Ketika Gawai Sudah di Tangan

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readNov 5, 2020
Foto oleh fauxels di Pexels

Produk-produk teknologi masa kini dapat dibilang telah menggempur kehidupan kita habis-habisan. Hal itu tentunya sangat terasa, terutama bagi kita yang tinggal di perkotaan. Rasanya sulit mencoba melewati satu hari penuh tanpa tersentuh teknologi dalam rupa gawai (gadget). Apalagi telepon genggam (HP) yang kini sudah semakin pintar.

Aku pernah mencoba untuk tidak membuka HP sama sekali. Hal tersebut saat ini ternyata sulitnya bukan main. Sebab, tanpa aku sadari, tangan secara otomatis bisa langsung menggapai HP dan membukanya. Padahal saat itu tidak ada juga yang ingin kita lihat dari dalamnya. Namun, mekanisme bergeraknya tangan ke HP itu terjadi begitu saja akibat kebiasaan yang sudah terbangun bertahun-tahun.

Kini, tangan dan HP sudah seperti menjadi sepasang kekasih yang baru jadian. Tiap hari selalu lengket, nempel. Ke mana-mana bersama. Makan pegang HP, jalan pegang HP, nonton TV pegang HP, tidur pegang HP, kerja pegang HP, bahkan ada yang mandi pun membawa HP.

Kebiasaan memegang HP ini membuatku kehilangan fokus untuk menikmati. Teringat dulu saat belum mengenal HP secanggih hari ini, aku lebih senang bermain di luar rumah. Aku menikmati waktu bermain sepuas hati, bahkan tidak perlu takut kebasahan akibat hujan atau genangan air. Jika di tengah jalan tiba-tiba hujan, ya sudah terobos saja. Basah tak mengapa.

Dulu, ketika jalan-jalan dan tiba-tiba menemukan pantai yang indah, aku bisa langsung nyemplung tanpa basa-basi. Tak bawa baju ganti pun tak mengapa karena pulang basah-basahan tidak pernah menjadi soal. Diri ini pun bisa menikmati petualangan dengan lebih leluasa karena tidak perlu takut HP dan kamera rusak atau hilang tanpa disadari.

Beda dulu, beda sekarang. Baru datang gerimis kecil, aku sudah langsung kerepotan mencari tempat berteduh hanya agar gawaiku tidak basah dan korslet. Saat mau nyemplung di laut, aku kini harus sisihkan HP dan kamera dulu ke dalam tas dan meletakkannya di tepi pantai. Saat nyemplung pun aku tidak bisa berenang dengan tenang karena mata sesekali harus mengawasi tas berisi perangkat digital tersebut. Jika tidak diawasi, bisa-bisa orang jahat datang dan mengembatnya.

Tak hanya itu, ketika jalan-jalan sambil menggenggam HP, aku tergoda untuk mengambil banyak foto dan video. Aku bahkan jadi lebih fokus mengambil gambar daripada menikmati panorama asli di depan mata. Betapa semunya jalan-jalan ini.

Ketika makan, aku juga dulu bisa menikmati makanan dengan total. Aku bisa mengagumi penampakan makanannya dengan saksama, mencicipi dan menikmati rasa makanan tersebut dengan mendetail, bahkan bisa fokus sepenuhnya pada momen makan, menikmati setiap suapan dan setiap kunyahan dengan sedapnya. Oleh karenanya, tak heran banyak cerita wisata kuliner masa lalu yang masih bisa kuingat detailnya sampai hari ini.

Foto oleh Ketut Subiyanto di Pexels

Kembali ke masa sekarang, HP selalu menemaniku saat makan. Jika sudah begitu, seringnya aku malah lebih fokus pada HP daripada makanannya. Aku bahkan jadi sering menyuapi makanan dengan posisi mata terus terpaku pada layar HP. Tak heran jika sesekali makanku jadi belepotan.

Kemesraanku dengan makanan terdegradasi menjadi hanya soal mekanisme suap, kunyah, dan telan. Aku jadi tidak begitu memperhatikan keindahan makanan, juga tak begitu menyadari kelezatan santapan itu. Selepas makan, mungkin aku bahkan sudah lupa kalau aku baru makan.

Foto oleh Igor Miske di Unsplash

Aku baru bisa menyadari keindahan makanan itu setelah acara makan selesai, tepatnya saat aku membongkar galeri HP dan menemukan foto makanan itu di ponselku. Aku baru bisa memperhatikan keindahannya dan berusaha mengingat kenikmatannya (yang pastinya sudah terlupakan). Rasanya, foto-foto makanan yang begitu menawan di dalam ponsel dan dipamerkan dalam media sosial itu hanyalah kenikmatan semu. Sebab, foto itu memang kelihatan menggiurkan. Namun, pada kenyataannya kita malah lupa untuk fokus menikmati makanan itu di waktu makan yang sesungguhnya.

***

Aku cukup suka menonton konser secara langsung. Sayangnya, ketika tiba waktunya aku bisa leluasa pergi menonton sendiri, teknologi telepon genggam sudah begitu canggihnya mampu menggantikan peran kamera video. Alhasil, setiap kali nonton konser, pemandangan yang kulihat dari tempat penonton lebih didominasi oleh tangan-tangan terjulur dengan ponsel menyala. Pemandangan ini terasa begitu mengganggu, apalagi bagiku yang tubuhnya jauh lebih rendah dari rata-rata manusia seusiaku.

Foto oleh Wendy Wei di Pexels

Meski kuakui, sesekali juga aku melakukannya untuk mengabadikan beberapa momen dalam konser tersebut. Padahal jika dipikir-pikir, menonton konser sepenuhnya tanpa pegang HP sebenarnya terasa menyenangkan sekali. Aku pernah melakukannya dan aku bisa menikmati setiap detail konser tersebut. Mengagumi penampilan penyanyi atau bandnya, kerennya set panggung, serta aura penontonnya. Lagipula, dengan begitu kita jadi bisa merekam momen di dalam kepala dengan lebih sempurna. Hitung-hitung melatih daya ingat lah!

Sebagai makhluk sosial, aku sesekali juga bertemu dan nongkrong bersama teman dan kenalan. Beberapa waktu sekali kami berjumpa untuk sekadar makan bersama sambil mengobrol. Kadang juga sekalian bermain dan karaoke beramai-ramai seharian.

Foto oleh August de Richelieu di Pexels

Dalam pertemuan itu, selalu ada satu, dua, bahkan lebih, orang yang lebih seru main HP daripada mengobrol dengan temannya. Meski aku sebal sekali jika melihat ada yang seperti itu, kadang-kadang aku menjadi orang itu. Aku mulai pegang HP ketika aku merasa pertemuan itu tidak menyenangkan atau aku memang tidak suka pada orang yang mengajakku nongkrong.

Untungnya, saat ini aku semakin menyadari bahwa bermain HP di tengah waktu berjumpa dengan teman dan kerabat jelas sangat tidak sopan. Jika memang tidak suka pada orangnya, aku bisa memilih untuk tidak mengiyakan ajakannya saja daripada datang tapi tidak menaruh perhatian padanya. Sementara jika memang sudah bertatap muka, aku akan berusaha sepenuh hati untuk tidak menengok HP sama sekali. Aku akan memfokuskan diri dengan pertemuan dan percakapan kami, misalnya dengan membiarkan ponsel berada di dalam kantong saja selama perjumpaan itu.

***

Hal sesederhana menggenggam HP ternyata bisa membawa pengaruh begitu besarnya dalam pola kehidupan manusia. Aku yang dulu selalu fokus dan menikmati apa yang sedang kukerjakan, kini lebih banyak menyerahkan diri pada layar ponsel. Kini aku lebih ikhlas tenggelam dalam cerita di media sosial. Aku pun lebih suka memanjakan diri dengan keindahan semu yang terabadikan melalui potret kamera HP.

Saat menonton TV, saat menulis, saat membaca, aku tetap saja meluangkan waktu untuk sesekali mengecek HP. Gerakan tangan menuju HP pun lagi-lagi otomatis tanpa disadari. Padahal tidak ada satu pun yang penting dari isi HPku. Pun tidak ada orang yang menganggap aku sepenting itu sampai harus menghubungi terus-menerus melalui HP.

Lalu, apakah itu salah gawainya? Ya bukan dong. Itu salahku sendiri tidak bisa mengendalikan diri.

--

--