Overdosis ! (2)
Aku menelepon satu demi satu kawan-kawan PERFORMA*. Minta mereka membantuku mencarikan ambulans untuk membawa Dinno ke kampung halamannya. Mereka tak ada satupun yang menyangka Dinno sudah benar-benar pergi. Saat aku menyampaikan bahwa Dinno overdosis, yang terlintas pada masing-masing mereka, Dinno hanya dirawat di RS dan akan segera pulih. Seperti yang terjadi pada beberapa kawan lain akhir-akhir ini.
“Dinno meninggal,” tegasku. “Yang bener mbaaaakkk…,” Indri setengah berteriak di seberang telefon. Sementara Anwar juga tak percaya, dan harus berulang-ulang bertanya apa aku serius. “Iya aku serius, War… Tolong segera carikan ambulans. Yang jelas jangan beritahu apa-apa pada Windy, ia masih di perjalanan, naik kereta. Aku takut ia pingsan di jalan,” aku berpesan panjang lebar pada Anwar.
Pesan singkat Windy masuk lagi ke ponselku. “Gimana Dinno mbak ? Aku masih satu jam lagi di perjalanan.” Aku membalas, “Dinno masih dalam perawatan Win, dijagain anak-anak…”. Lalu balasan Windy kembali masuk ke ponselku, “Ok mba, ini aku bentar lagi sampe kok.”
Satu jam aku lalui untuk menyelesaikan berbagai urusan penting di rumah, bersiap-siap jika saja aku harus mengantarkan jenazah Dinno siang atau sore ini juga. Aku kembali ke RS Kariadi lewat jalur yang berbeda, pintu belakang yang berbatasan langsung dengan pemakaman umum Bergota, menuju ruang jenazah.
Sumpah, puluhan tahun tinggal di Semarang, baru kali ini aku benar-benar menginjakkan kaki di ruang jenazah RS Kariadi. Selasar diapit oleh kursi-kursi kayu panjang. Tiga kursi di sisi kanan telah dipenuhi kawan-kawan PERFORMA. Wajah mereka kusut, sekusut wajahku. Aku senang mereka ada, aku merasa tak sendiri, merasa kami masih keluarga, apapun konflik yang terjadi dalam organisasi. Mereka keluargaku.
Indri dan Tarmin menyongsongku, mendahuluiku menuju ruang memandikan jenazah. Sungguh, aku tak ingin melihat ruangan seperti itu seumur hidupku. Terlampau ngeri bagiku. Jajaran semen persegi panjang yang diatasnya jenazah-jenazah habis dimandikan diletakkan. Ada tiga di kiri dan tiga di kanan.
Ekor mata kiriku menangkap jenazah di tempat tidur semen, laki-laki, telanjang, penuh darah, dadanya remuk. Balutan perban di kepala. Aku tak sanggup lebih lama lagi memandang. Kubuang pandangan ke kanan, di mana jenazah Dinno terbaring. Belum dimandikan, masih berpakaian seperti saat ia dikirim ke RS. Yang berubah hanya warna kulitnya kian menghitam, membengkak di bagian wajah, dan bercak-bercak darah berwarna kehitaman di wajahnya makin terlihat.
Waktu berdetik pelahan, melambat, seperti diganduli puluhan kilo besi. Aku bisa mendengar detik lambat itu di kepalaku. Kami kawan-kawan Dinno terpekur memandang tubuh kaku Dinno. Berkeliling di kiri kanan Dinno, tanpa mampu saling berkata apa. Kebekuan terpecah saat seorang berseragam coklat, petugas polisi, entah dari kesatuan mana, mendesakkan diri ke lingkaran yang kami bentuk. “Ada apa ini….Kenapa meninggalnya?,” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Wajahku pucat. Berurusan dengan polisi adalah hal biasa bagiku selama bekerja dengan pengguna napza. Tapi disaat-saat terburuk seperti ini, aku seakan kehabisan tenaga untuk menghadapi mereka. Aku tak ingin polisi menyelidiki penyebab kematian Dinno, saat kami masih mengumpulkan tenaga untuk menguatkan Windy yang sebentar lagi tiba.
“Itu polisi lalu lintas kok mbaa,bukan polisi narkoba…. “ seseorang berbisik di telingaku, aku lupa siapa. “Polisi lalu lintas yang mengurusi korban kecelakaan di sebelah kiri situ.” Hfffft. Lega. Sesaat kemudian perasaanku berubah kesal. Polisi lalu lintas itu kok bisa-bisanya mau tahu urusan lain di luar urusan tugasnya. Benar-benar keterlaluan.
Aku beranjak meninggalkan ruang pemandian jenazah, dan memilih menunggu bersama kawan-kawan di kursi kayu panjang di luar kamar jenazah. Kursi di sayap kiri sudah dipenuhi kawan-kawan sekampus Dinno, serta klien-klien pengguna napza yang selama ini dilayani oleh Dinno dan LSM kami. Lengkap sudah mereka hadir, aku menghitung-hitung dalam hati.
Di belakang kursiku di sayap kanan, Tarmin dan Henry memisahkan diri. Tanpa bermaksud menguping, aku mendengar Henry berbisik mewanti-wanti agar Tarmin jangan sampai salah bicara di depan keluarga Dinno. Karena faktanya, Dinno dan Henry bersama-sama membeli putaw* yang kemudian menyebabkan kematian Dinno. Tarmin sebagai tuan rumah yang ditumpangi oleh Dinno di saat-saat terakhirnya, masih terlihat tertekan secara psikologis, belum lagi ia masih harus menghadapi berbagai pertanyaan via telefon dari orang-orang terdekat Dinno, yang sampai saat ini justru belum tahu bahwa Dinno sudah meninggal. Beberapa anggota keluarga Dinno masih berada dalam perjalanan menuju RS. Kariadi.
Kasak-kusuk juga kuamati terjadi di kursi kayu sayap kiri, klien-klien Dinno yang juga kawan-kawan kami sendiri, menceritakan peristiwa malam kemarin, ketika Dinno mengantarkan heroin pesanan salah satu dari mereka, dan sempat pakaw* bareng mereka. Dinno terlihat baik-baik saja saat berpamitan pulang.
Dari keterangan Tarmin dan Henry, Dinno pertama pakaw di Ambarawa, saat pertama mendapatkan barang, pakaw kedua saat mengantar barang ke rumah Bonnie. Terakhir, sebelum tidur di rumah kos Tarmin. Total tiga kali pakaw. Belum lagi, pada pagi hari tersebut, Dinno juga mengkonsumsi metadon*. Aku juga baru tahu bahwa Dinno, baru saja mendaftar menjadi pasien metadon 3 hari yang lalu.
Selain metadon, Dinno juga menenggak pil antidepresan yang diresepkan dokter untuk penanganan adiksinya. Ganja juga sempat dihisapnya pada hari yang sama. Berbagai keterangan dari Tarmin, Henry, dan Bonnie membuatku terpekur. Tak mampu mencerna. Betapa Dinno sama sekali tidak memikirkan risiko yang dihadapinya, menggunakan berbagai jenis NAPZA dari golongan depresan dalam satu hari. Entah apa yang mendasarinya. Aku tak kuasa berfikir lebih jauh. (bersambung ke bagian TIGA)
-> kembali ke bagian SATU
Catatan:
- PERFORMA: komunitas pemerhati kebijakan napza di kota Semarang
- putaw : heroin kualitas rendah
- pakaw : pake, pakai (menggunakan napza)
- metadon: heroin sintetis, digunakan untuk mengendalikan ketergantungan heroin, didapatkan dengan resep dokter