Karena Aku Tidak Tahu Apa-apa tentang Napza

Aya Aarunya
Perempuan Bicara Napza
3 min readJun 17, 2016

Aku bertemu Damar ketika hidupku berada dalam keadaan kalut. Aku ibu tunggal, anak lelakiku belum juga berumur satu tahun. Dan saat itu, aku tidak punya uang sepeserpun untuk memeliharanya, sehingga aku belum mampu membawanya bersamaku.

Orang akan bertanya, ke mana suamiku. Aku sendiri bingung. Yang jelas pernikahan kami belum tercatat oleh negara. Tapi ‘suami’ku sudah keburu kepincut perempuan lain dan tidak berminat untuk mendaftarkan pernikahan kami yang baru disahkan secara agama. Secara verbal, ia tidak langsung bicara ingin berpisah dariku, tapi pacar-pacarnya pun tidak bisa ia tinggalkan. Jadi, tentu saja aku yang memutuskan pergi terlebih dahulu.

Aku kembali ke kota kelahiranku, karena di kota ini lah aku berharap bisa segera mendapatkan pekerjaan tetap. Supaya setelahnya aku bisa segera mandiri, bisa memelihara anak sendiri.

Tak lama, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan importir meubel. Mereka hanya mensyaratkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pekerjaanku cukup menyenangkan dan aku mulai berusaha menabung.

Damar, pria yang dikenalkan seorang kawan lamaku, baru saja pindah ke kota kelahiranku ini. Baru 3 bulan. Ia bekerja di sebuah perusahaan perkapalan di wilayah barat kota. Ia ganteng, muda dan sepertinya tertarik kepadaku. Sayangnya ia sudah punya pacar.

Singkat cerita, kedekatanku dengan Damar tak terelakkan. Ia kerap mengorek cerita dariku, walau aku sebenarnya malas berbagi situasi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku bercerita juga tentang diriku. Apa adanya.

Gilanya, Damar justru menyatakan ingin menikahiku. Dia bilang, dia tertarik kepadaku, dan tidak peduli statusku yang punya anak tanpa suami resmi. Pacarnya pun segera ia putuskan. Damar meyakinkan aku, bahwa anakku perlu kejelasan status di mata negara, perlu akte kelahiran. Dan dia bersedia didaftarkan sebagai ayah dari anakku setelah kita menikah nanti.

Tak banyak yang aku ketahui tentang Damar, selain dari pelariannya dari kebiasaan memakai ‘putaw’*, sehingga keluarga mendorongnya untuk menjauhi Jakarta, dan mengembangkan karir di kota ini.

“Lalu, kamu udah berenti pake ‘putaw’ itu?, “ desakku ingin tahu. Karena sesungguhnya aku juga tidak tahu apa-apa tentang napza. “Udah lama engga pake lagi….yaaaa tiga bulan sejak aku pindah ke sini,” jelas Damar.

Dalam pikiranku yang naif, sudah lama tidak make artinya semua akan baik-baik saja. Karena toh Damar tidak terlihat menggunakan ‘putaw’ lagi selama bersamaku akhir-akhir ini. Lalu, buat apa juga aku mengorek-ngorek masalah ini.

Kami segera saja menyiapkan pernikahan, dan akhirnya aku sah jadi istri Damar pada Agustus 2000. Bukan kepalang leganya hatiku, akhirnya aku bisa mendapatkan akte kelahiran untuk anakku, yang didaftarkan menjadi anak Damar. Rasanya seperti menang lotre.

Tak lama, aku pun hamil. Kehamilanku kali ini tidak menyenangkan, aku susah makan karena terlalu sering mual berkepanjangan. Sementara aku tetap harus bekerja keras menuntaskan pekerjaanku di kantor. Damar juga luar biasa sibuk, memenuhi target klien yang ditetapkan kantor. Bebannya kian besar.

Kemesraan kami mulai luntur. Satu, kehamilan ini membuatku sama sekali tidak berminat berhubungan seks. Sementara kami masih pengantin baru. Damar masih sangat berhasrat bermesra-mesra denganku. Aku sendiri, semestinya karena pengaruh ketidakstabilan hormon, justru sangat tidak mampu merespon.

Damar marah besar. Ia menuduhku menolaknya karena masih teringat mantan suamiku. Ia mulai menggunakan kekerasan ketika berhubungan seks, pisau ditaruhnya di leherku. Aku sendiri tidak bisa berbuat banyak kecuali menurut, sembari diam-diam aku mulai kehilangan rasa hormatku padanya. Kegetiranku terhadap hidup muncul lagi. Ternyata bahagia itu tidak ada, tidak nyata.

Damar sering pulang terlambat, katanya ia sibuk. Beberapa kali ia membawa teman sekantornya ke rumah, untuk meyakinkanku bahwa ia benar-benar bekerja bersama tim-nya. Di antara teman-teman yang diperkenalkannya padaku, ada seorang perempuan. Namanya, Laurin. Kuperkirakan usianya di atasku. Penampilannya tomboy, dan badannya gempal. Rokok tidak pernah lepas dari tangannya.

Belakangan aku baru tahu, Damar sering mangkir kerja dan nongkrong di rumah Laurin yang terletak tidak jauh dari kantor. Laurin itu juga mantan pemakai ‘putaw’. Itu saja yang Damar ceritakan kepadaku. Dan karena pada dasarnya aku tidak tahu apa-apa tentang napza. Aku tidak curiga. (to be continued)

Continue to: Part 2

--

--