada undangan ke Jakarta, kita lampirkan surat undangan dan masukkan ke pemerintah di kabupaten-kabupaten yang terkenal bissu-nya. Jadi, agar kita dapat dukungan juga. Ya (teman-teman bissu) menyambut. Kita selalu tampilkan bissu juga kalau ke Jakarta. Kita pernah tampil di PKBI Jakarta.

Ummi Ida di usia muda (kiri) dan ketika mengikuti sebuah lomba kecantikan tahun 1981 (kanan). Sumber foto: Dokumentasi pribadi Ummi Ida.

Sekarang apa saja program atau kegiatan di KWRSS?

Banyak. Anggota banyak ya, sudah 14 kabupaten. Dulu, semua kabupaten di Sulsel. Sekarang, itu terbatas anggotanya karena siapa saja kabupaten yang mau ikut, kita anggap anggota. Lebih dari seratus. Satu kabupaten saja ada lebih seratus, tapi tak semua ya. Jadi, tergantung ketua di kabupaten dan dia data anggotanya dan kita punya Kartu Waria itu sampai sekarang. Ada Kerukunan Waria Kota Makassar, Bulukumba, Bone, Pangkep… masing-masing kabupaten ada. Umpama saya ada ketua, sekretaris, bendahara, — ada struktur organisasi — jadi ya kalau ada acara lapor ke sini di provinsi. Lapor dan buat surat permohonan ke daerah masing-masing dan dulu selalu disetujui, tapi baru-baru ini tidak. Saya menjadi Ketua KWRSS sejak 2018 sampai 2024. Periode kepemimpinan kami lima tahunan.

Ummi, sekarang gerakan ‘anti-LGBT’ menguat dan muncul Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Anti-LGBT di Sulsel. Kondisi tersebut mungkin membuat gerak kawan-kawan semakin sulit. Tapi, seperti apa situasi teman-teman calabai dan bissu?

Secara umum, kita yang penting hati-hati dan waspada. Di daerah, itu tiap bulan juga ada yang punya kegiatan. Jadi, setiap tahun, kami ada kegiatan di Sopeng, Wajo, Bone, Sidrap, Pinrang, Palopo… selalu ada dan aktif. Cuma kita kerja sama dengan pemerintah setempat, jadi tidak di kota kabupaten, tapi di kecamatan. Kita kerja sama dengan pemerintah, acara kita selalu aman. Yang bikin tak aman, kadang dari kita sendiri, itu teman-teman yang muda suka buat posting (di media sosial). Jadi, kita bilang jangan di-posting di media sosial. Setelah acara, boleh. Jangan di-posting sebelum atau sebentar acara.

Persekusi biasanya datang dari mana?

Yang suka melarang itu kelompok polisi. Dulu tokoh agama, sekarang polisi yang turun tangan. Sekarang tak ada ormas Islam, tapi diserahkan ke polisi, jadi yang tahu dan lapor ke bosnya. Tak ada masalah sebenarnya. Asalnya dari ormas. Ormas itu lapor ke polisi dan akhirnya polisi turun langsung.

Pendapat Ummi Ida soal Ranperda Anti-LGBT di Sulsel?

Yang penting hati-hati dan waspada. Meski ada, mudah-mudahan kegiatan kita tak sampai ke situ. Sejak dulu, ada Ranperda, kita juga tetap selalu ada kegiatan. Mudah-mudahan anak-anak sekarang ya hati-hati dan waspada untuk antisipasi itu.

Sebagai calabai, ada peran unik lain yang diemban oleh Ummi Ida di Maros. Ia menyinggung bahwa ia adalah seorang indo’ botting. Dalam tradisi Bugis, khususnya perkawinan, ia memainkan fungsi yang penting dalam ritual-ritual di dalamnya. Saya pun mencoba bertanya lebih lanjut tentang indo’ botting.

Indo’ botting itu apa, Ummi?

Dukun pengantin kalau orang Jawa bilang. Saya (menjadi indo’ botting) sejak 1972.

Jadi, bukan sekadar merias, tapi ada ritualnya?

Tahun 1972, saya ikut teman-teman, jadi (saya belajar) ke indo’ botting yang terkenal. Mirna dan Dorce itu juga kita yang ritualkan. Bukan saya, tapi yang pernah saya tinggali, yaitu Haji Rahman. Ia ritualkan Mami Mirna, Mami Dorce, dan lain-lain. Kita dulu belum boleh tahu dan ada ruangan khusus. Saat itu, akhirnya saya sedikit banyak tahu. Ada banyak dulu yang ikut, tapi (karena) hanya saya yang sekolah, jadi saya yang sering dipanggil untuk tulis ini-itu. Saya belajar.

Ada ritual khusus untuk menjadi indo’ botting?

Ada, tapi sekarang tak ada lagi karena orang sekarang sudah banyak uang dan pintar. Tapi, itu beda ya yang ada ritual dan tidak. ‘Kan orang kalau sudah dikasih ritual saat pengantin, bukan hanya lihat cantik sesaat, tapi mau cantik sampai tua dan mati. Sekarang indo’ botting hanya pintar rias dengan alat mahal. Tapi, kalau dibuka polesannya, kembali biasa. Tapi, kalau pakai ritual, setelah dikasih ritual itu sampai kapan pun masih kelihatan bercahaya dan muda. (Ada mantra) cenning rara itu namanya.

Apakah indo’ botting harus calabai?

Ya, dulu. Sekarang tak semua, tapi ada juga perempuan ‘asli’ sebab berkat mereka juga ikut bergaul sama kita dan sekolah salon. Jadi, ikut juga dan mereka merias dan sekarang kegiatan waria itu turun.

Ummi, sekarang di usia 70-an, tinggal sama siapa?

Sama keponakan, cucu, dan keluarga.

Tidak menikah?

Tidak.

Punya pasangan?

Sebenarnya masih punya, tapi tidak tinggal sama. Dia sudah kerja. Dulu, waktu dia kuliah, sama-sama (tinggal).

Meski telah pensiun, Ummi masih aktif bekerja mengurus salon dan menjadi indo’ botting. Ia menunjukkan pada saya berbagai kenangan pada album foto lamanya. Ada potret para kekasih dan juga dirinya ketika muda berdandan begitu elok untuk mengikuti lomba-lomba kecantikan. Ia bahkan pernah ikut kontes untuk kategori perempuan dan berhasil menyabet satu predikat. Katanya, dulu lomba itu bermacam-macam dan diadakan di Pulau Kayangan di sebelah Benteng Roterdam.

Aku dengar Ummi begitu gencar untuk mendorong teman-teman untuk berorganisasi. Menurut Ummi, mengapa kita perlu berorganisasi?

Karena kalau tak ada organisasi, tak ada silaturahmi antar-sesama. Yang kita utamakan ‘kan silaturahmi untuk kenal satu sama lain. Kita ‘kan saling kenal karena organisasi. Maka, organisasi harus tetap kita tegakkan. Cuma yang jadi perhatian, anak-anak ini bagaimana kita beri pengertian dan masukan. Kalau mau ini, ya harus hati-hati dan waspada.

Di usia yang sesenior ini, Ummi tak terpikir untuk mau jadi bissu?

Tidak ada, sudah cukup indo’ botting dan calabai, ya.

Apa pandangan Ummi kalau ada teman yang mau jadi bissu?

Kita salut dan dorong mereka sebab kita mau (ada) regenerasi. Bissu sekarang mau punah dan kurang anggotanya. Kita selalu ajukan anggota dan selalu regenerasi, tapi terkendala dana. Bukan hanya untuk ritual, tapi kumpul teman-teman dari berbagai daerah. Jadi, kita perlu danai biaya kumpul.

Ketika saya berkunjung dan sebelum berbincang dengan Ummi Ida, azan Zuhur berkumandang. Ia permisi kepada saya agar menunggunya untuk salat ke masjid terlebih dulu. Ummi mengenakan baju gamis berwarna hitam dan peci bulat. “Sekarang saya utamakan ibadah karena sudah umur. Kita tak tahu ajal, jadi siap-siap,” katanya. Ia memberitahu saya kalau orang-orang di tempat ibadah tahu sosoknya sejak lama. Mereka tetap mengenal dan memanggilnya dengan nama yang dipilihnya: Ida. “Sudah naik haji, orang-orang mulai panggil Haji Ida. Saya naik haji tahun 1996. Ya, ada kemauan dan keinginan. Itu ‘kan wajib kalau mampu. Kebetulan didorong teman-teman juga.”

Saya bertanya apakah dirinya ingat doa yang pernah ia lontarkan di Tanah Suci umat muslim itu ketika berangkat haji. Ia bilang, “Doa untuk keselamatan. Mudah-mudahan saya bisa bimbing anak dan keluarga, bisa hidup rukun dan damai. Minta keselamatan diri dan semoga panjang umur dan sehat dan jadi panutan teman-teman saya yang waria juga.”

Ummi Ida dalam balutan busana adat.

Queer di Masa Lansia merupakan seri esai kolaborasi yang menghadirkan beragam sosok dan perbincangan dengan para individu queer lansia, termasuk aktivis senior, yang mewakili beragam identitas maupun komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Seri ini hendak merekam pandangan dan pengalaman hidup yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi generasi queer muda untuk membayangkan kelak menua sebagai queer. Melalui kisah-kisah tersebut, kita (yang muda) juga berupaya membangun koneksi lintas generasi sekaligus menaruh hormat dan rasa terima kasih atas buah dari perjuangan para senior untuk kemudian dapat kita teruskan dan kontekstualisasikan.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah