Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)

Slasar
Slasar
Published in
5 min readNov 1, 2020

Dalam konteks cakupan perencanaan tata ruang, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada suatu kawasan terbatas, biasanya disebut sebagai Bagian Wilayah Perencanaan (BWP), yang berfungsi sebagai alat perwujudan ruang dan sebagai acuan dalam pengaturan bangunan setempat dan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). RDTR ini berfungsi sebagai perangkat operasional dari rencana umum tata ruang dalam skala yang sama (RTRW Kabupaten/Kota) dengan tujuan untuk memudahkan upaya pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam proses perencanaan kabupaten/kota. Sesuai dengan fungsinya, RDTR ini disusun apabila: rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan kedua hal tersebut; atau rencana umum tata ruang mencakup wilayah yang luas sehingga skala peta yang digunakan perlu diperinci kembali sebelum dioperasionalkan. Kedua hal ini menjadikan RDTR sebagai instrumen penting dalam proses perwujudan tata ruang suatu wilayah guna memastikan pelaksanaan rencana yang ada sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan mencegah munculnya ketidaksesuaian perwujudan ruang yang dapat merugikan atau menghambat realisasi tujuan perencanaan daerah.

Penyusunan RDTR sendiri mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 16 Tahun 2018. Berdasarkan permen tersebut, muatan dari RDTR terbagi menjadi 6 muatan utama, yaitu:

  1. Tujuan Penataan BWP
    Tujuan penataan BWP merupakan nilai dan/atau kualitas terukur yang akan dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota dan merupakan alasan disusunnya RDTR tersebut, serta apabila diperlukan dapat dilengkapi konsep pencapaian. Tujuan penataan BWP berisikan tema pengembangan wilayah yang akan direncanakan di BWP.
  2. Rencana Struktur Ruang
    Rencana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana di BWP yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan dalam melayani kegiatan skala BWP. Materi rencana struktur ruang memuat rencana pengembangan pusat pelayanan, rencana jaringan transportasi, dan rencana jaringan prasarana.
  3. Rencana Pola Ruang
    Rencana pola ruang merupakan rencana distribusi zona pada BWP yang akan diatur sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Materi rencana ini terdiri atas Zona Lindung dan Zona Budidaya. Setiap Sub BWP terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya. Dalam hal keluasan, BWP relatif kecil, rencana pola ruang dapat digambarkan secara langsung ke dalam blok.
  4. Penetapan Sub-BWP yang Diprioritaskan
    Penetapan Sub-BWP yang diprioritaskan penanganannya merupakan upaya dalam rangka operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan ke dalam rencana penanganan Sub- BWP yang diprioritaskan. Penetapan Sub-BWP yang diprioritaskan penanganannya bertujuan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, memperbaiki, mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan, dan/atau melaksanakan revitalisasi di kawasan yang bersangkutan, yang dianggap memiliki prioritas tinggi dibandingkan Sub-BWP lainnya. Sub-BWP yang diprioritaskan penanganannya merupakan lokasi pelaksanaan salah satu program prioritas dari RDTR.
  5. Ketentuan Pemanfaatan Ruang
    Ketentuan pemanfaatan ruang dalam RDTR merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana diatur dalam pedoman ini.
  6. Peraturan Zonasi
    Peraturan zonasi (PZ) disusun untuk setiap zona peruntukan, baik zona budidaya maupun zona lindung, dengan memperhatikan esensi fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata ruang dan bersifat mengikat/regulatory. Dalam sistem regulatory, seluruh kawasan perkotaan terbagi habis ke dalam zona peruntukan ruang yang tergambarkan dalam peta rencana pola ruang. Pada setiap zona peruntukan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan, kegiatan, intensitas ruang dan tata bangunan. Peraturan zonasi memuat aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar merupakan persyaratan pemanfaatan ruang meliputi, ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, ketentuan khusus, dan standar teknis, dan/atau ketentuan pelaksanaan.
Peta Zonasi Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Sumber: Lampiran III-1 Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi DKI Jakarta

Secara operasional PZ berfungsi sebagai aturan pemanfaatan ruang di dalam suatu daerah yang secara spesifik menentukan apa saja kegiatan yang diperbolehkan pada suatu ruang/lahan yang ada di daerah tersebut. Ketentuan ini mencakup puluhan hingga ratusan jenis kegiatan yang ada di suatu daerah, mulai dari kegiatan perumahan, komersial, pemerintahan, hingga kegiatan khusus yang hanya ada di daerah tersebut. Aturan terkait kegiatan ini disesuaikan dengan kode peruntukan fungsi ruang yang diberikan kepada bagian-bagian wilayah yang ada di dalam BWP tersebut. Dalam praktiknya, pembagian kode yang dikenal sebagai peta zonasi ini bisa memiliki kedalaman hingga tingkatan blok lahan di dalam perkotaan. Hal ini memberikan kemampuan bagi pemerintah daerah untuk mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh dibangun pada lahan dengan kode zonasi tertentu agar mampu menjaga kualitas pemanfaatan ruang di wilayah tersebut. Ketentuan ini dikenal dengan sebutan Tabel ITBX, yang merupakan singkatan dari empat jenis izin yang diberikan bagi kegiatan-kegiatan di dalam tabel tersebut.

Contoh Tabel Matriks ITBX. Sumber: Lampiran 6 Peraturan Daerah Kota Bandung No. 10 Tahun 2015 tentang RDTR dan PZ Kota Bandung

Apabila suatu kegiatan dianggap sesuai dengan peruntukan fungsi dan kualitas ruang yang ingin dicapai pada blok/wilayah tersebut, maka kegiatan tersebut akan diberi kode I yang berarti “diizinkan” (I dari Izin). Kegiatan tersebut berarti dapat dibangun/diwujudkan pada blok-blok dengan kode zonasi tersebut.

Jika kegiatan dianggap dapat mendukung peruntukan fungsi namun perlu dikendalikan dampak negatifnya, maka kegiatan tersebut akan diberi kode T yang berarti “terbatas”. Kegiatan tersebut berarti dapat dibangun/diwujudkan pada blok dengan kode zonasi tersebut, namun dengan adanya batasan tertentu. Batasan ini dapat berupa batasan jumlah, luas, intensitas, maupun waktu operasional. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kegiatan tersebut.

Apabila suatu kegiatan dirasa mampu menunjang perwujudan fungsi ruang namun perlu diatur dengan ketat pelaksanaannya, maka kegiatan tersebut akan diberi kode B yang berarti “bersyarat”. Hal ini berarti bahwa kegiatan tersebut dapat dibangun/diwujudkan pada kode blok tersebut, namun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah. Syarat-syarat ini merupakan upaya untuk menekan eksternalitas negatif dan memastikan keberadaan kegiatan tersebut tidak mengurangi kualitas lingkungan yang ada di sekitarnya. Syarat yang diberikan umumnya berkaitan dengan upaya mengurangi dampak lalu lintas, dampak pencemaran lingkungan, atau penyediaan fasilitas tambahan untuk mengurangi dampak negatif yang muncul.

Dan terakhir, apabila suatu kegiatan dianggap tidak sesuai dengan fungsi peruntukan ruang yang ada maka kegiatan tersebut diberi kode X yang artinya “dilarang”. Kegiatan ini berarti sama sekali tidak diizinkan untuk dibangun pada blok/wilayah dengan kode zonasi yang dimaksudkan.

Sumber:
Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

--

--