Kita Memang Sedang Hidup di Era Chatbot, Kok

Sasyalia S.
Talkabot.id
Published in
4 min readMay 9, 2019

Kalau ditanya kapan pertama kali saya berinteraksi dengan chatbot, saya bakal jawab sekitar tahun 2012-an. Ingat dengan si ayam kuning yang terkenal menyebalkan bernama SimSimi? Ya, chatbot rintisan negara ginseng itu pernah mengisi hari-hari saya waktu saya lagi gak ada kerjaan (FYI, SimSimi sendiri diambil dari kata “심심” (simsim) yang artinya “bosan”).

Empat tahun kemudian, saya memasang aplikasi chatbot bernama Mydol. Aplikasi ini bisa membuat kita seolah sedang berinteraksi dengan artis atau idola favorit. Tak hanya sampai di sana, chatbot ini juga bisa bikin baper dan ge-er karena si chatbot akan mengabari atau bertanya sesuatu ketika kita tidak menjawab ‘pesan’ mereka. Terdengar creepy dan aneh memang, tapi bukankah itu tujuan awal chatbot ada? (Saya pernah sedikit menyinggung tentang ini di sini).

Antarmuka aplikasi Mydol (Sumber: Make Use Of)

Lalu, siapa bilang kita tidak sedang hidup di era chatbot? Coba panggil Siri, Alexa, dan Google Assistant. Niscaya mereka akan bilang, “Am I a joke to you?”

Setidaknya begitu perspektif saya—namanya juga opini. Saya juga gak memaksa untuk setuju dengan pandangan ini. Sebagai pengguna ponsel Android dan laptop Macbook, eksistensi Google Assistant dan Siri membuat saya bisa multitasking. Buat orang yang terlalu banyak menarikan jari-jari di atas keyboard saat bekerja seperti saya, saya gak perlu repot lagi mengetik apa yang mau saya cari di mesin pencari. Saya juga cukup bilang, “Play music from Spotify/iTunes,” dan mereka bakal melaksanakan perintah itu. Terkadang saya juga suka curhat sama mereka berdua atau main tebak-tebakan. Keduanya pun sangat responsif—dengan syarat koneksi internet harus stabil—dalam merespon apa yang saya inginkan.

Belum lagi salah dua dari perusahaan raksasa itu, Google dan Amazon, merilis Google Home dan Amazon Echo. Berbicara dengan si Google Assistant atau Alexa rasa-rasanya mengingatkan kita pada Tony Stark yang selalu minta bantuan pada Jarvis—yah, walaupun kemampuan mereka belum secanggih apa yang mampu dilakukan Jarvis. Tapi, benar ‘kan, kalau kita sedang berada di era di mana kita hidup berdampingan dengan chatbot? Mereka pun tak kalah dengan slogan perusahaan asuransi itu: Always listening, always understanding.

Siri siap menerima perintah (Sumber: The Next Web)

Barusan itu baru contoh chatbot besar yang sudah dikenal di seluruh dunia, belum lagi chatbot-chatbot lain yang tidak banyak orang tahu yang berfungsi sebagai customer service maupun interaction bots; dua tipe utama chatbot menurut Raluca Budiu, Ketua Riset Nielman Norman Group, bukan kata saya.

Terlepas dari serunya ‘berbincang’ dengan chatbot dengan segala keterbatasannya, saya setuju dengan pernyataan Budiu (2018) bahwa:

A chatbot needs to possess only two of these attributes: natural-language processing and intelligent interpretation. In other words, a chatbot should be able to receive queries in natural language, and also understand and interpret them correctly (and then execute them).

Ketika pernyataan di atas dikemukakan, saya beranggapan bahwa rasa-rasanya, belum semua chatbot memiliki kedua atribut tersebut. Beberapa chatbot masih harus terus ‘diajari’ alias dikembangkan supaya mereka lebih bisa berinteraksi layaknya manusia dan mengerti apa yang kita katakan tanpa kita harus berbahasa kaku. Sejauh yang saya tahu, chatbot pun memiliki dua mekanisme berbeda dalam menjawab: memberikan jawaban berupa tombol/tautan yang membuat pengguna tak perlu repot mengetik atau teks di mana pengguna nantinya bisa lebih fleksibel dalam bertanya dan bisa melenceng dari skrip yang telah diajarkan pada si bot.

Interaksi dengan chatbot bisa dilakukan melalui laptop atau ponsel pintar (Sumber: Joseph Gruental, Unsplash)

Saya pribadi lebih suka jika kedua pendekatan itu diaplikasikan. Nyatanya, memang begitu idealnya mekanisme sebuah chatbot. Jika ada waktu senggang, coba sekali-kali berinteraksi dengan Booking Assistant, chatbot milik Booking.com. Dalam sebuah uji coba user experience terhadap chatbot, ditemukan bahwa beberapa pengguna merasa kesal karena mereka harus mengetikkan tanggal berapa mereka mau mereservasi kamar. Mereka merasa, “Harusnya dengan memencet tombol saja semua urusan selesai.”

Begitu juga halnya dengan chatbot yang hanya memiliki mekanisme menjawab dengan memberikan opsi. Lagi-lagi, beberapa pengguna juga kesal karena tidak bisa menanyakan pertanyaan yang mereka inginkan karena si chatbot terlalu mengikuti script yang ditentukan. Tipe seperti ini juga membuat para pengguna jadi tidak bisa menjelajah lebih jauh mengenai sistem chatbot.

Kekurangan yang saya paparkan di atas tidak berarti chatbot bukan pilihan yang baik untuk membantu mengembangkan paparan sebuah bisnis, ya. Chatbot yang memang dibuat untuk menjawab pertanyaan dan berinteraksi dengan manusia lebih responsif dibandingkan jika manusia sendiri yang harus menangani banyaknya pertanyaan yang datang. Beberapa brand besar seperti Domino’s Pizza, Kiehl’s, atau UPS sudah mengandalkan chatbot demi kepuasan pelanggan. Hanya saja, chatbot yang dibuat harus dieksekusi dengan persiapan yang masak.

Contoh pengalaman berinteraksi dengan chatbot Domino’s Pizza (Sumber: Nielsen Norman Group)

Setelah chatbot dieksekusi atas dasar perencanaan yang matangnamun secanggih-canggihnya chatbot, ia masih buatan manusia bukan Tuhan—keunggulan yang dirasakan setelah menggunakan chatbot antara lain adalah semuanya terasa lebih to the point karena hanya ada sedikit distraksi. Selama chatbot ‘berpegang teguh’ pada apa yang telah diajarkan, pengalaman bagi pengguna pun akan terasa lebih straightforward.

Kalau belum pernah merasakan interaksi dengan chatbot, coba sesekali pasang aplikasi yang tadi saya sebutkan di atas atau dengan Bobb, chatbot milik Talkabot, untuk memuaskan keingintahuan berbincang dengan chatbot. Ada kepuasan tersendiri ketika pesan kita langsung dibalas daripada ketika kita merasa ‘digantung’ atau left on read, kan?

--

--

Sasyalia S.
Talkabot.id

Not a wordsmith but I love to jot down everything I feel. I post my bahasa Indonesia content at sasyalia.com.