Karena Aku Tidak Tahu Apa-apa Tentang Napza (2)

Aya Aarunya
Perempuan Bicara Napza
6 min readJul 4, 2016

Anak keduaku lahir. Bayi perempuan, 2,5 kilogram. Ia cantik sejak lahir. Aku menamainya Prita. Damar bangga sekali, akhirnya ia jadi seorang ayah. Apalagi anak perempuan ini mirip dirinya. Tapi euphoria Damar tidak berlangsung lama.

Tak lama berselang setelah kelahiran Prita, ia mulai sering meninggalkan rumah di luar jam kerja. Seperti biasanya. Sementara aku sibuk mengurus Prita sembari tetap bekerja sebagai staf ekspor impor di kantor lamaku. Aku butuh banyak biaya, yang Damar belum sanggup mencukupinya. Rasa tidak nyamanku atas ketidakpedulian Damar aku tenggelamkan dalam kesibukan.

Hingga suatu malam, Prita demam. Ia terus menerus menangis menjerit-jerit. Segala usahaku untuk menenangkannya tidak berhasil. Damar yang sedang bersiap-siap hendak keluar rumah aku minta untuk mengurungkan maksudnya. Aku kuatir demam Prita tidak juga reda hingga perlu dibawa ke rumah sakit.

Damar menolak, “Tidak bisa, Aya…ini urusan penting. Abangku titip dibelikan ayam aduan sejak dua bulan lalu. Dan baru sekarang si Kodir juragan ayam kenalanku itu bilang bahwa dia punya barang bagus….” .

Wajahku terasa panas, kemarahanku naik ke ubun-ubun. Darah dagingnya sedang sakit, tapi ia justru lebih mementingkan membeli ayam, yang bisa kupastikan hanya alasan belaka. “Terlalu kau!”, semprotku tak tahan. “Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Prita?,” suaraku meninggi sambil tercekat menahan tangis. Aku beranjak masuk ke kamar, menggendong Prita yang kembali menjerit keras-keras. Aku memeluk Prita, sambil mencoba mengayun tubuh mungilnya, agar ia tenang.

Rupanya Damar tidak terima dengan perkataanku. Kekesalannya dilampiaskan dengan membanting piring-piring dan gelas dari dapur. Dihempaskannya pecah belah itu ke dinding ruang tamu. Lagi dan lagi. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan diri. Tangisku pecah. Aku tidak paham setan apa yang merasuki Damar. Ia sangat berbeda. Aku tidak mengenalnya lagi. Damar yang tulus dan bertanggung jawab. Mengapa dalam waktu singkat ia sanggup berubah demikian drastis.

Damar menyusulku ke kamar, merebut Prita dari tanganku. Dihempaskannya Prita ke kasur. Ya Tuhanku! Bayi usia empat bulan itu dihempaskan ke kasur!! Aku hampir berteriak histeris, ketika aku menyadari, sebaiknya aku tidak memicu emosi Damar lebih jauh. Aku sadar, hanya orang gila yang sanggup menyakiti anaknya sendiri. Pasti Damar sebenarnya punya penyakit kejiwaan, batinku. Jadi kupaksa diriku untuk tidak menjerit.

Aku hanya memeluk Prita, mengangkatnya dari kasur. Bayi mungil itu tak terbendung lagi menangis kian nyaring, sementara air mataku berderai-derai. “Maafkan ibu, nak. Ampuni ibumu….,” tak henti-henti aku berbisik sendiri . Aku yang salah, aku tidak mampu melindungi bayiku dari kegilaan ayahnya sendiri. Hatiku beku. Aku benci pada bajingan bernama Damar itu. Dia gila. Aku menikahi orang gila.

Sejak insiden tersebut, tak pernah sekalipun aku mengusik Damar bila ia hendak pergi ke mana pun. Ia nampak senang dengan perubahan sikapku. Hampir tiap hari ia pulang lewat tengah malam. Aku tak peduli. Aku lebih senang bila tak sering-sering melihat wajahnya. Aku hanya ingin Prita tidak diusik. Bumi pun kini ketakutan bila berdekatan dengan Damar. Ia yang tadinya akrab bermanja-manja dan sering ditemani Damar ketika bermain, kini lebih sering mengurung diri di kamar. Walau baru berusia tiga tahun, pasti ia menyaksikan perubahan sikap ayah tirinya itu. Sangat mudah meledak marah, dan tidak terkendali. Aku berpesan pada Bumi supaya tidak mengusik Damar, dan Bumi cukup tahu diri.

Hingga pada satu hari Damar pulang dari kantor dengan wajah dirundung kegalauan, “Laurin meninggal, Ya….,” ia mengajakku bicara. Aku hanya mengangkat sedikit wajahku dari pekerjaan melipat baju-baju Prita. “Kenapa? Sakit…?,” tanyaku singkat. Damar mengangguk. “Iya, kena leukimia,” tukas Damar.

Setelah kematian Laurin, Damar terlihat murung, ia sering mengeluh badannya sakit-sakit, terasa tidak nyaman. Kemudian ia pamit keluar rumah. Entah pergi ke mana. Aku juga tidak berniat bertanya.

Aku mulai merasa ada yang tidak wajar ketika menyadari tubuh Damar kian kurus. Tidak henti-hentinya ia batuk. Siang, malam. Hingga aku sulit tidur, karena batuknya tidak berhenti-henti di malam hari, terutama bila cuaca dingin.

Aku minta Damar untuk berobat, karena menurutku batuknya itu sudah tidak wajar. Berbulan-bulan tidak juga mereda. Sementara ia mati-matian tidak mau berobat. Hingga suatu waktu, akhirnya Damar menyerah, ia minta diantar ke dokter spesialis THT. Aku mengantarnya ke dokter terbaik di kota ini. Berbagai tes laboratorium dan foto rontgen dilakukan, dan biayanya tidak murah. Uangku juga yang akhirnya terpakai.

Hasil rontgen samar-samar. Ada bercak-bercak putih di paru-paru Damar. Dokter mendiagnosa Damar menderita tuberkulosis. Ia harus menjalani terapi selama 6 bulan. Aku cukup lega karena akhirnya ada langkah medis yang dilakukan oleh Damar setelah berbulan-bulan. Aku memastikan agar obat-obatan itu diminum dengan teratur.

Dua bulan berlalu, Damar kian sering mengalami demam di malam hari. Seprai menjadi basah kuyup di pagi hari. Tubuhnya pun kian kurus, selera makan tidak meningkat. Batuknya pun kian menjadi. Aku mencurigai, jangan-jangan bukan tuberkulosis yang diderita Damar. Kami pun berpindah dari satu dokter paru ke dokter yang lain. Diagnosanya tidak jauh dari tuberkulosis juga. Hingga akhirnya satu dokter spesialis paru memberikan saran pada kami, agar kami berkonsultasi pada dokter spesialis infeksi terbaik di kota kami. Ia curiga, ada faktor lain yang mengakibatkan Damar tidak sembuh-sembuh juga. Mungkin ada infeksi lain yang tidak terdeteksi.

Sebelum kami berpamitan, dokter spesialis paru tersebut minta waktu bicara empat mata denganku. Damar diminta menunggu di luar. “Ibu. Saya minta maaf,” dokter mulai menyapaku dengan suara rendah. Sementara aku menatap matanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Apa suami ibu punya riwayat menggunakan napza dengan disuntikkan?,” sang dokter mengeluarkan pertanyaan pamungkas. “Pernah dok. Pernah menggunakan putaw. Tapi saya tidak pernah bertanya apa dia menggunakannya dengan cara disuntikkan,” jawabku lugu.

Ada indikasi suami ibu terinfeksi HIV, melihat riwayat demam dan infeksi paru-nya yang tidak kunjung terkendali. Tapi untuk memastikannya, silahkan segera melakukan tes, saya akan buatkan surat pengantar untuk suami ibu. Untuk ibu juga. Untuk selanjutnya, silahkan berkonsultasi dengan kolega saya yang memang spesialis menangani infeksi,” dokter menutup pembicaraan. Pandanganku kosong. Wajah dokter menjadi kabur. Suaranya seperti menjauh, sayup-sayup terdengar dari ujung lorong.

Aku pun terlempar kembali ke bumi untuk menghadapi kenyataan. Instruksi dokter sudah jelas. Aku bergegas meninggalkan ruangan praktiknya, mengurus semua pembayaran dan surat rujukan. Di kepalaku berputar-putar pemikiran, betapa bodohnya aku. Mengapa aku tidak bertanya pada Damar dulu? Dia pakai putaw dengan cara apa. Aaarrgggh…. Tapi mana aku tahu juga, putaw disuntikkan akan berisiko menularkan penyakit. Dan itu HIV. H-I-V !!! Virus penyebab AIDS.

Demi langit! Mana aku tahu apa-apa dulu tentang HIV. Tidak ada diajarkan dalam kurikulum sekolah maupun dalam perkuliahan. Aku cuma tahu HIV dari surat kabar dan TV, itupun sekedar liputan bahwa Magic Johnson pebasket kesohor itu terinfeksi HIV dan dia bisa tertangani dengan baik. Lalu, memori yang lebih kuno lagi adalah tentang Rock Hudson, vokalis Queen, dan dia meninggal karena AIDS. Aku ngeri saat membaca berita-berita tersebut dulu. Bahwa virus HIV belum ada obatnya. Vonis mati. Hanya itu yang aku tahu.

Lalu sore ini si dokter spesialis paru membawakan sebuah kenyataan mengagetkan ke depan hidungku, bahwa suamiku dan aku kemungkinan terinfeksi HIV. Sungguh luar biasa. Minim sekali pengetahuanku tentang HIV. Berdasarkan pemberitaan media aku tahu bahwa HIV menginfeksi melalui hubungan seksual. Itu saja. Penggunaan napza suntik? Demi Tuhan, baru dari dokter itu tadi aku tahu. Dan tentu saja masuk akal. Karena jarum suntik untuk putaw tadi kemungkinan digunakan beramai-ramai. Aku pun baru tahu. Dari dokter. Barusan.

Mendadak aku merasa jadi orang paling tolol di seluruh dunia. Ini salah siapa? Salahku yang kurang belajar? Atau salah pemerintah? Aku yang bodoh atau pemerintah yang tidak menganggap HIV penting. Mengapa informasi sepenting ini aku ketahui setelah aku menikah dengan seorang mantan pengguna putaw? Dan bahkan hampir bisa dipastikan Damar menggunakan putaw dengan disuntikkan, dan luar biasanya, hampir bisa dipastikan dia berbagi jarum dengan kawan-kawannya sesama pemakai. Dan aku tenang-tenang saja menikah dengannya!! Dengan risiko tertular HIV!! Hidup macam apa ini??

Dadaku hampir meledak menahan kemarahan. Tak henti-hentinya aku merutuki rangkaian kebodohan ini. Sungguh keterlaluan. Lalu bagaimana dengan nasib Prita. Dia juga kemungkinan telah terinfeksi HIV. Aku marah luar biasa. Lemas. Tak berdaya.

Aku belum bicara pada Damar apa yang disampaikan oleh dokter tadi. Yang ada dalam pikiranku adalah, segera tahu statusku. Aku positif HIV atau tidak. Ini yang akan menentukan nasib anakku. (to be continued)

Back to: Part 1

--

--