Mencoba Mendengar Jerit Kelu

Kesehatan Mental dalam Kumpulan Cerpen ^Nadus dan Tujuh Belas Pasung^

Nurul Lathifah
Selayang
8 min readJan 16, 2022

--

Karya sastra bertemakan kesehatan mental bukanlah hal baru. Perkara isu yang diangkatnya juga beragam: kecemasan, adiksi, depresi, bunuh diri, dan lain-lain. Semua persoalan ini pelan-pelan mulai mendapat porsi tersendiri di dalam percakapan kita sehari-hari saat ini. Seiring dengan itu, tentu diharapkan akan makin tumbuh sikap yang lebih mengerti dan peduli terhadap penderitaan kawan-kawan kita yang mengalami gangguan kesehatan mental atau ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa).

Dalam konteks inilah saya ingin membuka pembicaraan tentang sebuah kumpulan cerpen yang mengangkat tema tersebut, yaitu Nadus dan Tujuh Belas Pasung. Buku ini diterbitkan pertama kali pada September 2020 oleh Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Berisi 17 cerita pendek yang lahir dari hasil kerja sama antara Klinik Jiwa Renceng Mose Nusa Tenggara Timur dengan Yayasan Klub Buku Petra.

Sampul buku kumpulan cerpen Nadus dan Tujuh Belas Pasung.

Pasung Saja!

“Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya”, salah satu cerpen dalam kumcer ini, dimulai dengan adegan awal yang terasa filmis tentang peristiwa pengayunan sebuah palu ke depan kaca Oto Colt. Peristiwa itu terjadi dengan begitu cepat hingga hampir membuat bus kayu itu jatuh ke dasar jurang. Tinus, tersangka utama dari insiden itu, digiring ke rumah kepala desa. Maka, warga desa pun mengusulkan cara konvensional untuk mengatasi kegilaan Tinus.

“Gila adalah penyakit sekaligus aib bagi kampung kita. Sudah saya peringatkan keluarganya bulan lalu supaya bawa Tinus ke tempat rehabilitasi. Atau bagaimana bapak-bapak sekalian?”

Mereka bersungut-sungut mendengar kata rehabilitasi. Bukan karena arti harfiahnya membingungkan, melainkan karena ada pemaknaan lain atas kata rehabilitasi yang membikin pusing kepala; seperti biaya yang mahal dan segala tetek bengeknya.

“Betul, Pak Kades. Jangan bikin warga kampung resah. Tidak bisa rehab manusia begini. Pasung saja dia!”

Belum selesai adegan rapat bersama Pak Kades itu, cerita bergulir ketika seorang pemuda berteriak dan melesat masuk ke dalam rumah tanpa salam. Ia memberitahu bahwa seseorang bernama Nadus kerasukan seperti orang gila. Dalam momen “kerasukan” itu, Nadus berucap:

“Stop! Jangan dekat-dekat, Pak. Anda tidak tahu sedang menghadapi siapa. Ada dalam tubuh saya roh Sukarno, Hatta, dan ketujuh jenderal yang mati demi bangsa ini.”

Oto Colt, bus kayu yang menjadi alat transportasi umum di daerah Flores (Sumber Foto: kolase dari sini dan foto pribadi)

Melalui dunia fiksi yang dibangun dalam cerpen ini, kita sebenarnya juga diajak untuk memahami gambaran umum yang terjadi di dunia nyata tentang perlakuan masyarakat terhadap ODGJ, betapa persoalan kesehatan mental masih sering disalahpahami. Tokoh seperti Nadus adalah contoh klasik dari gejala gangguan mental yang termasuk dalam kategori “waham kebesaran”. Penderita delusi jenis ini cenderung merasa bahwa dia lebih berkuasa, hebat, cerdas, dan memiliki status sosial yang tinggi, serta meyakini bahwa dirinya telah melakukan suatu penemuan penting atau memiliki talenta yang hebat. Masyarakat awam cenderung memahami gejala psychotic ini sebagai “kerasukan”.

Pandangan awam seperti ini membuat penanganan terhadap ODGJ menjadi tidak tepat. Cara awam yang paling umum adalah dengan pemasungan. Cara ini sebenarnya bertentangan dengan Pasal 19 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, termasuk disabilitas mental atau ODGJ. Ditegaskan di sana tentang jaminan prinsip non-diskriminasi dan pengakuan atas kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dalam masyarakat.

Kenyataannya, kasus kekerasan terhadap ODGJ masih tinggi. Ketua PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat), Yeni Rosa Damayanti, mengatakan bahwa dalam temuan PJS sampai awal Agustus 2021, terdapat 11.049 kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental di 190 panti sosial. Pihaknya menduga masih banyak kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental yang belum terungkap. Bayangkan, sebelas ribuan kasus yang terungkap! Bagaimana dengan yang belum terungkap ke publik? Situasi seperti ini menanam keresahan di batin saya. Begitu pula, saya kira, dengan para penulis cerpen di dalam kumcer Nadus dan Tujuh Belas Pasung ini. Sebagian besar cerpen mengangkat isu pemasungan ini dengan keprihatinan yang mendalam.

Pemasungan jelas bukan solusi yang tepat jika kita mau menilik implikasi-implikasinya. Pertama, sang penderita malah akan kehilangan kontak sosial setelah disisihkan dari pergaulan. Hal ini malah semakin menghambat pemulihan di saat mereka justru memerlukan pendampingan sosial. Kedua, pemasungan akan menimbulkan luka fisik. Ketika kaki mereka dipasung dalam jangka waktu yang lama, hal itu berpotensi menyebabkan kelumpuhan karena terjadinya gangguan terhadap sensorik saraf. Ketiga, lingkungan yang tidak sehat. Banyak ODGJ dipasung dalam kondisi yang mengenaskan. Hal ini karena ketiadaan tempat untuk membuang hajat. Sering mereka harus makan dan membuang hajat di tempat yang sama. Hal ini sungguh-sungguh tidak higienis.

Situasi mengenaskan ini makin memprihatinkan jika kita melihat kenyataan bahwa biaya untuk terapi kejiwaan ternyata tidaklah sedikit. Sebelum ada jaminan kesehatan seperti BPJS dan KIS, obat-obatan psikiatri yang tidak murah itu harus dibayar dengan mengeruk paksa kantong pribadi. BPJS Kesehatan memang menjamin biaya pelayanan kesehatan bagi orang yang mengalami gangguan mental. Perlindungan ini ada dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Layanan faskes ini berfokus pada upaya rehabilitasi dan kuratif. Namun, pasien kesehatan mental yang dijamin itu wajib memiliki status kepesertaan BPJS Kesehatan aktif.

Dalam pengalaman saya sebagai penyintas gangguan depresi berat dan gangguan kepribadian ambang, jika saya tidak memakai BPJS, saya harus merogoh kocek setidaknya sebesar dua juta lima ratus ribu rupiah untuk biaya menebus obat selama sebulan, belum termasuk biaya konsultasi dokter. Siapa yang tidak mundur teratur mendengar biaya sebesar itu? Apalagi jika penghasilan ekonomi mereka memang pas-pasan. Karena itu, apa pun alasannya, pemasungan terhadap ODGJ adalah bentuk pengebirian atas hak asasi manusia. Oleh karenanya, akses terhadap fasilitas layanan kesehatan seharusnya memang menjadi hak dasar.

Lolongan Bisu Korban Kekerasan Seksual

Ketika membaca kumcer ini, saya sering kali dibuat meringis, mengernyit, dan juga mendidih. Betapa sebuah cerita dapat memberi efek luka dan perasaan tidak enak kepada pembacanya. Saya merasakan ini terutama, misalnya, ketika membaca cerpen yang berjudul “Orang Gila Berisik Sekali”. Cerpen ini bercerita tentang salah satu kemungkinan yang terjadi setelah seseorang menjadi korban kekerasan seksual, yaitu apa yang disebut PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau Gangguan Stres Pasca-trauma.

Cerita dimulai dengan adegan tokoh Tryana bernyanyi dan berkata-kata dalam rupa bahasa yang berbeda-beda. Lalu, pembaca dibawa ke masa lampau ketika Tryana masih dalam kandungan Maria. Diksi yang mengalir lancar membuat saya menikmati gerak alur cerpen ini tanpa terasa patah.

Film Rear Window yang sering dijadikan contoh klasik tentang male gaze dalam kajian film. (Sumber foto: di sini)

Dalam penggambarannya, penulis cerpen ini kerap menempatkan Maria dari sudut pandang laki-laki dan direpresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki, sebagaimana teori male gaze yang dicetuskan oleh Laura Mulvey. Musa dan Yosua, yang merupakan tukang ojek di sekitar rumah Maria, secara aktif mengamati tubuh Maria. Hal ini dipertajam dengan adegan ngaceng-nya penis mereka saat berhadapan dan berada dalam posisi yang mengharuskan mereka berdialog dengan Maria. Namun, penulis berhasil mengakali adegan male gaze itu dan menangkis ide usang mengenai seksualitas perempuan dengan menampilkan sisi Maria yang memberikan consent terhadap Musa untuk melakukan hubungan seksual.

Cerpen ini sebenarnya menampilkan kepingan realitas tentang kekerasan seksual. Seperti dikatakan oleh Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, banyak pelaku dari kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah orang terdekat. Dalam hal cerpen ini, kekerasan seksual itu dilakukan oleh Yosua yang merupakan calon suami Maria. Peristiwa pemerkosaan itu berakhir tragis. Maria yang mengetahui peristiwa itu akhirnya membunuh Yosua dan kemudian bunuh diri. Semua ini membuat Tryana terguncang jiwanya. Cerpen ini menggambarkannya dengan pilu.

Tryana tumbuh menjadi danau, tampak teduh tapi berlumpur di dasarnya. Tak banyak orang yang tahu isi kepala Tryana, benang kusut yang tak pernah mampu ia telusuri satu per satu. Tak banyak yang tahu Tryana gemar memandangi tembok seorang diri di ruang tamu. Tak banyak orang yang tahu bahwa ia sering tertawa keras-keras ketika mendengar klakson motor. Tak banyak orang yang tahu bahwa malam-malam Tryana dilalui dengan tangisan yang pelan namun menyayat hati.

Salah satu gejala dari PTSD adalah ingatan menyedihkan yang berulang, tidak disengaja, dan sangat mengganggu berkenaan dengan peristiwa traumatis, yang digambarkan dalam cerpen ini begini:

Kepala Tryana menanggapi pegangan tangan Ambros secara lain. Benak Tryana menyiarkan kembali gambar saat ia digauli Yosua. Mulut dibekap tangan. Rok terangkat. Celana dalam diturunkan. Sesuatu yang keras dan panjang menembusi kemaluan.

Cerpen ini juga memuat pandangan kritis perihal bagaimana otoritas gereja melakukan pembiaran terhadap korban. Kepingan cerita tersebut merepresentasikan realitas yang ada, betapa keadilan masih sangat jauh dari jangkauan korban kekerasan seksual. Tidak adanya dukungan dari otoritas membuat suara Tryana terbungkam. Pada akhirnya, suaranya hanyalah lolongan yang menyayat, tapi tetap tak terdengar.

Kerja-Terus-Sampai-Mampus

Apa yang terjadi ketika kamu memiliki disabilitas, tapi orang-orang tidak melihatnya? Dalam cerpen “Membeli Ibu”, ada tokoh ibu yang mengalami gangguan jiwa (termasuk dalam salah satu ragam disabilitas mental) yang mengharuskannya digantikan oleh sang bapak tiap kali pengambilan rapor anaknya, Lori. Gangguan jiwa pada umumnya bersifat melemahkan penderitanya. Orang yang menderita gangguan jiwa sering kali kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tujuan terapi salah satunya untuk membantu ODGJ menjadi lebih berdaya dan menumbuhkan sense of agency.

Kesulitan menjalankan fungsi sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari membuat gangguan jiwa menjadi salah satu disabilitas yang kompleks, karena seringkali tidak terlihat. Karena tidak terlihat itu pulalah ODGJ sering mendapat diskriminasi atas apa yang dideritanya. Ketika orang jatuh sakit secara fisik yang biasa, orang-orang di sekitarnya akan memberi pemakluman dan simpati. Mereka dapat meminta izin untuk beristirahat, mendapat kesempatan untuk berobat, dan mendapatkan kata-kata penghiburan atau buah tangan agar lekas sembuh.

Photo by Idin Ebrahimi on Unsplash

Sebaliknya, ketika orang memiliki disabilitas mental, ia malah disuruh bertobat, bukannya berobat. Diperlakukan dengan keras, bukannya disuruh istirahat dari kerja keras. Dipaksa kuat, bukannya dirawat. Dianggap lemah, padahal untuk menjalani hari-hari saja sungguh susah. Dibilang kurang bersyukur saat tersungkur. Dicemooh lebay saat ingin selesai. Masyarakat kita masih mendiskriminasi antara sakit yang satu dengan sakit yang lainnya. Cerpen “Membeli Ibu mengungkapkan hal ini dengan jelas.

“Di dunia ini lebih banyak orang yang terbaring sakit karena malaria, TBC, lever, tumor, kanker, rematik, atau kusta atau apa pun sebutannya. Itu lebih dianggap normal daripada sakit ibu.”

Tanpa disadari, diskriminasi ini juga dilanggengkan melalui kultur hustle (tergesa, sibuk, alias kerja-terus-sampai-mampus) dalam lingkungan kita. Kita terbiasa melihat nilai diri kita dari apa yang kita lakukan, padahal manusia lebih dari sekadar to-do­-list belaka. Pernahkah kalian menyadari, di hari-hari produktif kita merasa diri lebih puas dan bangga, sebaliknya jika kita belum selesai mengerjakan apa yang kita kerjakan atau belum mencapai goals tertentu kita akan merasa down dan kecewa? Celakanya, inilah yang sering kali terjadi pada kita yang mengasosiasikan diri dengan apa yang kita lakukan. Kita hidup dalam kultur yang menilai pencapaian atau prestasi di atas segalanya. Akibatnya, kita menjadi sangat terbiasa dengan pola-pola membuat, memproduksi, dan melakukan sesuatu. Kita mulai belajar mengasosiasikan diri kita dengan produktivitas.

Namun, sebagai manusia, kita tidak dimaksudkan untuk selalu membuat, memproduksi, atau pun melakukan sesuatu. Hidup kita sebenarnya multidimensi. Artinya, tidak hanya untuk dihabiskan dengan bekerja dan melakukan sesuatu, melainkan juga waktu yang ada dapat dihabiskan untuk istirahat, berkontemplasi, merasakan, bermimpi, atau pun untuk terhubung dengan orang lain. Dan, terkadang kita harus istirahat dari mode produktif karena kita sedang berusaha mengelola emosi-emosi yang sulit, sedang low energy, bersedih, jatuh sakit, dan sedang mengalami berbagai peristiwa hidup yang tidak direncanakan lainnya.

Belajar menoleransi — dan bahkan menikmati — waktu senggang adalah kunci kesejahteraan, tidak hanya kesejahteraan fisik, tapi juga kesejahteraan mental dan emosional kita.

Kita semua membutuhkan cerita untuk memahami realitas yang berbeda. Kita memilih kata-kata dalam bahasa untuk menjahit-tambal dan memberikan perban pada luka kita, seperti yang kita lakukan melalui fiksi. Membaca fiksi membuka mata kita terhadap cara orang lain memandang dunia. Kumcer Nadus dan Tujuh Belas Pasung merupakan salah satu cara dalam memperluas pandangan kita terhadap ODGJ. Semacam upaya mendengarkan suara dari pihak yang selama ini dibungkam. Upaya-upaya seperti ini patut diapresiasi dan diperbanyak sebesar-besarnya agar stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ dapat berkurang. Mari kita sama-sama mengaminkan.

--

--

Nurul Lathifah
Selayang

Sedang belajar menulis dengan membaca dan mendengarkan lebih kerap.