Elsevier: Semakin Kenal, Semakin Kelam

Rizqy Amelia Zein
Good Science Indonesia
5 min readAug 3, 2019

Beberapa hari yang lalu, saya menulis tulisan tanggapan atas tulisan Aulia Luqman Aziz yang diterbitkan di kolom Opini Harian Jawa Pos edisi 29 Juli 2019. Tulisan saya tersebut dimuat hari ini, namun sayangnya karena proses penyuntingan yang kurang kolaboratif, ada beberapa kesalahan yang saya buat dan luput dari suntingan editor.

Saya sudah mencoba mengirim versi naskah yang argumentasinya lebih nggenah, tapi rupanya editor masih menggunakan naskah yang pertamakali saya kirim. Selain itu, kekurangan media cetak adalah kesulitan untuk mentautkan sumber informasi yang jadi landasan argumentasi penulis. Dengan memposting kembali tulisan tersebut disini, pembaca setidaknya mendapat informasi tentang sumber/referensi yang saya gunakan dalam tulisan saya.

Dalam naskah itu, Aulia Luqman Aziz ditulis Aulia Abdul Aziz (ini murni kesalahan saya). Jadi kalo seandainya pak Aulia membaca tulisan ini, saya mohon maaf atas kesalahan menuliskan namanya.

Berikut saya tuliskan disini versi yang lebih baik dan elaboratif. Kalau ada masukan atau hal-hal yang kurang akurat dari tulisan saya ini, mohon perkenannya untuk menyampaikan di kolom komentar. Saya juga mengundang pembaca untuk memberikan komentar secara terbuka, bisa dengan menganotasi, misalnya dengan menggunakan Hypothes.is.

Tulisan Aulia Luqman Aziz yang diterbitkan di Jawa Pos pada edisi 29 Juli 2019 yang lalu membahas tentang peran Scopus, lembaga pengindeks yang merupakan salah satu unit bisnis dari Elsevier (RELX group), menghadirkan informasi yang kurang lengkap mengenai bisnis penerbitan komersial. Alih-alih komprehensif, tulisan tersebut menyuguhkan narasi tunggal, seolah-olah Scopus adalah satu-satunya platform yang menyediakan layanan serupa. Penulis juga lupa menyebutkan hal penting bahwa Elsevier menjalankan bisnis yang sangat bermasalah.

Argumen utama yang saya tangkap dari tulisan Prof Budi Dharma adalah kegelisahan beliau atas penilaian kualitas karya akademisi yang dipotong kompas dari tempat karya tersebut diterbitkan. Padahal tempat diterbitkannya suatu karya sama sekali tidak ada kaitannya dengan kualitas karya tersebut. Kegelisahan ini, hemat saya, sangat beralasan.

Menggunakan jumlah kutipan (sitasi) sebagai indikator kualitas riset adalah ide sangat buruk. Para peneliti scientometrics (ilmu yang mempelajari pengukuran dan analisis literatur saintifik) berkali-kali memperingatkan bahwa menghitung jumlah kutipan adalah cara yang kelewat sederhana untuk mengukur konsep yang sangat kompleks, seperti kualitas dan dampak riset. Sebagai peneliti yang punya perhatian besar pada pengukuran konsep-konsep abstrak, seperti kepribadian, sikap, nilai, dsb., saya sangat skeptis bahwa metrik yang sederhana tersebut benar-benar bisa mengukur konsep yang kompleks tersebut.

Artikel yang berjudul Primary Prevention of Cardiovascular Disease with a Mediterranean Diet (2013), yang ditulis oleh Ramón Estruch, dkk., diterbitkan di New England Journal of Medicine yang dikenal sebagai jurnal yang amat prestisius. Naskah tersebut dikutip sebanyak 1879 kali sebelum akhirnya diretraksi (ditarik dari penerbitan) oleh redaksi pada tahun 2018 yang lalu. Karya yang sama rupanya masih dikutip sebanyak 271 kali setelah diretraksi. Yang menarik, koreksi atas karya tersebut hanya dikutip sebanyak 1 kali sampai saat ini.

Contoh diatas menunjukkan jumlah kutipan adalah indikator yang bermasalah. Penelitian yang dilakukan oleh Moylan dan Kowalczuk (2016) menyebutkan median (nilai tengah) jumlah kutipan dari sebuah naskah justru lebih tinggi setelah artikel ditarik, daripada sebelum ditarik. Bukti ini sangat mengkhawatirkan mengingat naskah yang ditarik biasanya memuat kesalahan yang cukup fatal.

Ketika sebuah naskah dikutip oleh naskah yang lain, tidak selalu berarti persetujuan atau dukungan pada argumentasi dalam naskah yang dikutip. Bisa jadi sebaliknya, karya tersebut dikutip karena sedang dikritik habis-habisan. Konsekuensinya, metrik yang formulanya bergantung pada jumlah kutipan seperti h-index dan impact factor, merupakan indikator yang terlalu simplistik dalam mengukur kualitas dan dampak riset. Beberapa ahli mengusulkan penggunaan analisis sentimen untuk menentukan berapa banyak kutipan yang nuansanya negatif atau positif, namun teknik ini tidak memberikan informasi yang ringkas dan cenderung lebih sulit dilakukan. Lebih-lebih jumlah kutipan amat mudah diakali, sehingga metrik lain yang memasukkan indikator ini dalam formulanya, otomatis memberikan informasi yang cenderung bias dan menyesatkan.

Baca disini: Deklarasi San Franscisco tentang Penilaian Penelitian

Elsevier, termasuk penerbit komersial lainnya seperti Springer Nature, Wiley, dll., menjalankan bisnis komersialisasi pengetahuan yang sangat merugikan perkembangan sains. Penelitian yang dibiayai dari dana masyarakat seharusnya dapat diakses dengan bebas. Namun faktanya, penulis harus membayar biaya penerbitan yang sangat mahal (bervariasi tiap jurnal, umumnya antara 8–35 juta rupiah per artikel) agar karyanya dapat diterbitkan di jurnal komersial dan diakses terbuka.

Boycott Elsevier! Sumber: https://medium.com/the-nature-of-food/academics-should-ditch-elsevier-and-mendeley-heres-how-153f1a8bf5f4

Apabila penulis tidak dapat membayar, maka jurnal akan membebankan biaya langganan pada perpustakaan. Jasa langganan ini biasanya dijajakan dalam bentuk bundling (seperti langganan TV Kabel), sehingga biayanya menjadi sangat mahal. Setiap tahun tarif mereka terus naik, bahkan melebihi inflasi. Perpustakaan Universitas Harvard sampai mengeluhkan betapa mahalnya biaya langganan yang dibebankan penerbit, padahal dana abadi mereka adalah yang terbesar di dunia.

Sederhananya begini, penerbit tidak membiayai riset yang dilakukan oleh penulis. Mereka juga tidak membayar penulis, malah penulis yang harus membayar mereka. Umumnya, penyunting dan mitra bestari (reviewer) juga tidak dibayar (meskipun ada beberapa jurnal yang memberikan fasilitas tertentu kepada penyunting dan mitra bestari sebagai ungkapan terima kasih). Tetapi kemudian penerbit meminta penulis mentransfer hak cipta atas naskah (melalui formulir copyright transfer agreement) kepada mereka, sehingga penulispun tidak bisa bebas membagikan karyanya. Sudah begitupun, penerbit masih membebankan biaya langganan yang sangat mahal kepada perpustakaan, yang dibayar lagi dengan dana yang dihimpun dari masyarakat. Scopus termasuk salah satunya, ia tidak bebas diakses tanpa biaya langganan. Tidak heran, Elsevier bisa meraup margin keuntungan sampai 37% di tahun 2018, lebih besar dari Apple, Google, bahkan Amazon. Saya heran mengapa ada yang terkesima dengan model bisnis yang korup seperti ini.

Tak hanya itu, Elsevier secara aktif mensponsori Senator Darrel Issa dan Carolyn Maloney yang mengusulkan agar undang-undang Research Works Act dapat disahkan oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 2012, meskipun kemudian menyatakan menarik dukungannya setelah diprotes keras oleh komunitas akademik. Undang-undang tersebut melarang peneliti yang penelitiannya dibiayai oleh pemerintah federal, untuk menerbitkan karya mereka di jurnal dengan akses terbuka. Elsevier juga aktif menghambat implementasi Plan S di Uni Eropa, yang mana kebijakan tersebut mewajibkan peneliti untuk menerbitkan karyanya di jurnal dengan akses terbuka.

Saking geramnya, saat ini sudah 17.644 peneliti di seluruh dunia menandatangani petisi The Cost of Knowledge yang diinisiasi oleh seorang matematikawan, Timothy Gowers. Pendukung petisi bersumpah tidak akan bersedia menulis, menyunting, atau meninjau untuk jurnal terbitan Elsevier. Konsorsium universitas di Swedia, Jerman, dan Norwegia juga memutuskan kontraknya dengan Elsevier, sebagai bentuk protes. Baru-baru ini juga diikuti oleh konsorsium University of California.

Tidak hanya itu, peneliti diseluruh dunia saat ini sedang berupaya untuk menarik kembali upaya penyebaran pengetahuan dan kontrol kualitas riset pada komunitas akademik, bukan pada penerbit komersial. Beberapa diantaranya adalah inisiatif gerakan sains terbuka, yang meskipun bentuknya bervariasi, landasan filosofisnya satu; pengetahuan adalah milik publik, sehingga tidak boleh menguntungkan satu atau sekelompok orang saja.

Salah satunya adalah inisiatif untuk mereformasi cara peneliti melakukan riset dengan mendorong mereka untuk membagikan material studi, termasuk data mentah dan cara analisis, secara terbuka agar penelitian dapat direplikasi dan reproducible. Bagaimana mungkin kita bisa memastikan kecermatan ilmiah (apalagi dampak) dari suatu riset, sedangkan peneliti dibiarkan melakukan pekerjaannya di ruang-ruang gelap?

Ada juga inisiatif membuat basis data dengan sumber terbuka. Saat ini sudah ada 1300 basis data literatur ilmiah yang serupa dengan Scopus, yang dapat diakses dengan bebas (di Indonesia misalnya, Indonesia OneSearch (Pepustakaan Nasional) dan Moraref (Kementerian Agama)). Namun mengapa kita memilih basis data komersial? Terakhir, bagaimana mungkin pemerintah sebagai pendana utama aktivitas riset di Indonesia bisa menakar return of investment dari dana riset yang dialokasikan apabila luaran utama riset, yaitu artikel ilmiah, disimpan dibalik dinding komersialiasi?

Baca edisi selanjutnya dari tulisan ini “Saya sudah tahu soal Elsevier. Lantas?”

--

--