Saatnya Fokus pada Smart Citizen Dalam Smart City 2.0
Ada yang sering bertanya, Smart City itu apa sih? Kota yang punya Wifi dimana-mana? atau Kota yang punya TV besar disudutnya? Atau semuanya serba digital? Lalu, apa peran masyarakat di “Smart City”?
Ya, semuanya tidak ada yang salah. Karena belum ada yang sepakat smart city itu seperti apa. Kita bisa bilang semua bisa berpendapat smart city yang diinginkannya Tapi apa jadinya sebuah kota tanpa masyarakat yang peduli dan aktif? Sementara menurut Saunders dan Baeck membagi Smart city dalam dua Generasi — Smart City 1.0 dan Smart City 2.0 — Apa perbedaanya?
Smart City 1.0 memusatkan perhatiannya pada pembangunan teknis atau teknologi. Seiring perkembangannya, mulailah bermunculan konsep Smart City 2.0. Sebuah pendekatan inklusif yang berorientasi pada kolaborasi Pemerintah dengan Masyarakat. Peran masyarakat tidak lagi sekedar menjadi penikmat, mereka diposisikan sebagai epicentrum pembangunan yang terjadi.
Bila dilihat lagi, ini bisa jadi upaya untuk meng-humanisasi penerapan smart city yang lebih dekat dengan masyarakat. Selama ini, masyarakat dapat dikatakan dianak tirikan untuk mencapai smart city.
It is finally time to redefine smart cities as people-centric smart cities or ‘smart cities 2.0’
Sebuah kota harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya dalam berbagai Aspek ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan kesehatan. Tapi gimana kalau kotanya hanya membangun infrastrukturnya saja tanpa membuat wadah untuk partisipasi masyarakat?
Pembangunan smart city jadinya berjalan satu arah. Padahal yang paling mengetahui seluk beluk kotanya, siapa lagi kalau bukan Masyarakatnya. Dan masyarakat yang seharusnya menikmati buah dari implementasinya, bukankah begitu?
“Paradigma Smart Citizen …. ditunjukan untuk mengkoneksikan masyarakat dengan informasi di sekitarnya, mengikutsertakan mereka dalam proses perencanaan dan pengembangan Kebijakan; mendorong partisipasi aktif melaporkan dan bertindak membawa perubahan positif.”
Masyarakat jangan lagi dipandang sebagai passive customer oleh Pemerintah ataupun sebaliknya masyarakat merasa sebagai penikmat kebijakan Pemerintah. Jaekel dan Bronnert menegaskan bahwa pendekatan smart citizen menekankan arti penting keterlibatan langsung masyarakat ikut merumuskan, mengkreasikan dan mengimplementasikan (co-planners, co-creators, and co-implementers) solusi di Kotanya.
“Smart city memerlukan smart citizen/people — fleksibel, terbuka, kreatif, berjiwa sosial, dan ingin belajar — yang mampu memadukan teknologi dan berpartisipasi aktif merubah lingkungan disekitarnya.” — Taewoo Nam dan Theresa A. Pardo
Pendekatan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam perumusan kebijakan sebenarnya sudah tersedia di Indonesia. Beberapa wadah telah disediakan bagi partisipasi masyarakat seperti e-Musrenbang dan aplikasi crowdsourcing seperti Qlue. Keberadaan wadah diatas perlu dijadikan pijakan bagi penerapan smart city 2.0 di Indonesia.
Yuk, kita ambil contoh pemanfaatan Qlue di Jakarta dan kenapa aplikasi ini contoh terbaik dalam menjelaskan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan…
Qlue merupakan sebuah aplikasi yang muncul pada tahun 2015 dan menjadi popular karena masyarakat dapat mengekspresikan keluhannya secara cepat dan mudah. Banyak pemberitaan yang berasumsi Qlue tidak lagi digunakan, tapi realitanya tidak demikian.
Berdasarkan data Tahun 2018 saja, sudah ada 113.118 laporan masyarakat yang masuk — dan tingkat penyelesaian/tindak lanjutnya 92.744 (lihat: 1 Tahun Anies Baswedan). Apa sih yang coba dibuktikan dari angka itu? Bahwa masih ada orang-orang yang peduli terhadap kondisi kotanya.
Selain dipakai melaporkan permasalahan disekitarnya, Qlue juga digunakan untuk berdiskusi dengan sesama user. Salah satu programnya adalah Rembuq — semacam diskusi lewat chat kota di Qlue dan sesekali ada narasumber Pemerintahnya.
Itulah bagaimana smart city 2.0 seharusnya dijalankan. Meng-humanisasi kebijakan pembangunan dengan mengikut sertakan peran masyarakat. Memudahkan mereka berekspresi dan beropini.
Kemudahan ini menjadi salah satu karakteristik hadirnya teknologi di tengah masyarakat. Melalui teknologi, jurang komunikasi yang selama ini membatasi masyarakat dan pemerintah seakan runtuh. Keuntungan lainnya adalah teknologi seperti Qlue membuka peluang partisipasi setiap elemen perkotaan — muda, tua, perempuan, laki-laki, individual atau komunitas — untuk membantu pembangunan.
Tapi toh, tetap saja ada tantangannya….
Hadirnya berbagai infrastruktur penunjang smart city dan aplikasi penghubung tapi tidak mudah untuk mengakselerasi keterlibatan masyarakat dalam pembangunan smart city. Perlu usaha lebih dari Pemerintah mengajak masyarakatnya berperan aktif menginisiasi perubahan positif dari diri mereka.
Kesadaran mereka akan menjadi sebuah tantangan tersendiri yang perlu secara bersama-sama ditemukan solusinya.
Membangun kesadaran lebih sulit dibandingkan membangun teknologi. Tanpa strategi pemerintah mengajak masyarakat, teknologi hanya akan menjadi teknologi semata. Tanpa membawa manfaat bagi masyarakat dan pembangunan.
Oleh itu nantinya, tujuan awal dari smart City — pembangunan berkelanjutan dan inklusif — akan dapat diwujudkan.
Epilog: Smart city itu apa dan siapa yang bertanggung jawab?
Dengan berkembangnya smart city 1.0 dari sekedar penyediaan teknologi dan infrastruktur semata menjadi smart city 2.0 yang berpusat pada kolaborasi elemen di dalam kotanya. Penting bagi sebuah kota memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Disisi lain, masyarakat perlu memahami posisinya sebagai aktor atau epicentrum dari munculnya smart city 2.0. Keberadaan wadah-wadah seperti e-Musrenbang dan Qlue berfungsi menarik minat masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi.
Balik lagi ke masalah, jadi smart city itu apa dan siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya seluruh elemen dalam sebuah kota yakni Pemerintah dan masyarakat. (1) Tanpa Masyarakat yang aktif, Pemerintah akan bergerak sesuai birokrasinya tanpa masukan. Sehingga kebijakan smart city tidak mampu memenuhi kebutuhan dari masyarakatnya. (2) Sementara tanpa pemerintah, suara masyarakat terkait kebutuhannya hanya sekedar suara belaka. Tidak ada stakeholder yang merumuskannya menjadi sebuah kebijakan.
Sumber:
- Henning Gunter,“From Citizens as Sensors to Co-Creation: Examining Different Forms of Citizen Participation and Their Implications in The Development of European Smart Cities”
- Elisa Sutanudjaja, Marco Kusumawijaya, M. Zul Qisthi, dan Inten Gumilang, “Strategy For a Social City in Indonesia”
- Ruzica Buksa Tezzele dan Raffaele De Amicis, “The Role of Technology and Citizens’ Involvement in Smart, Inclusive and Sustainable Urban Development”
- Taewoo Nam dan Theresa A. Pardo, “Conceptualizing Smart City with Dimensions of Technology, People, and Institutions”
- https://www.liputan6.com/citizen6/read/3619815/makin-keren-begini-potret-terkini-sarinah-yang-diunggah-anies-baswedan
- Helen Dian Fridayani dan Achmad Nurmandi, “Do Smart Citizens Make a Smart City?”