Menyanyikan Kota #4

Sore Tugu Pancoran: Menerka Persepsi Legenda Iwan Fals dalam Melihat Kehidupan Perkotaan

A. Zuhdi
Urban Reason
Published in
5 min readMar 16, 2018

--

“..Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu,
dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal..”

Album “Sore Tugu Pahlawan” merupakan masterpiece ke 14 penyanyi balada legendaris Indonesia — Virgiawan Listanto atau akrab dengan nama Iwan Fals. Album ini berlatar belakang tahun 1985 pada era orde baru. Beliau juga merilis satu album lagi berudul KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) pada periode ini. Kedua album ini termahsyur dengan problematika perkotaan di rezim “klimaks” Soeharto yang diangkat dalam lagu-lagu yang diciptakan Iwan Fals.

Swasembada Pangan via Tirto

Tahun 1985 merupakan tahun emas dari periode pembangunan besar-besaran di Indonesia. Asian Athletics Championship 1985 berlangsung dengan cerita kesuksesan Mohammed Purnomo meraih perak lari 100 meter dan 200 meter. Berdirinya perusahaan Bisnis Indonesia, Mazda Motor, Hokben, hingga berdirinya PSBL Lampung. Selain itu, juga tahun dimana tragedi yang mencoreng ke-Bhinneka-an Indonesia, “Borobudur Bombing” terjadi. Kemudian tentunya “Era Swasembada Pangan Pertama” pada medio 1984. Bahkan, tahun 1980an, Indonesia mampu menekan tingkat kemiskinan dari 60% ke angka 15% saja.

Sekilas semua pencapaian dan presteasi tersebut terasa “good enough” bagi orang awam. Namun, apa yang dilihat oleh seorang Iwan Fals?

Setidaknya “unek-unek” Bang Iwan terefleksikan dalam 3 lagu dalam Album Sore Tugu Pancoran berikut ini:

Sore Tugu Pancoran

Lagu “Sore Tugu Pancoran” bercerita tentang “dualisme” kehidupan anak ibu kota dengan latar belakang ekonomi pas-pasan di era swasembada pangan. Dengan latar belakang Tugu Pancoran yang sejatinya menjadi simbol kuatnya sektor kedirgantaraan Indonesia dan juga sebagai tugu sambutan bagi imigran ibukota yang masuk melalui Bandara Halim Perdanakusuma.

Pancoran (Antara)

Simbolisasi “keperkasaan” tersebut terpendam oleh realita perempatan Pancoran yang menjadi pasar rakyat yang ”fragile”. Tempat bagi penjual asongan bermarkas. Kondisi ini “menutup” ide ambisius tentang idealisasi keperkasaan bangsa yang terbang di udara (dirgantara). Disinilah tokoh fiksi Budi menjajakan koran kepada pengguna jalan.

“…Surat kabar sore dijual malam, selepas isya melangkah pulang...”.

Dilihat dari sisi rakyat di masa itu maka interpretasi bahwa kehidupan ibu kota yang keras tergambarkan dengan gamblang melalui penggambaran Budi yang menjual koran edisi sore yang baru laku di malam hari. Masalah kesenjangan ekonomi jauh lebih mengemuka atas kasus Budi ini. Anekdot mengenai “pendatang yang tidak memiliki modal keahlian yang mengejar mimpi ke ibukota pasti akan karam dalam belantara ibu kota” agaknya cukup relevan dengan penggambaran cerita dari lirik lagu ini. Dengan kata lain, Ibu Kota tidak menjadi kota yang ideal bagi semua orang. Masih terdapat orang-orang marjinal yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasarnya.

Kota inklusif sebagai cita-cita besar perkotaan dunia mungkin terlalu tinggi apabila melihat keadaan perkotaan yang secara data cukup kompeten namun pada realitanya selalu ada yang “tertinggal”. Semangat Cities For All dimana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak di kota-kota seluruh dunia “belum” terjadi pada masa itu.

“..Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu..”

Full Lagu: Sore Tugu Pancoran

Ujung Aspal Pondok Gede

Lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” bercerita mengenai fenomena “Penggusuran” yang menghilangkan kenangan yang telah tercipta pada kampung halaman Bang Iwan. Lagu ini melambangkan dampak dari fenomena “Gentrifikasi”. Tergantikannya penduduk asli berpendapatan rendah oleh penduduk pendatang yang memiliki pendapatan lebih tinggi sehingga menyebabkan “displacement”. Akibat naiknya harga dan nilai lahan atau “mungkin” hanya spekulasi pengusaha properti yang beruntung saat penduduk asli tidak mampu lagi menahan tanggungan Pajak, secara Sosial dipecah-belah oleh giuran uang, hingga inkonsistensi pejabat lokal dalam melayani masyarakatnya. Semua bermuara pada tergantikannya penduduk asli ini.

Baca juga: Studentifikasi — gentrifikasi pelajar

Pondok Gede (wartakota)

Melihat penggusuran sebagai sebuah “prosedur” tentu menjadi pilihan terakhir pemerintah selaku eksekutor untuk melakukannya. Namun, dari kaca mata Bang Iwan beliau secara tidak langsung telah mendukung teori “Place Attachment” tentang keterikatan sebuah kelompok sosial dengan tempat yang mereka tempati. Karena makna “place” itu telah bergeser menjadi “space” yang memiliki sentiment value sebagai added value-nya.

Pengalaman menunjukkan bahwa kunci penyelesaian dari konflik tanah (penggusuran) adalah manajemen dan komunikasi. Pemindahan PKL di Solo yang melambungkan nama Walikotanya adalah salah satu contohnya. Penggusuran acap kali terjadi karena cacat prosedur, desakan developer untuk menguasai lahan, hingga penggusuran demi normalisasi (untuk kasus bantaran sungai).

Baca juga: How Gentrification Should Really Be Seen in Public

Salah satu solusinya adalah “Manajemen Lahan” seperti Land Consolidation, Land Sharing, Land Pooling hingga Land Banking yang sempat hangat atas berita “geser bukan gusur” DKI Jakarta. Intinya apabila semua stakeholder telah merasa “sama-sama seneng” maka penggusuran bukan menjadi permasalahan lagi.

“..Kambing 9 Motor 3 Bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya.
Sampai saat tanah moyangku
tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota.”

Full Lagu: Ujung Aspal Pondok Gede

Tince Sukarti Binti Machmud

Serta lagu “Tince Sukarti Binti Machmud” mengenai Urbanisasi yang didorong oleh motivasi meraih mimpi menjadi Artis Ibukota. Tingkat urbanisasi Indonesia yang saat ini telah mencapai angka 52%, ikut meramaikan bursa wacana ½ penduduk dunia yang akan menempati perkotaan pada tahun 2030. Urbanisasi telah menjadi penanganan prioritas bagi semua perkotaan untuk memilih “berhenti memikat anak desa” atau “membangun hubungan biimplikatif dengan desa”. Dan cara kedua rasanya sulit bagi bangsa kita.

Dewi Yull 1980 (ilustrasi)

Namun Bang Iwan dalam lagu ini lebih menyoroti perubahan Kepribadian seorang Bunga Desa yang harus menjual diri demi berjuang untuk bertahan di Jakarta atas Mimpi-mimpi yang semu. Artinya kota dengan mimpi-mimpi yang melekat padanya justru menjadi “akhir” dari keluguan dan kepolosan orang-orang desa. Sebuah tempat telah mengubah kepribadian seseorang.

Dalam kacamata penulis, lagu ini menunjukkan ketidakmampuan Desa dalam memenuhi ekspektasi masyarakatnya. Sehingga berpindah ke kota menjadi pilihan yang menjanjikan. Hal ini menunjukkan “rural-urban linkage” yang lemah. Sehingga perpindahan itu tidak terhindarkan.

“..Tince Sukarti..Berlari mengejar mimpi..
Janji makelar penyanyi orbitkan Sukarti.
Janji Sukarti dihati perset*n harga diri..
Kembang Desa layu.
Tak lagi wangi seperti dulu..”

Full Lagu: Tince Sukarti binti Mahmud

Penulis Adalah Mahasiswa Tingkat Akhir
Yang Sedang Mencari Kebahagiaan Hakiki

Edited: 18 Agustus 2023

(zuhdi/Urban Reason)

Referensi:
[1] Habitat International Coalition (HIC).2010.Cities for All: Proposal and Experienced Towards The Right to the City
[2] Diane K. Levy, et all (Urban Institute).2006.In The Face of Gentrification: Case Studies of Local Efforts to Mitigate Displacement
[3] Official Website Iwan Fals: http://www.iwanfals.co.id/
[5] General Information: https://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Fals#Album and /Indonesia

Video:
[1] ZalChannels (Dec 31, 2013). Iwan Fals — Sore Tugu Pancoran
[2] Kawali tv.com (Oct 21, 2017). Ujung Aspal Pondok Gede, Iwan Fals klip asli
[3] Cikal Alesha (Aug 15, 2016). Lagu Iwan Fals — Tince Sukarti Binti Machmud | Album Sore Tugu Pancoran [1985]

--

--