Overdosis!

Yvonne Sibuea
Perempuan Bicara Napza
6 min readJul 4, 2016

Semarang, 2013

Pagi ini Sabtu. Aku sudah berencana akan bergereja bersama anak-anak. Mereka sudah menyiapkan diri, mandi, sarapan, dan bergegas mengenakan pakaian. Sementara aku sendiri baru rampung mandi, berbalut handuk ketika mencapai kamar dan mendengar nada dering telepon selular yang ketika hendak aku angkat, justru deringannya mendadak terhenti. Dari Dinno.

Tak lama, nada peringatan SMS masuk terdengar. Penasaran aku membuka pesan dalam inbox. Ternyata dari nomor ponsel Dinno. Isinya mengejutkanku: “Mbak, Dinno overdosis! — Tarmin.” Aku nyaris tersedak. OVERDOSIS. Lagi ! Dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah beberapa kali aku mendapat laporan, anak-anak komunitas yang menjadi relawan di LSM yang aku kelola — mengalami overdosis.

Kasus terakhir dialami Pandi, yang alur penyelamatan nyawanya demikian penuh faktor keberuntungan, sehingga aku berkali-kali menghirup nafas lega ketika menemuinya masih bernyawa di RS Elisabeth.

SMS Tarmin mengembalikan fokusku untuk merespon fakta bahwa Dinno mengalami overdosis. Aku teringat ketika dua hari lalu, Dinno, Tarmin dan Henry mengunjungiku di kantor. Dinno bercerita, saat ini ia menumpang tinggal di kost Tarmin, sementara ia menunggu program LSM kami kembali berjalan, supaya ia bisa kembali bekerja menjadi petugas lapangan.

Bergegas aku memencet balik nomor telefon Dinno yang saat itu berada di tangan Tarmin. Tarmin mengangkat telefon, nada suaranya bergetar panik. “Mbak…Dinno, Mbak…Gimana ini…sudah saya coba bangunkan dan saya tekan-tekan dadanya. Belum ada reaksi…

Sudah berapa lama kamu temukan, Min?,” potongku cepat. “Segera panggil taksi, bawa ke RS Kariadi. Aku tunggu kamu disana. SEGERA. LANGSUNG YA!,” perintahku. Tarmin menyahut dari ujung sana, “Susah kendaraan Mbak…Saya sudah berusaha minta tolong tetangga sekitar, tapi mereka tidak ada yang bisa menolong, “ suara Tarmin tercekat di tenggorokan.

Taksi Miiiin !! Masa di daerahmu gak ada taksiiii!,” tak sabar aku mendengarkan hambatan-hambatan yang diceritakan Tarmin. “ Ya sudah, ini aku segera ke RS Kariadi. Aku usahakan ambulans dari sana,” tanpa pikir panjang aku menyambar pakaian sekenanya dan meluncur menuju RS Kariadi bersama Kunyeng. Kepada anak-anak aku berpesan,”Hari ini kita tidak berangkat ke gereja dulu. Ada keadaan gawat. Kawan Mommy sakit keras.” Mereka paham. Anak-anak hebat. Aku berhutang banyak pada mereka.

Perjalanan menuju RS Kariadi terasa lama. Lampu merah di perempatan-perempatan sepanjang perjalanan, seakan sengaja memperlambat detik-detiknya menuju hijau. Begitu tiba di parkiran motor di samping Unit Gawat Darurat, aku langsung meloncat turun, setengah berlari mendekati pintu masuk sembari mengedarkan pandanganku mencari Tarmin.

Nyaris aku diseruduk oleh Suzuki Carry tua warna hijau yang membawa Tarmin di dalamnya. Astaga, ternyata mereka baru saja tiba di pintu masuk UGD. Aku bernafas lega. Sigap juga ternyata Tarmin mengusahakan angkutan untuk Dinno. Ketika Tarmin membuka pintu depan mobil dan mengajak Kunyeng untuk memindahkan Dinno dari jok belakang, aku bergegas mencari petugas medis untuk meminta brankar.

Pintu masuk UGD terhalang brankar yang mengangkut seorang ibu hamil tua. Brankar melintang di depan pintu, tidak segera dimasukkan, tetapi justru menghalangi alur lalu lintas UGD. Sementara kuamati para petugas medis bergerak lambat menangani ibu hamil tersebut, tidak segera memindahkannya. Sama sekali mereka tidak melirik pada situasi panik di mobil Carry hijau, posisi kami yang siaga menunggu brankar dan petugas medis untuk menangani Dinno.

Beberapa detik, aku mencoba menunggu para petugas itu bereaksi. Tapi melirik pun mereka ternyata tidak! Kepada seorang perawat yang memegang papan alas berisi catatan pasien, setengah berteriak aku menyela,

Suster, tolong brankar dan petugas segera! Pasien OVERDOSIS HEROIN!!

Sengaja aku memperjelas dan meninggikan volume suara ketika mengucapkan frasa “overdosis heroin”, yang pada situasi normal tentu tidak akan kulakukan, dengan harapan akan menyadarkan si perawat akan tingkat kegawatan pasien.

Ternyata aku salah total. Reaksi perawat biasa-biasa saja, datar. “Sebentar Mbak! Masih antri!,” sahutnya agak sedikit membentak sambil menunjuk ibu hamil yang diposisikan tepat di depan pintu masuk UGD. Wajahku terasa memanas, nyaris meledak dalam kemarahan dan balik membentak perawat itu, ketika dalam sepersekian detik, dua petugas medis akhirnya keluar sambil membawa brankar mendekati mobil Carry hijau. Lega aku ikut berlari mendekati mobil.

Tarmin dan Kunyeng menggeser Dinno keluar dari jok belakang mobil. Dinno diangkat dan dipindahkan ke brankar dengan bantuan petugas. Aku menatap nanar punggung Dinno, ia mengenakan kaus merah hati ayam dan celana pendek selutut warna coklat tua. Tak nampak ada gerakan pada tubuhnya. Begitu ia dibaringkan di brankar, aku baru dapat mengamati wajahnya; nampak agak bengkak, dan pipinya berbercak gelap tak merata, lebam darah yang membeku. Aduuuuh Dinno…. hatiku menjerit, baru dua hari lalu aku berbincang-bincang dengannya. Ia salah satu staf kesayanganku di kantor.

Tanpa sengaja mataku berbenturan dengan Kunyeng. Kulihat ia menggeleng-gelengkan kepala. Memberi kode, melintangkan telapak tangannya di leher. Aku tahu maksud dia. Tak ada harapan! Tapi aku tak percaya. Aku yakin Dinno masih bisa diselamatkan. Yakin.

Kukejar brankar menuju ruang risiko merah, di mana dua orang dokter muda dan seorang perawat tengah melakukan tindakan medis; bantuan pernafasan dengan tabung oksigen. Berisik dengung mesin bantu nafas terdengar dari luar ruangan. “Aaaaaah”, aku mencuri-curi menarik nafas panjang. Dinno sudah berada dalam tangan yang tepat. Aku mencoba menenangkan detak jantungku yang berdegup-degup tak beraturan.

Jujur, aku benar-benar tak sabar. Petugas medis yang membawa Dinno sama sekali tak menanyakan apa yang terjadi pada Dinno. Tanpa ba-bi-bu langsung saja membawa Dinno ke dalam ruangan ini tanpa berusaha mengorek informasi dari si pengantar. Bagaimana ini? Keterlaluan sekali, pikirku.

Seorang perawat berusia 40-an keluar dari ruang risiko merah. Belum ia bertanya apa yang terjadi pada Dinno, aku segera membombardirnya dengan informasi, “Suster, pasien tadi mengalami overdosis heroin. Tolong segera diberikan Nalokson untuk dia..!”. Perawat tadi tidak merespon, tapi justru menanyaiku mengenai data diri singkat pasien. Ia memerintahkan salah seorang dari kami para pengantar untuk mendaftarkan nama pasien ke loket administrasi.

Aku meminta Tarmin segera mengurus administrasi sementara aku tetap bertahan di depan ruangan risiko merah, sambil berusaha menelfon dr. Wid, dokter kenalanku yang selama beberapa bulan terakhir menjadi pengampu program layanan adiksi di RS Dr. Kariadi, menjadi rekan kerja LSM kami. Sebagai informasi, Dinno dan Henry adalah petugas lapangan dengan prestasi luar biasa yang berhasil merujuk 45 kawan pengguna napza untuk berobat di RS Dr. Kariadi per medio 2012.

dr. Wid mengangkat panggilan telefon dariku. Ia sedang berada di sebuah hotel, ada pertemuan penting yang sedang ia hadiri. Singkat aku menceritakan situasi Dinno, aku sampaikan aku butuh nalokson, dan jalur cepat untuk mengusahakan Dinno mendapatkan nalokson. Aku berharap dr. Wid bisa mengintervensi situasi dalam ruang risiko merah. Tetapi menurut dr. Wid, tidak bisa demikian. Melanggar prosedur. Ia hanya bisa mengusahakan datang secepatnya ke UGD.

Kegamanganku terpecah oleh panggilan ibu perawat dari dalam ruang risiko merah. Tanpa banyak pikir, aku memasuki ruangan tersebut dan mendapati dua pria muda yang adalah dokter, sedang duduk di belakang meja sambil menuliskan laporan. Entah apa itu. Mereka bertanya siapa aku. “Saya rekan kerja pasien,” sahutku tak sabar. “Bagaimana keadaan dia, Dok…”, suaraku terdengar menuntut. Dengungan mesin bantu nafas masih mendominasi di latar belakang. Mataku lekat-lekat menatap mereka. Kedua dokter tetap duduk di belakang meja, sedangkan di balik tirai putih di sisi kiriku, aku melihat Dinno terbaring sendirian. Posisi tangannya terlipat di dada, kaki kanan-nya agak tertekuk, tak lurus.

“Sudah tidak ada sejak 3 jam yang lalu, Bu,”

ungkap salah seorang dokter dengan ringan, meletakkan pulpen yang digunakan untuk mencatat, sambil menatap mataku. Sontak aku tercekat, tak sanggup lagi berpikir jernih. Dalam kondisi psikologisku yang penuh harap, nada bicara dokter ini terdengar sangat tak berwelas asih di telingaku. Seakan-akan ia sedang menceritakan hal remeh temeh. Tak penting.

Duniaku terasa berputar lebih cepat dan berpindah orbit. Sungguh ini pukulan telak bagiku, bagi tim kami, bagi persaudaraan kami.

Dinno!!!!

Setiap hari kami berjuang untuk menyelamatkan pengguna napza di kota Semarang, supaya mereka panjang umur, bisa mendapatkan layanan kesehatan optimal. Tapi hari ini aku dihadapkan pada fakta, kehilangan salah satu staf terbaikku. Kesayanganku.

Aku memejamkan mata, bayangan Windy dan si kecil Mariska, anak perempuan Dinno yang gembul dan lucu menyambar-nyambar kesadaranku.

Ya Tuhan. Ya Tuhan. Mengapa Dinno Tuhaaaaan ?? Apa yang harus aku sampaikan pada Windy??!! Aku tak sanggup. Tak berani aku membayangkan reaksi Windy. Ia tak tahu apa-apa di Bojonegoro sana.

Terbata-bata aku mohon izin pada dokter untuk melihat keadaan Dinno. Tirai putih itu aku sibakkan. Tuhan, Dinno sudah beku, wajahnya kian lebam ungu dan pipinya kian terlihat membengkak. Perban putih telah diikatkan melingkari dagunya, serta menyatukan kedua ibu jarinya yang bersidekap di depan perut. Tangisku tertelan, tanganku bergetar ketika mengeluarkan ponsel dan mengambil satu kali jepretan kamera untuk mendokumentasikan keadaan Dinno, akan kuberikan pada Windy nanti. Aku tak kuasa untuk melakukan lebih.

Setelah mengucapkan terima kasih pada dokter, aku melangkah keluar ruang risiko merah. Aku melihat Tarmin membentur-benturkan kepalanya ke tembok, tak tahan menyaksikan kenyataan Dinno sudah pergi. Kunyeng melangkah masuk melihat keadaan Dinno.

Dengan lemas aku menjatuhkan diriku di kursi tunggu UGD, aku terisak sejadi-jadinya. Penuh penyesalan aku merutuki diriku sendiri. Kurang apa aku memberikan edukasi tentang overdosis? Apa kurang jelas?? Apa kurang sering?? Untuk apa aku menyelamatkan orang lain, kalau orang-orang terdekatku justru tak terselamatkan! Aku sungguh merasa tak berguna. Benar-benar tak berguna. (bersambung ke bagian DUA)

--

--