Newsie #11

The Nighmare of Depok : Jalan Raya Margonda

Riziq Syihab
Urban Reason
Published in
4 min readApr 16, 2018

--

“Margonda akan macet sampai kiamat ??”

Sejak diangkat beritanya oleh beberapa arus media mainstream secara massif, tiba-tiba Jalan Raya Margonda di Kota Depok menjadi topik pembicaraan yang cukup fenomenal. Terlebih lagi dalam tulisannya, media Tirto.id “mengaminkan” macetnya kota tersebut hingga kiamat. Dan di tempat lain, media literasi perkotaan Kolektif Agora juga mengangkat tema tulisan mengenai pembangunan vertikal di Kota Depok. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi ?

Sebagai kawasan Suburban yang berfungsi untuk melengkapi dan mendukung kegiatan di Kota Jakarta , Tidak mengherankan Kota Depok melakukan pembangunan-pembangunan permukiman dan kluster-kluster kegiatan lainnya demi mendukung berbagai aktifitas yang ada di Kota Jakarta. Namun apa jadinya jika harga yang harus dibayar atas pembangunan tersebut tidak sebanding dengan dampak yang diberikan atas muka kota tersebut.

Data dari Dinas Perhubungan Kota Depok mengakui beberapa ruas jalan terutama koridor Utara-Selatan seperti Jl. Limo-Cinere, Jl.Margonda Raya dan Jl. Raya Bogor (arus dari dan ke Jakarta) telah mencapai derajat kejenuhan di atas 0,8. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), angka ini menunjukkan ruas-ruas jalan tersebut tergolong jenuh dan terjadi kemacetan. Berbagai tuduhan diberikan atas tingginya angka kemcetan tersebut dengan menyalahkan pertumbuhan populasi dan volume kendaraan bermotor yang berada di Kota Depok (tercatat peningkatan dari 1,7 juta jiwa penduduk pada 2010 menjadi 2,3 juta jiwa pada 2017). Kesalahan yang sebenarnya difasilitasi oleh pemerintah itu sendiri dengan mengizinkan pembangunan-pembangunan titik-titik permukiman baru dalam skala sedang hingga besar dan juga akibat bermunculannya bangunan=bangunan hunian vertikal di Kota Depok.

Dan apapula itu Margonda, apa itu makanan? Margonda sendiri adalah nama salah satu jalan raya terbesar di Kota Depok yang sejak tahun 80-an sudah menjadi salah satu pusat gravitasi bagi berkembangnya Kota Depok itu sendiri, terlebih lagi Jalan Raya Margonda terletak tepat dimuka salah satu kampus terbesar dan terbaik di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia. Tercatat perubahan lahan juga terjadi dengan cukup signifikan di sekitar Jalan Raya Margonda, yang sebelumnya didominasi oleh kegiatan pertokoan dan permukiman menjadi kawasan perdagangan jasa dengan kepadatan aktivitas tinggi serta kavling-kavling permukiman dengan kepadatan yang tinggi dibelakangnya. Fenomena yang sebenarnya lumrah terjadi diberbagai kota-kota besar di Indonesia, namun jika salah penanganan akan membawa implikasi buruk secara visual,fungsional maupun lingkungan perkotaan (tercatat oleh BPLH bahwa hanya terdapat kurang dari 20% ruang terbuka hijau di Depok )

Jangan berburuk sangka, Pemerintah Depok sendiri tidak berdiam saja dalam menangani masalah kemacetan dikotanya khususnya untuk kemacetan di Jalan Raya Margonda. Berbagai rekayasa lalu lintas seperti penambahan panjang jalan untuk mengimbangi pertumbuhan kendaraan, perlebaran ruas jalan margonda hingga yang terbaru adalah pembangunan separator pemisah jalur lambat dan cepat (seperti yang ada di Jalan menuju Jembatan Suramadu di Surabaya) hingga penutupan putar balik di saat tertentu, sebagai langkah penanganannya. Namun, disayangkan karena hasilnya masih jauh dari harapan. Alih-alih bahkan pengguna jalan merasakan efek nihil dari upaya pemerintah yang kabarnya telah menelan biaya lebih dari 12 miliar rupiah itu. Dan ironisnya, keberadaan kendaraan umum yang seharusnya dapat memecah kemacetan yang ada justru dianggap memperparah kemacetan di Jalan Raya Margonda. Kebijakan pemerintah tersebut disorot hanya merupakan upaya tambal sulam atas kekacauan yang terjadi diatas Jalan Raya Margonda terlebih lagi solusi-solusi yang ada terlalu berorientasi kendaraan pribadi tanpa adanya blueprint jangka panjang yang jelas untuk pengangan kemacetan dikawasan tersebut.

Sebenarnya kota-kota besar didunia juga tidak asing dengan permasalahan kemacetan karena pertumbuhan ekonominya yang terlalu terpusat. Terlebih lagi jika kota tersebut berstatus sebagai kota satelit dari sebuah kota besar sehingga membuat perkembangan penggunaan lahan yang cenderung terlalu rigid mengacu pada pertumbuhan kota besar yang berada didekatnya. Namun untuk masalah kemacetan di Jalan Raya Margonda sebenarnya bisa digunakan beberapa pendekatan didalam mengatasi tingginya tingkat pergerakan kendaraan didalamnya, yang dalam beberapa waktu terakhir konsep TDM (Travel Demand Management) menjadi salah satu strategi yang cukup diperhitungkan untuk memecahkan kemacetan dalam sebuah kawasan.

Ada 2 prinsip dalam TDM yaitu , Push-Pull strategy policy dan Turunkan Demand dan menaikkan supply. Push-pull strategy berarti bahwa pemerintah perlu untuk mendorong masyarakat untuk meninggakan penggunaan kendaraan pribadi yang dalam konteks ini didalam jalan raya margonda dengan meningkatkan hambatan bagi para pengendara untuk menggunakan kendaraannya (pajak progresif, tarif parkir tinggi dan pengetatan peraturan bagi pengendara yang lewat dengan menempatkan pos-pos polisi yang aktif) sehingga akan menurunkan pengguna kendaraan pribadi melewati jalan tersebut secara bertahap. Disisi lain pemerintah perlu mulai menarik masyarakat untuk menggunakan sepeda dan transportasi public dengan meningkatkan kenyamanan trotoar, jalur yang aman dan nyaman bagi pengendara sepeda dan kenyamanan yang berkelas bagi transportasi public. Selain itu perlu juga untuk menaikkan supply kendaraan public yang nyaman serta pelengkapan fasilitas pedesterian dan pengendara sepeda sehingga masyarakat merasa terpenuhi syarat minimalnya untuk mulai menggunakan kendaraan publik, memakai sepeda maupun berjalan kaki. Sehingga demand untuk menggunakan kendaraan pribadi bisa menurun sesuai dengan perpindahan massa pengguna dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan publik.

Daftar Pustaka :

  1. http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-109634.pdf
  2. https://medium.com/kolektif-agora/dijual-apartemen-kota-depok-8c9f83a297c2
  3. https://tirto.id/sampai-kiamat-depok-akan-tetap-macet-cBJ3

--

--