Halo, Apakah Kamu Mengerti Aku?

Aldo Aditiya
Relevate
Published in
8 min readSep 6, 2020
Source: Link

Dalam pekerjaan saya sebagai product manager, memilih pilihan yang tepat adalah hal yang krusial. Untuk melakukan ini, saya perlu bisa mendengarkan ide dari banyak pihak: tim teknis, stakeholder, dan user.

Pekerjaan saya juga cukup unik di mana suara saya di dalam tim tidak otoriter. Bila saya punya ide, saya masih perlu meyakinkan tim untuk mengikuti ide tersebut. Makanya saya juga perlu bisa menyampaikan ide.

Kedua skill ini, mendengarkan dan menyampaikan, lebih penting lagi untuk pekerjaan berbasis riset — di mana tidak ada satu orangpun yang tahu mana jalan terbaik, sehingga seringkali terjadi pergulatan ide antar orang.

Contohnya di proyek yang saya ikuti saat ini, proyek riset deteksi covid berbasis citra x-ray, di bawah BPPT. Di Indonesia belum ada banyak orang yang memiliki pengetahuan membuat sistem ini. Jadi tim kami melakukan apa yang tidak banyak orang sudah pernah lakukan sebelumnya.

Bisa dibayangkan serumit apa pergulatan ide yang terjadi di sini, apalagi kalau ada 7 orang yang melakukan riset ini dan semuanya orang2 yang pintar.

Jack Ma pernah mengatakan kalau mengajak orang2 pintar untuk bekerja sama itu sulit. Saya setuju hal ini, terutama karena orang2 pintar seringkali punya ide dan teori mereka masing2 — dan keukeuh sekali terhadap teori tersebut. Membuat semua orang dengan teorinya masing2 setuju butuh effort yang lebih.

Posisi saya di sini menuntut saya untuk bisa meng-konsiderasi semua pergulatan teori dan ide tersebut, agar tim tidak stuck hanya berdebat di tempat.

Di artikel ini dan beberapa artikel setelahnya, saya mau menyampaikan hal2 yang telah membantu dalam perjalanan saya. Walaupun, saya harus mengakui bahwa yang saya mengerti masih terbatas — jadi take it with a grain of salt.

Yang saya bisa janjikan, dengan membaca artikel-artikel ini kamu akan mendapatkan setidaknya satu insight baru tentang cara mendengarkan dan menyampaikan ide, dari dan ke orang lain.

TLDR: Untuk kamu yang sibuk

  • Kita cenderung mudah merasa puas untuk apa yang kita pikir kita sudah mengerti — padahal belum tentu itu sudah akurat. Illusion of Understanding.
  • Kita cenderung merasa tidak nyaman menerima informasi yang berbeda dengan apa yang kita percaya. Cognitive Dissonance.
  • Kita cenderung menyimpulkan hanya dari prakondisi kita masing-masing. WYSIATI.
  • Kita memiliki atensi yang terbatas, dan hanya mengamati yang dirasa menarik atau berharga untuk kita.

Seri Artikel

Artikel ini merupakan bagian pertama dari 3 seri artikel yang akan datang. (link akan ditambahkan setelah artikel sudah di-post)

  1. Halo, Apakah Kamu Mengerti Aku? — tentang dasar komunikasi
  2. Kamu Dengar Atau Tidak Sih? — tentang mendengarkan informasi
  3. Iya, Tapi Aku Pernah Bilang Kan? — tentang menyampaikan Informasi

Table of Contents

Walaupun ditulis untuk dibaca dari awal sampai akhir, silahkan pilih bagian dari artikel yang paling menarik untukmu.

  1. Illusion of Understanding
  2. Cognitive Dissonance
  3. WYSIATI
  4. Nilai Sebuah informasi

Secara simpel, proses komunikasi ada dua, yaitu: (1) mendengarkan dan (2) menyampaikan. Keduanya akan kita eksplorasi lebih detail pada artikel2 berikutnya.

Pada artikel ini, kita akan mengeksplorasi beberapa hal yang penulis rasa menjadi dasar untuk komunikasi secara umum.

Illusion of Understanding

Source: Link

Sebagai manusia, kita mempersepsikan objek yang ada di sekitar kita tidak secara seutuhnya. Tapi, kita mengerti sebuah objek hanya berdasarkan kegunaan objek tersebut untuk kita. Karena itu, banyak kompleksitas dari objek tersebut yang terlewat oleh kita.

Misalnya, kita melihat laptop sebagai alat untuk kita bekerja, komunikasi, main game. Kita tidak memikirkan kalau di dalamnya banyak sekali hal2 detail yang membuatnya bisa bekerja, seperti: logika chip, logika software, internet, dst. Kita hanya menggunakan laptop dalam konteks yang berarti untuk kita. Bisa dibilang, objek laptop ini kita simplifikasi di dalam otak kita.

Dalam bukunya Thinking Fast And Slow, (yang pernah saya tulis juga artikel tentangnya di sini) Daniel Kahneman menyebutkan bahwa otak kita adalah suatu organ yang “malas”. Otak kita secara tidak sadar akan cenderung cepat puas kepada versi pengertian simpel dari sebuah objek, karena untuk pengertian lebih dalam lagi butuh energi yang lebih banyak.

Untuk kebutuhan sehari2, di mana semuanya bisa bekerja sesuai ekspektasi, simplifikasi ini tidak jadi masalah. Tapi simplifikasi ini pada akhirnya tidak akan cukup kalau ia membuat ekspektasi kita akan suatu hal berbeda dengan kenyataan.

Kalau laptop kita rusak, kita tidak lagi bisa melihatnya hanya sebagai alat untuk bekerja. Kita harus melihat juga bahwa ada proses di dalamnya yang rusak — yang membuat dia tidak bekerja sesuai ekspektasi kita. Untuk memperbaikinya, kita perlu mengerti proses di dalamnya — seringkali ini kita serahkan pada expert saja, yang lebih mengerti laptop.

Proses simplifikasi yang sama juga menyebabkan kita merasa mengerti akan suatu hal, padahal kita sebenarnya belum sepenuhnya mengerti hal tersebut. Inilah yang disebut sebagai illusion of understanding.

Ilusi ini runtuh terutama ketika ada suatu “musibah” muncul yang membuat kenyataan berbeda dengan pengertian kita selama ini. Kita terpaksa untuk melihat bahwa hal tersebut ternyata lebih kompleks dari yang kita mengerti sebelumnya. Dalam contoh di atas, ini terjadi ketika laptop kita rusak.

Dalam komunikasi, ilusi ini contohnya adalah ketika kita merasa mengerti apa yang orang lain katakan, namun ternyata apa yang kita mengerti — setelah terjadi sebuah “musibah” — terbukti salah, dan kita harus me-rekonsiderasi ulang apa yang kita percaya.

Contoh sederhana-nya adalah ketika ujian. Di masa sekolah, berapa banyak dari kita yang ketika belajar merasa sudah mengerti suatu materi, tapi ketika ujian baru menyadari banyaknya gap pada pengetahuan kita — yang baru tampak pada saat itu?

Cognitive Dissonance

Source: Link

Akibat dari keterbatasan melihat suatu hal secara seutuhnya, muncul ketidakpastian untuk hal2 yang kita percaya. Apa yang dipercaya oleh seseorang selalu punya resiko untuk bisa diubah.

Kita cenderung merasa bahwa apa yang kita percaya itu konsisten dan logis. Informasi baru yang bertentangan dengan apa yang kita percaya akan cenderung membuat diri kita merasa tidak nyaman. Alhasil, secara bawah sadar kita ingin menyelesaikan konflik tersebut dengan cepat. Rasa tidak nyaman ini biasa disebut sebagai cognitive dissonance.

Salah satu cara untuk mengatasi cognitive dissonance adalah dengan mengubah kepercayaan kita agar konsisten dengan informasi baru yang masuk, baik informasi itu kita pilih untuk percaya ataupun tidak. Masalahnya, ini adalah proses yang tidak mudah — apalagi kalau kepercayaan yang mau diubah adalah sesuatu yang sangat kita percaya?

Butuh berhari2 atau bahkan berbulan2 untuk bisa resolve dengan cara itu.

Padahal, otak kita cenderung “malas”. Alam bawah sadar kita seringkali mengambil shortcut agar rasa tidak nyaman ini bisa cepat teratasi. Salah satunya dengan mencari fakta lain yang men-support kepercayaan yang kita punya. Ini seringkali menjadi cara yang secara tidak sadar diambil otak kita untuk mengatasi cognitive dissonance, bila mengubah kepercayaan kita terlalu susah

Contoh: Seorang yang percaya bahwa vaksin itu berdampak negatif, ketika ditunjukkan kepada informasi bahwa vaksin itu membantu, akan cenderung mencari artikel yang mendukung kepercayaan dia — mungkin sebuah riset tentang inefektifitas vaksin — walaupun ada banyak artikel riset lain yang membuktikan sebaliknya.

Cara orang meng-handle cognitive dissonance pastinya akan berbeda2. Beberapa mungkin memilih untuk menjaga diri dari informasi baru agar terproteksi dari hal2 yang membuat diri mempertanyakan kepercayaannya (cenderung lebih “konservatif”). Orang lain mungkin lebih “terbuka” terhadap informasi baru yang dapat mengubah pikirannya (kadang disebut “liberal”).

Cara mana yang dipilih akan sangat bergantung kepada perbedaan prakondisi masing-masing orang.

WYSIATI

Source: Link

Masing2 orang pasti punya prakondisinya sendiri: pekerjaan, rumah tangga, cara mereka dibesarkan, nutrisi di masa kecil, kultur daerah, penyakit genetik, dan seterusnya. (variasi prekondisi ada di luar konteks pembahasan ini). Prakondisi ini mempengaruhi cara kita mempersepsikan hal2 di sekitar kita.

Manusia juga punya tendensi untuk menyimpulkan hanya dari apa yang tampak jelas oleh mereka, atau disebut WYSIATI: What You See is All There Is.

Karena tendensi ini, ditambah dengan prakondisi kita, seringkali kita tidak melihat bahwa ada banyak hal yang kita tidak tahu, yang berpotensi berpengaruh terhadap kesimpulan yang kita bangun.

Contohnya, dari proyek yang sedang penulis ikuti. Pada proyek ini, kami sebagai engineer bidang AI bekerja sama dengan dokter bidang radiologi — untuk membuat sebuah sistem yang bisa membantu menangani masalah di bidang medis yang timbul karena covid, dengan menggunakan AI.

Sebagai engineer bidang AI, kami berpikir bahwa tenaga medis mungkin dapat dibantu dengan adanya sistem yang dapat memberi saran diagnosis covid dari data citra x-ray. Kami pikir, ini bisa membantu untuk alternatif solusi dari terbatasnya PCR kit.

Tapi, ketika kami berbicara dengan para dokter — sebetulnya masalah utamanya bukan untuk mendiagnosis covid, melainkan tata laksana penanganan pasien. Tata laksana ini didasarkan pada seberapa akut gejala yang dialami seorang pasien — apakah dia mengindikasikan suatu gejala yang ringan, atau sampai pneumonia berat.

Karena keterbatasan kapabilitas medis di rumah sakit, menjadi cukup penting untuk menyortir tata laksana pasien berdasarkan pasien mana yang paling membutuhkan perawatan intensif secepatnya, ketimbang berdasarkan covid atau tidaknya pasien.

Pasien akan ditujukan ke perawatan intensif bila gejala yang muncul dirasa cukup akut. Sedangkan pasien yang gejalanya ringan, tapi histori perjalanannya membuat dia tinggi suspek covid, diminta self-isolate di rumah.

Insight baru ini membuat kami mengarahkan development yang tadinya khusus untuk mendeteksi covid, sekarang juga untuk membantu dokter dalam melihat seberapa akut keadaan seorang pasien dilihat dari hasil analisis citra x-ray nya.

In hindsight, di awal kami melihat masalah ini secara terbatas hanya dari kacamata kami sebagai engineer AI. WYSIATI.

Nilai Sebuah Informasi

Source: Link

Atensi adalah suatu hal yang terbatas. Ditambah dengan kesibukan kita sehari2 yang sudah cukup padat, seringkali kita merasa tidak punya waktu untuk menerima masuknya informasi baru. Kecuali, dia merupakan informasi yang menarik untuk kita.

Hal2 di sekitar kita selalu “bertempur” untuk mendapatkan atensi kita. Karena itulah banyak media digital menggunakan bermacam metode psikologis untuk membuat kita terus tertarik kepada apa yang mereka ingin tawarkan.

Misalnya Youtube, yang menginsentifkan para kreator-nya untuk membuat thumbnail clickbait untuk menarik penonton, agar penonton merasa lebih “tertarik” menonton video itu.

Tentunya hal ini tidak terbatas hanya pada media digital saja — tapi juga pada pertukaran informasi secara umum.

Seorang petani mungkin tidak akan terlalu peduli dengan perkembangan industri AI, karena terkesan tidak akan langsung mempengaruhi hidupnya. Yang lebih berharga untuknya adalah solusi nyata yang memang bisa meningkatkan keuntungan penjualannya, tidak peduli solusi ini pakai AI atau tidak.

Karena keterbatasan atensi, agar sebuah informasi benar2 tersampaikan kepada seseorang, kita perlu bertanya: Apakah informasi ini penting untuk target audiens kita? Apakah menarik untuk mereka?

Hal2 yang penulis sampaikan di atas, berikutnya akan penulis elaborasi lebih lanjut pada artikel-artikel berikutnya, tentang mendengarkan dan menyampaikan.

Sebelum kita bisa bisa menyampaikan dengan baik, kita perlu bisa mendengarkan dengan baik. Jadi pada artikel berikutnya penulis akan eksplor hal ini terlebih dahulu.

Seperti biasa karena kita membahas tentang komunikasi, seringkali hal ini bersifat subjektif dan belum tentu bisa masuk ke dalam semua konteks. Jadi apabila ada pengalaman atau pendapat yang berbeda, boleh dituliskan di kolom komen! Karena pastinya penulis juga butuh lebih banyak belajar lagi.

Terima kasih sudah membaca, dan tunggu artikel berikutnya ya!

--

--