Yuk, Kepoin Para Product Designer!

Temukan semuanya dalam satu hari di Traveloka

Budi Kontak
Traveloka Design
5 min readJan 27, 2017

--

Photo: Azis Pradana

Pagi-pagi di tempat yang agak pojok tapi juga agak tengah. Seorang Senior User Interface Designer (UID) sedang menyelesaikan hi-fi prototype alias pixel perfect mockup di Sketch. Kantor masih sepi. Mas Pakar ini memang rajin. Sebagai pakar, dialah yang menginspirasi teman-teman UID lain supaya paham bagaimana tumbuh sebagai seorang UID yang baik. Dia sangat bahagia ketika menerima seorang UID baru angkatan 2012 yang baru 1 hari sudah bertanya, “Bagaimana aku bisa jadi seorang UI Designer yang baik?”

Sebetulnya tidak sulit menjabarkan seperti apakah UI Designer yang baik itu. Pertama, kau harus mengerti product concept. Produk yang dikembangkan ini untuk menjawab kebutuhan customers dalam hal apa? Latar belakang apa yang menyebabkan tim proyek memutuskan untuk memberikan solusi itu untuk customers?

Kedua, kau perlu mengembangkan solusinya dengan prototyping yang baik. Ketika kau melakukan prototyping ini, bisa saja berangkat dari lo-fi prototype yang sudah disketsa di kertas oleh teman proyek. Lalu kau corat-coret lagi sampai menemukan solusi yang cocok. Peranan Engineer di sini sangat penting, sehingga kau perlu tek-tokan dengan mereka sampai flow dan layout-nya sudah dikonfirmasi. Setelah itu, kau bikin wireframe-nya supaya bisa dites dengan pengguna.

Ketiga, kau perlu sangat, sangat tertarik dengan pengguna. Jika kau hanya mau menggambar dan mengkonstruksikan wireframe lalu mengisinya dengan piksel-piksel berwarna, maka kau bukan User Experience (UX) Designer. U is user (pengguna). Validasi dengan penggunalah yang akan melengkapimu sebagai seorang UI Designer yang mengerti UX.

Keempat, kau perlu memahami teknologi, visual design, dan Information Architecture (IA). Tanpa pemahaman IA, kau akan kesulitan menampilkan mana informasi yang paling penting untuk pengguna. Kau perlu memahami urutan dan kelompok informasi, supaya bisa menerjemahkannya ke layout yang baik, dan kemudian menampilkannya dengan nyaman untuk mata pengguna. Dengan pemahaman teknologi, kau tahu seperti apa bentuknya di Android, di iOS, atau di situs web.

Tak jauh dari meja Mas Pakar, kita temukan meja Mas Senpai. Sebagai seorang Senior Product-Service Designer (PSD), selain jadi mentor untuk PSD yang lain, tugas dia sehari-hari adalah memfasilitasi interaksi antara customers dengan business. Karena tanpa interaksi ini, maka tidak ada produk. Mas Senpai bekerja sangat dekat dengan Product Manager (PM) karena tugasnya adalah mengerti isu-isu bisnis dan mempertemukannya dengan kebutuhan customers.

Mas Senpai ini empatinya tinggi sekali. Begitu ada cerita customers yang begini begitu, dia langsung mencari tahu kenapa. Lalu dia gali berbagai sumber inspirasi tentang customers dari berbagai tim di kantor. Ketika ada PM menyampaikan kegalauannya dalam mengembangkan bisnisnya, Mas Senpai mencoba ngobrol dengan customers supaya bisa menemukan opportunity untuk produknya.

Innovation mindset-lah yang menggerakkan Mas Senpai dalam merumuskan product concept yang disetujui oleh stakeholders. Kadang Mas Senpai membantu PM untuk menulis User Story produknya. Kadang dia corat-coret di kertas bersama Mas Pakar. Kadang bikin wireframe di Balsamiq. Tentunya tak lupa konsep-konsep produknya divalidasi lagi dengan customers.

Sayangnya, Mas Pakar dan Mas Senpai ini kadang dikira “nggak ngapa-ngapain” :)) Mas Pakar dianggap cuma memproduksi layar-layar berwarna Photoshop-an hasil bertapa tiap malam, “abrakadabra!”. Padahal pekerjaannya perlu keempat kemampuan yang sudah disebut di atas. Mas Senpai dikira cuma ngobrol sama customers dan bilang si A begini dan si B begitu. Padahal untuk mendapatkan insights perlu menggabungkan berbagai macam data dan untuk membantu PM perlu corat-coret dan brainstorm dan validasi berkali-kali.

Tahu nggak, kalau validasi berkali-kali dengan pengguna itu adalah tugas standar setiap Designer? Karena tanpa validasi dengan user test maka kita tidak bisa mengobservasi reaksi dan perilaku pengguna. Dari situ kita jadi paham pengalaman pengguna.

Lagi Mas Pakar dan Mas Senpai ngopi bersama, tiba-tiba Mbak Mentor datang dan ikutan curhat. Sebagai seorang Product Copy Writer (PCW), Mbak Mentor lagi galau. Ternyata ada yang mengira dia cuma nulis-nulis ngepasin kotak-kotak di tiap layar. Padahal nggak segampang itu!

Mbak Mentor musti memahami flow yang dibikin oleh Mas Pakar, dan juga perlu mengerti product concept yang dibikin oleh Mas Senpai. Dia perlu tahu latar belakang masalah dan kenapa solusinya begitu, karena dia perlu membayangkan skenario perjalanan si pengguna, seperti menulis skrip untuk film. Dengan pemahaman user journey ini, Mbak Mentor bisa menulis di tiap layar dengan saling tersambung seakan-akan menuntun para pengguna.

Selain itu, Mbak Mentor juga perlu menulis dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Waktu menulis versi Indonesianya, Mbak Mentor tidak asal menerjemahkan dari bahasa Inggris, melainkan perlu berpikir ulang supaya versi Indonesianya agak unyu dan sesuai dengan budaya customers yang berbahasa Indonesia. Namanya juga copywriting. It’s designing words!

Tiba-tiba ada PM lewat bertanya, “Ke mana si Master?” Semua tertawa. Mas Master, seorang Web UI Developer, ternyata lagi ngumpet di balik monitornya yang lebar. Dua hari terakhir, dia lagi konsen menyelesaikan codingan untuk beberapa laman web. Dengan keahliannya HTML, CSS, dan JavaScript, Mas Master merupakan jembatan antara Mas Pakar dengan para Engineers. Laman web di desktop yang lumayan luas dibanding app di ponsel, bisa diperkuat dengan animasi dan interaksi mikro yang mempermudah penggunaan.

Lantas, Mas Master ini Engineer atau Designer, sih? Mungkin hybrid. Tapi yang jelas, dia seorang Designer. Tanpa pemahaman tentang UX mungkin dia mendesain animasi yang sok cool, bukan yang tepat guna. Tanpa pemahaman tentang produknya, dia tidak mungkin bisa menentukan di langkah mana pengguna perlu dibantu untuk mencapai tujuannya.

Galau pagi itu cepat hilang setelah sesi curhat selesai. Mas Pakar, Mas Senpai, dan Mbak Mentor kembali ke meja masing-masing. Mas Master pergi ke ruang meeting dengan si PM. Hari itu sepertinya berjalan seperti biasa.

Tidak mudah menjadi Designer di industri yang belum ramah terhadap Designer. Ketika pihak bisnis hanya mau tahu conversion dan conversion. Ketika pihak teknologi menganggap Design bisa diukur dengan angka belaka. Seorang Designer perlu kuat mental dan selalu mencoba mengembangkan kemampuan komunikasinya.

Beruntunglah Mas Pakar, Mas Senpai, Mbak Mentor, dan Mas Master bekerja dengan para PM yang mengerti UX. Mereka mengerti sisi manusiawi sebuah produk. Karena produk adalah sesuatu yang dibuat untuk dikonsumsi oleh pengguna. Produk tidak bisa berdiri sendiri tanpa manusia penggunanya.

Product Design adalah kerjasama terintegrasi berbagai pihak. Kau tak bisa mengklaim dirimu seorang Product Designer jika kau tak memahami calon pengguna produkmu. Mas Pakar tidak akan jadi pakar jika dia hanya peduli piksel-piksel di layarnya. Mbak Mentor tidak akan jadi mentor jika dia hanya peduli pada tulisan-tulisan asal ngepas di layar. Mas Master tidak akan jadi master jika dia hanya peduli kehalusan animasinya. Tanpa Mas Senpai, PM tidak akan yakin meluncurkan produk yang menjawab kebutuhan calon pengguna.

Product Design is an activity that listens to the business question and answers it for the customers by executing within a product development team.

--

--

Budi Kontak
Traveloka Design

interaction designer | industrial design graduate | former teaching assistant & team mentor | writing only in indonesian language