Jaga Jarak, Tetap Bergerak

Hasrat primordial mengantisipasi krisis

Alvin Akbar Aeronautika
Occupied Urbanism
Published in
11 min readJun 12, 2020

--

Bergerak merupakan hasrat primordial umat manusia. Evolusi kaki-kaki manusia menjadi penanda akan peristiwa pembentukan peradaban dan kota manusia. Bermula dengan berjalan kaki, mendomestikasi sumber daya alam seperti hewan-hewan, hingga teknologi transportasi dengan cakupan jalurnya yang beragam. Kita disadarkan bahwa bergerak merupakan cara kita membentuk peradaban.

Dalam situasi pelik pandemi, kita diajak untuk membatasi pergerakan sebagai upaya pengamanan diri dari tertularnya Covid-19. Perjalanan untuk memenuhi kebutuhan pada umumnya harus berhenti dan digantikan dalam wujud virtual. Namun apakah ini artinya sepenuhnya peradaban pasca pandemi akan berhenti bergerak? bilamana diharuskan melakukan mobilisasi, bagaimanakah siasat yang bijak untuk mengantisipasi paparan pandemi?

Kita dihadapkan pada pilihan takut kelaparan, atau tertularkan oleh Pandemi.

Sebelum dilanjutkan, mari kita tonton secara kritis cuplikan dari film dokumenter oleh William H. Whyte berikut.

“Movable Chair”, The Social Life of Small Urban Spaces Documentary, William H. Whyte

Beberapa waktu lalu, berkesempatan mengikuti Movie Party yang diadakan oleh Project for Public Spaces (PPS). Sebuah film yang fenomenal di mana membawa pengaruh besar pada pergerakan yang dilakukan PPS sendiri hingga hari ini.

Cuplikan di atas merupakan sepotong narasi dari film The Social Life of Small Urban Spaces, yang juga merupakan sebuah buku oleh William H. Whyte. Kisah menarik dinarasikan dalam buku dan film tersebut, tentang fenomena movable chair yang diletakkan di ruang publik. Sebuah taktilitas sederhana yang dapat melahirkan suatu perilaku individu yang erat dengan pendefinisian personal space mereka.

Tulisan ini akan mengaitkan perilaku individu dalam mengklaim personal space atas dirinya sebagai respon dalam menghadapi krisis ruang oleh pandemi. Sehingga masing-masing darinya akan dapat tetap bergerak dengan aman.

Menjajaki Personal Space Individu

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa bergerak merupakan hasrat mendasar bagi tiap-tiap manusia. Dengan bergerak, kita memiliki maksud dan tujuan tertentu. Baik secara intensional seperti dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup ataupun melalui refleks seperti dalam upaya penentuan batas personal space. Utamanya, ketika berbicara mengenai penggunaan ruang oleh individu, personal space memberikan kita kuasa privasi dalam mendomestikasi sebuah ruang yang lebih bersifat publik. Dan secara naluriah, antar individu akan dengan mudah saling memahami ketika seseorang hendak menetapkan batas atas personal space-nya.

Sebagai upaya menyamakan persepsi, sebelumnya diletakkan pemahaman umum mengenai personal space, yakni upaya pembentukan jarak interaksi dengan individu atau objek lainnya yang dapat meluas atau menyempit sesuai dengan “kebutuhan — kehendak” individu tersebut. Studi mengenai personal space dibahasakan oleh Edward T. Hall sebagai Proxemics, yakni mengenai penggunaan ruang oleh manusia dan dampak dari kepadatan populasi terhadap perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.

Proxemics, Edward T. Hall (sumber)

Dalam realita, tiap-tiap manusia memiliki kuasa untuk menetapkan batasan ruang atau personal space atas dirinya. Penetapan personal space ini paling sederhana dimanifestasikan oleh individu melalui gestur atau gimik, dan sering kali merupakan produk dari kebiasaan atau refleks. Ruang-ruang yang kemudian tercipta, akan memengaruhi individu dalam berinteraksi dengan satu sama lain melalui satuan dimensi tertentu.

Cuplikan 1 dari film dokumenter The Social Life of Small Urban Spaces oleh William H. Whyte

Pada kisah movable chair di ruang publik, ketika ada 2 buah kursi yang berdiri berdampingan dan ada 1 orang yang hendak menghampiri untuk menduduki salah satu kursi, mereka cenderung menggeser kursinya sedikit menjauh dari kursi satunya. Tentu hal ini lumrah terjadi pada diri kita semua.

Perilaku ini pada dasarnya merupakan upaya kita dalam menghadirkan ruang yang nyaman dan aman bagi diri kita. Karena biasanya, ketika terdapat suatu objek yang memiliki proksimitas dengan tubuh kita, acap kali kita merasa terinvasi tidak nyaman. Dan melalui perilaku ini, kita telah mengklaim hak atas personal space diri kita pada ruang publik dengan berjarak dari kursi kosong di sebelah.

Seseorang di sebelah kanan meletakkan tas di kursi sebagai gestur personal space (sumber)
Seseorang menaikkan kakinya ke atas bangku sebagai bentuk penegasan tertitorialitas ruangnya (Photo by Avi Naim on Unsplash)

Cerita lain dari upaya pengklaiman personal space seseorang melalui gestur ialah ketika terdapat 2 buah kursi, 1 orang duduk di salah satu kursi dan secara tidak sadar meletakkan barang miliknya, semisal jaket di kursi kosong sebelahnya. Artinya dia mengklaim personal space dirinya lebih lebar dibanding orang lain dengan mengakuisisi hak orang lain dalam menggunakan tempat duduk di sebelahnya.

Dalam satu studi dikatakan bahwa fenomena gestur ini merupakan respon dari environmental psychology yang dirasakan oleh tiap-tiap individu secara refleks. Sebuah persepsi psikologi yang mengekspresikan teritorialitas individu atas suatu tempat dan biasanya erat dengan kondisi pertahanan dari agresi. Tetapi dalam kondisi pandemi, akan dikaitkan dengan upaya mencapai kondisi ruang yang nyaman dan aman secara individu dalam kondisi yang publik.

Physical distancing yang kita lakukan sebetulnya merupakan upaya ekspansi dari pengklaiman personal space. Beranggapan dengan semakin berjarak, maka akan semakin aman. Bergerak pada skala mikro akan membuat kita lebih mudah mengatur dan menunjukkan batas personal space kita terhadap individu lain. Melalui pemahaman kolektif tentang ekspansi personal space dan upaya menghargai ruang antar individu, akan menjadi siasat kita untuk tetap bergerak dengan aman pada ruang-ruang kota.

Penyesuaian Personal Space Individu Menyikapi Pandemi

“I went to prison, but I never let my mind go to prison” — Archie Williams

Sama seperti kondisi sekarang, karantina tidak menghentikan seseorang untuk berpikir dan beradaptasi. Menyikapi kebutuhan jarak dalam physical distancing, Daniel Rotsztain dan Bobby Gadda yang merupakan bagian dari Toronto Public Space Committee melakukan sebuah eksperimen social distancing machine”. Mereka berdua melakukan eksperimen terhadap ruang-ruang kota di Toronto untuk pejalan kaki menggunakan sebuah alat yang memberikan mereka boundary ruang gerak individu dengan jari-jari 2 meter.

Social Distancing Machine (sumber)

Melalui eksperimen yang dilakukan ini, mereka tidak menemukan ruang-ruang pejalan kaki di Toronto yang dapat mengakomodasi jarak aman physical distancing. Trotoar yang terlalu sempit, banyaknya obstacle, dan jarak yang berdekatan dengan ruang kendaraan tidak memungkinkan mereka untuk menjaga jarak aman. Ironisnya, terdapat satu tipologi ruang kota yang dapat mengakomodasi “social distancing machine” ini, yakni ruang jalur kendaraan. Sejenak mereka tersadar, Kota Toronto yang dahulunya didedikasikan untuk pejalan kaki, kini sudah menjadi car oriented. Dan kini, akuisisi ruang oleh kendaraan malah membatasi ruang gerak pejalan kaki.

Social Glass Research, AMS Institute (maps)

Mari kita berkaca pada kota-kota yang menerapkan prinsip smart growth seperti Kota Amsterdam dengan ruang kotanya yang walkable. Sebuah studi, Social Glass Research dilakukan oleh AMS Institute dengan membuat sebuah permodelan peta ruang jalan Kota Amsterdam. Peta interaktif ini menunjukkan klasifikasi ruang jalan dan klaster berdasarkan ketersediaan dimensi untuk melakukan physical distancing. Hasil studi menemukan bahwa tetap ada beberapa ruas jalan di Kota Amsterdam yang tidak dapat mengakomodasi physical distancing secara optimal. Tetapi kita harus mengingat, Kota Amsterdam yang walkable dan memiliki tingkat penggunaan micromobility yang tinggi, menjadikan ruang-ruang jalan di Kota Amsterdam lebih mengutamakan pejalan kaki untuk bergerak pada skala mikro.

Shared surface experiment di Amsterdam Central Station (sumber)

Di Kota Amsterdam, terdapat beberapa tipologi jalan seperti tipologi “shared space” yang beberapa waktu lalu menjadi eksperimen di sekitar Amsterdam Central Station dan tipologi “woonerf” pada area neighborhood. Tipologi jalan ini menggabungkan akses pejalan kaki, pesepeda, dan mobil pada ruas jalan yang sama. Dan hasil eksperimen menemukan bahwa penggunaan tipologi jalan ini aman terutama untuk pejalan kaki. Ekspansi ruang pejalan kaki pada jalur kendaraan ini menjadi alternatif kebijakan yang baik untuk mendukung physical distancing pejalan kaki ketika bergerak di ruang kota.

Sehingga basis problematika yang dihadapi untuk menerapkan physical distancing ialah ketersediaan fasilitas infrastruktur dan transisi kebijakan tiap-tiap kota. Berkaca pada kota yang kita tinggali di Indonesia, masih banyak ruang-ruang pejalan kaki yang tidak memadai secara fisik (mengalami kerusakan dan adanya halangan) serta terbatasnya dimensi ruang. Pembenahan akan hal tersebut sejatinya menjadi momentum juga bagi munisipal tiap-tiap kota untuk kembali merubah orientasi perkembangan kotanya kepada pejalan kaki.

Pendayagunaan Micromobility untuk Bergerak, tetap jaga Jarak

Beberapa waktu lalu, ketika protokol physical distancing mulai diterapkan, tingkat occupancy transportasi publik massal di beberapa negara mengalami penurunan. Dan tentu hal ini berakar dari persepsi kepadatan kota memudahkan penyebaran Covid-19. Namun terdapat juga kelompok-kelompok masyarakat yang tidak dapat bertahan hidup tanpa bergerak. Artinya, mereka tetap harus melakukan pergerakan mengelilingi ruang-ruang kota demi mencari pendapatan. Lantas kembali kepada pertanyaan di awal, bagaimana kita dapat bergerak dalam keadaan yang mendesak?

Jakarta, 1970-an

Pergerakan skala mikro dengan menggunakan micromobility, seperti bersepeda, otoped, dan juga berjalan kaki akan menjadi pilihan untuk tetap aman berjaga jarak di ruang-ruang kota. Micromobility merupakan moda transportasi yang erat dengan dimensi personal space manusia. Sehingga dalam penggunaannya, tiap individu akan lebih mudah dalam mengklaim batas dimensi ruang dengan individu lain dalam rangka phyiscal distancing yang terwujud melalui ekspansi personal space individu. Apabila pemanfaatan micromobility ini optimum dan menggantikan motorize vehicle, penggunaan ruang-ruang kota, terutama jalan akan lebih efektif walau dengan tingkat okupansi manusia yang lebih tinggi.

Pada beberapa tulisan, muncul prediksi akan terjadi perpindahan penduduk dari urban ke peri-urban untuk menjauhi titik kepadatan kota yang rentan terjangkit virus. Mereka yang berpindah akan mencari permukiman yang affordable dan secara mandiri dekat dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Karena distribusi logistik kebutuhan akan terbatasi, komunitas masyarakat harus dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Keperluan untuk melakukan mobilisasi yang jauh ke area urban tidak terlalu diperlukan dan kebutuhan dapat dipenuhi pada skala mobilisasi lingkungan. Jarak yang terlalu jauh bila berjalan kaki, dan terlalu dekat menggunakan mobil pada skala lingkungan ini dapat diakomodasi oleh micromobility.

Physical distancing dengan micromobility (Photo by Li Lin on Unsplash)

Implementasi micromobility pada skala urban ataupun lingkungan tetap harus didukung dengan penyediaan infrastruktur yang mendukung. Sempitnya jalur pejalan kaki, tidak adanya lajur khusus sepeda, dan rintangan lain menjadi permasalahan yang juga harus diselesaikan bersamaan dengan inisiasi micromobility ini.

Pada beberapa negara seperti Bogota, Paris, dan London, tingkat penggunaan sepeda malah naik drastis pada masa pandemi. Karena bersepeda membuat lebih mudah untuk mengatur jarak fisik antar sesama pengguna jalan. Pemerintah di sana juga mendukung pengadaan infrastruktur temporer seperti jalur sepeda temporer agar menjaga mobilitas ini tetap berjalan.

Beralihnya penggunaan motorized transportation ke non-motorized transportation / micromobility menghadirkan resolusi yang mutual antar pengguna ruang perkotaan. Ruang-ruang transportasi umum dapat diprioritaskan kepada mereka yang lebih membutuhkan, seperti tenaga mobilisasi tenaga medis. Dan ruang-ruang jalan dapat diakses dengan mudah untuk meningkatkan distribusi logistik kebutuhan saat pandemi.

Perbandingan okupansi 60 orang pada moda transportasi yang berbeda pada suatu ruang kota (sumber)

Tapi kekhawatiran yang juga muncul ialah masyarakat akan dapat kembali berfikir bahwasanya penggunaan mobil menjadi solusi teraman untuk bermobilisasi di tengah pandemi karena terisolasi dari terpaparnya dunia luar. Tetapi kondisi ini akan kembali memberi beban traffic. Selain itu, apabila semuanya menggunakan mobil, pelaku ekonomi mikro seperti ritel-ritel di sepanjang jalan ruang kota akan mengalami kerugian karena tidak ada yang berjalan kaki melaluinya.

Kota Milan telah mewanti-wanti permasalahan ini dengan merencanakan solusi yang cukup berani. Munisipal Milan berencana menjadikan Kota MIlan bebas dari motorize transportation dan menggalakkan penggunaan transportasi publik dengan kemudahan akses berjalan kaki dan bersepeda. Hal ini sangat memungkinkan karena radius Kota Milan yang terbilang walkable. Pelaku ekonomi mikro di ruang-ruang kota seperti artisan, restoran, dan lingkungan komersial lainnya harus menjadi area yang aksesibel oleh pejalan kaki di Kota Milan. Sehingga basis perekonomian Kota Milan tetap berlangsung pada skala mikro.

Pada skala ruang yang lebih kecil, muncul prinsip-prinsip menjaga jarak yang turut merubah dimensi personal space manusia. Salah satunya yang diterapkan oleh munisipal di Belanda, yakni 1,5 meter economy.

1,5 meter Economy di Belanda

“1,5 meter economy” merupakan upaya munisipal di Belanda untuk menciptakan group immunity melalui individual responsibility. Artinya, penetapan kebiasaan baru yang dijadikan kesadaran dan tanggung jawab masing-masing penduduk kotanya. Di beberapa negara lain, diterapkan pula gagasan seperti ini, namun pada skala dan dimensi yang berbeda. Hal ini terkait dengan self regulating masing-masing otoritas di tiap negara dalam menentukan jarak amannya.

1,5 meter economy sejatinya diterjemahkan melalui dimensi penggunaan ruang, tetapi juga diimplementasikan pada hal-hal lainnya. Dengan memperlambat percepatan dari persebaran Covid-19, pada waktu yang bersamaan bentuk-bentuk kegiatan lain tetap dapat dilakukan. Sehingga kestabilan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan penduduk tetap dapat berlangsung.

Penerapan 1,5 meter economy pada ruang kantor (sumber)

Tipologi ruang yang paling cepat beradaptasi mungkin ialah struktur ruang kerja pada kantor. Salah satunya seperti yang telah dilakukan MVRDV dengan menyimulasikan denah ruang kerjanya dengan prinsip 1,5 meter economy. Dengan perkembangan tipologi ruang kantor yang sekarang juga telah banyak berkembang menjadi open plan, mungkin atas kondisi sekarang akan mengembalikannya kepada tipologi terdahulunya seperti kubikal. Karena ternyata fleksibelitas atas ruang dirasa bukan merupakan sesuatu yang aman pada kondisi pandemi. Batas yang jelas secara fisik dan meruang dilihat sebagai pilihan yang bijak dan lebih relevan.

Kondisi asrama tempat tinggal pekerja migran di Singapura (Courtesy of Singapore’s Ministry of Manpower)

Selanjutnya, bisa juga berdampak kepada perubahan tipologi public housing. Mengingat kembali contoh kasus persebaran covid-19 di Singapura yang bermula dari pekerja migran yang tinggal bersama di suatu asrama. Asrama menjadi titik episentrum penyebaran karena sifatnya yang komunal dan penghuninya tinggal saling berdekatan. Dan selanjutnya, mereka yang melakukan perjalan ke tempat kerja dapat saja telah membawa covid-19 bersamanya. Makanya, dimungkinkan akan terjadi penyesuaian kembali terhadap standar-standar ruang hunian terutama pada public housing.

Namun, pada jenis-jenis usaha food and baverage seperti restoran dan cafe, penetapan 1,5 meter economy masih menjadi pertimbangan. Pasalnya, dengan menerapkan gagasan ini, okupansi dari ruang usaha oleh pelanggan akan berkurang yang artinya juga menyebabkan penurunan revenue usaha. Tentu pada kondisi sekarang, gagasan ini belum bisa sepenuhnya diletakkan sebagai the new normal yang paling tepat. Kita tetap harus menunggu dan melihatnya berjalan pada waktu redanya nanti.

Pada akhirnya, kita tidak bisa tetap diam mengurung diri. Ketika pandemi mulai mereda kita akan kembali berangan-angan untuk menjelajahi ruang kota. Penyesuaian personal space ke arah ekspansi dimensi menjadi hal yang akhirnya akan diadopsi tiap-tiap individu dengan azas kesadaran dan kebutuhan untuk menjaga diri. Ekspansi personal space membuat ruang-ruang yang kita singgahi beradaptasi hingga selanjutnya bertransformasi melahirkan tipologi-tipologi baru. Bersamaan dengan perubahan tersebut, pemahaman dan kesadaran untuk beradaptasi pada kondisi ini menjadi hal yang harus kita siapkan sedari sekarang guna tercapainya new normal yang tepat guna.

Bila ada pertanyaan, komentar, saran, tanggapan, dan kritik dapat mencapai saya melalui email di bawah ini:

akbaralvin@live.com

--

--