Ocehan Kutang: Setelah 30 tahun

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readFeb 27, 2021

30 tahun adalah angka yang relatif bagi manusia. Untuk sebuah masa, 30 tahun bisa dibilang waktu yang sebentar jika dibandingkan dengan proses pembentukan fosil. Sementara jika dibandingkan dengan proses menanam bunga, 30 tahun jelas menjadi waktu yang sangat panjang.

Jika membahas soal usia, 30 tahun bisa dibilang muda, bisa juga dibilang tua. Saat bicara dengan nenek-kakek kita, tentu menurut mereka usia tersebut masih sangat muda. Di sisi sebaliknya, jika kita bicara dengan keponakan yang masih sekolah, jelas bagi mereka usia tersebut dianggap tua.

Lantas, apakah 30 tahun bagiku?

30 tahun bagiku adalah pengendapan yang cukup panjang untuk menjadi seorang manusia, terutama manusia yang berkarya. Aku merasa 30 tahun itu cukup terlambat untuk menciptakan sebuah karya yang bisa kubanggakan. Dulunya, aku berharap sudah menjadi sesuatu sebelum usia 25 tahun.

Salah satu cita-citaku adalah menerbitkan buku. Kurasa itu senafas dengan diriku yang sejak kecil memang terlalu jatuh cinta pada menulis. Apalagi, menulis adalah hal yang paling konsisten kulakukan selama hidup (di samping bangun siang). Selama lebih dari satu dekade, aku pun menulis untuk bisa menafkahi keluarga.

Aku menulis (hampir) segalanya, mulai dari puisi, cerita pendek, artikel, fitur, kopi iklan, profil, advertorial, konten situs web, konten blog, hingga konten media sosial. Dari sekian banyak jenis tulisan, puisi menjadi manifestasi yang paling membuatku merasa hidup.

Puisi bagiku adalah media berpikir dan berimaji. Puisi yang dibangun dari untai kata-kata dan metafora merupakan buah dari pikiran dan imajinasi yang sering berlari ke sana ke sini.

Aku menggunakan media puisi untuk merekam kehidupan dan menyiratkan keselarasan otak dan hati (maklum otak dan hatiku seringnya tidak selaras). Bagiku, puisi pun merupakan media pembelajaran untuk melatih keterampilan menulis, memainkan kata dalam ruang yang sempit.

Menjabat usia 30, aku akhirnya bisa menerbitkan buku puisi pertamaku secara mandiri. Aku menyebutnya “cukilan sajak” sebagai gambaran bahwa sajak atau puisi yang kubuat adalah bentuk ukiran dan pahatan (cukilan) kata-kata dari pikiran dan perasaanku sendiri.

ilustrasi oleh Sukutangan

Berjudul “Ocehan Kutang”, cukilan sajak tersebut bisa diandaikan sebagai ocehan dari sebuah kutang (BH). Menyebut “kutang” yang identik dengan perempuan, bisa dibilang cukilan sajak ini mengambil kacamata perempuan (karena mau bagaimana pun aku adalah seorang perempuan).

Bagi perempuan, kutang adalah dilema. Memakai kutang bisa terasa menyiksa karena kutang mengurung payudara dan membuat penggunanya kadang merasa sesak nafas dan sakit punggung (terutama jika salah ukuran). Secara sosial, perempuan “diharuskan” memakai kutang saat keluar rumah agar tidak membuat syahwat orang naik akibat melihat puting menyembul dari balik atasan.

Di saat yang bersamaan, ketika memakai kutang, perempuan bisa lebih bebas bergerak karena tidak lagi harus merasa sakit akibat payudara terbanting-banting. Dengan memakai kutang, perempuan bisa lompat-lompat, jungkir balik, dan jumpalitan sesukanya tanpa mengundang godaan dari pihak kurang yang kurang sehat pikirannya.

Dilema itu bergumul dalam Ocehan Kutang yang terbit bulan Maret 2021 ini. Ocehan Kutang menjadi kumpulan beragam emosi kutang saat ia dipakai, dilepas, dan digantung. Ocehan Kutang dapat juga dimaknai sebagai ocehan perempuan saat memakai, melepas, dan menggantung kutangnya. Memangnya bagaimana sih ocehan di saat seperti itu? Bacalah Ocehan Kutang untuk memahaminya.

Adapun hampir semua sajak dalam Ocehan Kutang bernafaskan kekesalan. Maklum, penulisnya berdarah panas (hahaha!). Meski begitu, tetap ada Ocehan Kutang yang begitu jenaka dan penuh cinta. Harapanku, apa pun emosinya, sajak-sajak dalam buku puisi ini bisa menjadi teman baca yang asyik untuk siapa saja.

Cuplikan salah satu puisi dalam Ocehan Kutang

Ocehan Kutang kebanyakan beranak pinak di selasar Jakarta. Beberapa lahir di Pulau Seribu Pura. Ada pula yang lahir di beberapa kota lain yang pernah kusinggahi. Sajak-sajak ini kucukil sepanjang tahun 2007–2021. Pengendapannya sangat lama karena dasarnya aku manusia yang suka menunda (tolong jangan ditiru).

Ketika pandemi menyerang bumi dan pengangguran menyerang kehidupanku, baru akhirnya aku memiliki waktu lebih untuk memperhatikan ocehan kutangku. Aku pun akhirnya bisa menyusun ocehan-ocehan itu menjadi sebuah pustaka yang bisa kupegang fisiknya dan kubawa-bawa.

Mungkin ini yang namanya ada berkah di balik musibah. Di tengah tidak punya pemasukan dan sepi kerjaan, aku bisa mencapai cita-cita yang sudah bertahun-tahun tertahan.

Penciptaan buku Ocehan Kutang tentu terjadi dengan bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Orbit Indonesia dan Indie Book Corner membantuku dengan sangat baik untuk urusan penerbitan. Mulai dari pendaftaran ISBN, desain tata letak, hingga percetakan, semua didukung oleh penerbit indie asal Jogja tersebut. Pemasaran pun dibantu dengan sangat baik oleh Toko Budi sebagai bagian penjualan dari penerbit yang sama.

Semua pasti setuju bahwa wajah buku Ocehan Kutang nampak sangat indah dan seksi. Aku senang memandangi wajah bukuku yang terasa begitu misterius memanggil-manggil. Keindahan wajah buku pertamaku ini bisa tercipta berkat bantuan dari seniman visual idolaku dan Alfons, yaitu Sukutangan.

Akhirnya ya, satu cita-cita tercontreng juga. Saatnya menggapai cita-cita yang lain. Walau masih bingung apa itu.

Ocehan Kutang sudah bisa masuk masa pra-pesan sepanjang 25 Februari hingga 06 Maret 2021. Harga pra-pesan Rp47.000 dan harga normalnya Rp59.000. Silakan hubungi Toko Budi untuk pemesanan.

Semoga Ocehan Kutang bisa sampai ke teman-teman dengan baik.

Terima kasih!

--

--