Rumah dan Sebuah Penjelajahan di Negeri Rempah

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
6 min readJun 5, 2018
Cengkeh, biji pala, dan fuli (kulit ari biji pala) yang dijemur di tepian jalan di Wanua Koha, Minahasa, Sulawesi Utara.

Saya mengingat momen ketika remaja di sekolah dulu. Saya duduk manis di ruang kelas dan mendengarkan guru menjelaskan tentang sekelumit peristiwa di masa lalu. Ia meminta siswa-siswa menghapal berbagai kejadian. Tahun-tahun tentang peperangan dan kematian para pahlawan. Tanpa sebuah konteks, saya yang bocah hanya mengenal pelajaran sejarah yang membosankan. Saat itu, saya tak pernah memahami betul soal rempah-rempah yang disinggung sebagai motif dari kolonialisme (juga imperialisme dan feodalisme). Rempah yang membawa Indonesia pada transisi perubahan dunia menuju babak baru peradaban.

Yang saya tahu ketika itu, rempah-rempah hanya urusan dapur. Bumbu, jamu, dan hal-hal klenik yang menebar bau. Saya bisa mengutuknya karena kesan yang seringkali dianggap kotor dan mewakili masa maupun nuansa yang jauh dari modern. Bentuknya yang kasar bisa memberi kesan yang menjijikkan. Tetapi, saya bisa pula memujinya untuk suatu kesedapan yang tercecap di lidah. Aroma rempah yang mengepul hangat dan lezat dari masakan Ibu di dapur rumah.

Kenangan tentang rempah adalah suatu hal yang absurd dan mungkin sulit saya kenali di antara dua hal yang kerap saling berlawanan atau berjalinan. Kontradiksi tentang hal-hal yang hadir secara sumir dan tanpa isi. Apa pula hubungan rempah dan perkara kolonialisme? Saya tak pernah bisa mengerti.

Berawal dari Sebuah Perjalanan

Memulai serangkaian perjalanan, memberikan saya banyak pengalaman. Itulah yang saya rasakan ketika tanpa sengaja saya mulai banyak berkeliling ke berbagai tempat. Saya menyukai interaksi dengan orang-orang lokal. Berbincang dengan mereka membuat saya menyadari dan memahami beragam hal. Perjalanan itu mulai saya lakukan di sela-sela menempuh studi S2 di bidang pariwisata. Saya dan kawan di kampus pun tidak hanya mulai menulis cerita perjalanan, tapi kami menginisiasi sebuah blog Jejakwisata.com. Pada akhir tahun 2015, buku travel writing pertama saya terbit. Porn(O) Tour adalah upaya yang coba saya lakukan untuk mengampanyekan isu tourism ethics ke dalam bentuk tulisan populer.

Tetapi dari suatu titik destinasi, rasa keingin-tahuan saya berkembang. Saya tak ingat kapan persisnya. Saya dan Ibu pergi mengunjungi kerabat di Lampung. Mereka adalah keluarga paman-paman saya yang mengikuti program transmigrasi di masa Orde Baru dengan mendiami sebuah kawasan dengan latar sebuah gunung di Tanggamus. Desa-desa orang Jawa itu dikelilingi oleh tanah yang subur. Kebun-kebun rempah, termasuk pala, cokelat, dan kopi, menjadi pemandangan yang menghiasi keseharian warga. Pasar pagi-nya meriah dan beragam rempah tumpah ruah.

Di Lampung, saya melihat betapa rempah lekat dengan kehidupan mereka. Pendapatan berasal dari corak agraris. Biji-biji kopi, cokelat, dan pala yang dijemur pada terpal-terpal di halaman depan rumah dan tepian jalan, merupakan tumpuan ekonomi. Mereka bekerja sebagai petani. Tetapi tentu saja, ada cerita yang tak melulu tentang hal-hal yang manis. Lampung menjadi salah satu provinsi dengan konflik sosial dan persoalan tenurial yang pelik. Itu bukan hanya perkara transmigrasi yang dipaksakan oleh negara, melainkan juga kasus-kasus perampasan lahan dan pelanggaran HAM yang disertai dengan banyak kekerasan.

Biji kopi robusta petani yang dipanen dari kebun di kaki Gunung Tanggamus, Lampung.

Dari rempah, saya menemukan konteks dari Indonesia yang tampak bagai suatu bingkai mozaik. Potongan-potongan itu tercecer di seluruh tanah dan air di Nusantara. Aroma dan rasa sedap rempah itu mewarisi bau gurih sekaligus anyir dari kolonialisme — yang mungkin membawa kita pada suatu perenungan: Apakah warisan kolonialisme itu berlangsung lebih lama dari yang kita duga? Atau kemerdekaan itu sebetulnya memang bukan suatu tujuan, melainkan sebuah proses. Saya menemukan pula ada bab yang hilang dari Indonesia di tahun ‘65–66.

Saya lupa kapan persisnya saya memulai perjalanan ini. Tetapi, karena itulah saya coba mendokumentasikan perjalanan dan cerita tentang rempah melalui akun Instagram pribadi saya yang bernama @penjelajah_rempah.

Memperbincangkan “Jalur Rempah”

Perkenalan saya dengan teman-teman di Yayasan Negeri Rempah mungkin telah dimulai beberapa tahun silam melalui berbagai kegiatan kreatif yang dilakukan untuk mempromosikan beragam aspek dari Jalur Rempah. Jalur Rempah bukan semata suatu rute perdagangan komoditi rempah-rempah yang telah disinggung oleh astronom Yunani, Claudius Ptolomaeus di abad ke-1 Masehi terhadap kemenyan dari Barus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Jalur Rempah adalah suatu pula ambisi dan inspirasi dari peradaban dunia. Cengkeh dan pala di Kepulauan Rempah di Maluku membawa momentum yang mendorong orang-orang kulit putih (Spanyol dan Portugis) berlomba-lomba mengarungi separuh bumi pada Abad Pertengahan untuk bisa mendapatkannya. Begitu pun dengan kehadiran supremasi Belanda dan Inggris yang kemudian menguasai rempah.

Benteng Gam Lamo yang dibangun Portugis tahun 1522–1540 di Ternate dan menjadi sebuah penanda kehadiran orang-orang kulit putih sekaligus simbol dari kolonialisme di Nusantara — menyusul kemudian Spanyol, Belanda, dan Inggris.

Rempah memberikan kontribusi yang tak kecil dari temuan mesin uap (unsur penting dalam teknologi pelayaran maritim) dan Revolusi Industri. VOC dan EIC adalah perusahaan multi-nasional pertama milik Belanda dan Inggris yang dibentuk demi penguasaan perdagangan dan monopoli rempah di Maluku. Memasuki abad ke-19, rempah pula yang mendorong perubahan wajah di Jawa dan Sumatera ke dalam corak kapitalistik lewat perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik. Kota-kota kuno yang cantik dan megah di Eropa dan Konstatinopel pun salah satunya dibangun dari keuntungan perdagangan rempah. Rempah memainkan peran tak kecil dalam memberikan kita (Indonesia) dan banyak bangsa terjajah di Asia dan Afrika, suatu kesadaran akan penindasan dan penghisapan yang berujung pada serangkaian perang dan pemberontakan untuk kebebasan dan kemerdekaan. Revolusi ‘45!

Tentu saja bukan hanya menyoal cerita sejarah, pada bazaar dan dialog publik yang digagas Yayasan Negeri Rempah dengan tajuk “Pasar Rempah” pada 26–27 Mei 2018 di Main Lobby The Bellezza Permata Hijau, ada banyak hal yang dipaparkan, mulai dari kopi, kuliner, hingga produk olahan modern yang terinspirasi dari rempah.

Saya mendapatkan kesempatan untuk berbagi cerita pada dialog yang juga menghadirkan Amanda Katili dari Omar Niode Foundation dan Kumoratih Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah.

Berbagi cerita pada dialog publik di acara bertajuk “Pasar Rempah.” Turut duduk bersama saya dari kiri secara berurutan, adalah Mas Bram (moderator), Kumoratih Kushardjanto, dan Amanda Katili.

“Saya tergerak untuk menjadikan narasi Jalur Rempah ini sebagai sebuah gerakan untuk mengajak mengenal kembali jati diri kita sebagai orang Indonesia,” ucap Kumoratih Kushardjanto yang prihatin terhadap lemahnya pemahaman sejarah masyarakat kita.

Ia berharap serangkaian program atau kegiatan Jalur Rempah yang berangkat dari semangat untuk belajar itu mampu menularkan antusiasme terhadap pengenalan sejarah dan budaya Indonesia.

“Mengenal akar budaya dan sejarah sangat penting agar (kita) bisa melakukan refleksi dan pembelajaran untuk menata visi masa depan,” tambahnya.

Sementara itu Amanda Katili yang berasal dari Gorontalo memaparkan hal menarik dari sejarah dan budaya rempah di tanah kelahirannya itu dengan pengembangan kuliner dan pariwisata. Gorontalo yang seringkali tak dikenal, sekarang mulai dilirik banyak orang hingga mancanegara.

Ada banyak hal yang tak sekadar bisa kita kenang dan pelajari tentang rempah di era kolonialisme, tetapi juga melihatnya sebagai suatu inspirasi.

Saya ingin mengenang rempah sebagai warisan zaman yang pernah mengobarkan semangat perjuangan dan perlawanan. Rempah lebih dari sekadar komoditi maupun bumbu yang pernah membawa kita pada kesadaran menuju revolusi di masa lalu. Rempah membawa saya pada pertanyaan tentang bagaimana kita hendak merawat rumah bersama kita: Indonesia.

Nurdiyansah Dalidjo adalah peneliti dan penulis lintas isu. Di sela-sela kegemarannya bertualang dan menggali sejarah rempah-rempah, ia terkadang merenungkan banyak hal. Silakan ikuti perjalanannya melalui Twitter dan Instagram.

www.penjelajahrempah.com

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah