Urbs Tempus Et Febula

The Town Where Only I am Missing

Kampung Batik Laweyan dalam kulit kacang

Cornelius Catra
Urban Reason

--

Pada 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom yang dijatuhkan AS kepada Jepang berhasil memporak-porandakan Hiroshima dan Nagasaki. Fenomena sejarah tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya Christopher Nolan, yaitu Oppenheimer. Dalam film Oppenheimer, muncul scene dimana Kota Kyoto masuk ke dalam nominasi titik sasaran bom atom dijatuhkan namun akhirnya dihapuskan. Ada yang tau kenapa?

Yap! Di film tersebut dijelaskan secara gamblang sebabnya karena Kyoto memiliki nilai historis dan budaya yang penting. Nah, jangan sampai karena dianggap tidak memiliki nilai sejarah dan budaya yang berkesan, kawasan bersejarah kalian masuk ke dalam list sasaran bom atom milik Opa Oppenheimer nantinya ya! :D

Jepang memiliki Kyoto dan Indonesia memiliki Solo. Karena di Solo juga terdapat salah satu kawasan yang memiliki nilai historis dan budaya penting, yaitu Kampung Batik Laweyan (KBL). Sayangnya, kawasan tersebut kini dilanda krisis identitas dan membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak termasuk Urbaners.

Tugu Laweyan, konon titik pasar perdagangan batik pertama di Laweyan. Sumber: Irfan Al Mujaddidi

‘Kampung Batik Laweyan’ cum Historia

Kampung Laweyan sudah ada sebelum abad 15 M, jauh sebelum Kota Solo lahir [4]. Pada masa itu, kampung tersebut menjadi pusat perdagangan dan penjualan bahan sandang (lawe) Kerajaan Pajang yang ramai dan strategis [3]. Semasa Kerajaan Pajang tahun 1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun. Alih-alih demikian, Batik Laweyan baru dikenal pada masa Kerajaan Kasunanan Surakarta dan mengalami masa jayanya pada tahun 1960. Batik yang diproduksi di Laweyan adalah jenis batik tulis dengan corak yang lebih beragam dibandingkan kain batik produksi Kampung Kauman. Corak yang lebih beragam pada batik produksi Kampung Laweyan ini dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi kaum priyayi yang tinggal di Kampung Batik Laweyan (KBL).

Perdagangan Batik di Laweyan. Sumber: https://www.tribunnewswiki.com/2019/07/09/kampung-wisata-batik-kauman-dan-laweyan-beda-atau-sama

Produksi batik di Laweyan sendiri baru dimulai pada abad 15 M, saat pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) di Keraton Pajang yang mencapai masa kejayaannya sekitar tahun 1900-an ketika Sarekat Dagang Islam (SDI) berdiri. Pada masa itu, mulai muncul teknik membatik dengan menggunakan cap sehingga harga produksi dapat ditekan dan waktu untuk memproduksi kain batik dapat dipersingkat. Namun pada masa 1970–2000 an mulai marak teknik baru yang disebut batik printing. Batik printing dapat membuat tekstil bermotif batik pada kain tanpa menggunakan lilin panas, tidak seperti pada teknik batik cap dan batik tulis. Hal tersebut menyebabkan kemerosotan pamor dan mengakhiri sebagian besar rumah produksi batik tulis dan batik cap di Laweyan.

Selain sebagai kawasan produksi batik tulis dan batik cap, ciri khas lain kawasan KBL yang tidak dimiliki kawasan lain di Solo bahkan di Indonesia adalah bentuk bangunan yang menyerupai rumah khas bangsawan Jawa. Rumah khas bangsawan Jawa disana ditandai dengan adanya pendopo, ndalem, sentong, gandok, paviliun, pabrik, beteng, regol, dan halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan namun dengan kombinasi atap limasan bukan atap joglo seperti pada rumah bangsawan, karena sebagian besar masyarakat Laweyan merupakan saudagar. Namun pada perkembangannya, corak bangunan di Laweyan lebih banyak dipengaruhi oleh gaya Indische (Indo-Eropa) dan model ‘gedong‘ dengan fasad sederhana berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi, dengan lantai keramik yang bermotif karpet khas ‘Timur Tengah’ pada masa penjajahan Belanda di Indonesia [3].

Corak Bangunan di KBL berdinding tinggi mengelilingi bangunan. Sumber: Irfan Al Mujaddidi

Bentuk bangunan seperti itulah yang menciptakan ciri khas kawasan KBL dengan rumah-rumah jawa bergayakan eropa dan cina dengan gang-gang kecil berbentengkan dinding tinggi yang dapat kita lihat dan rasakan hingga sekarang.

Citra Kota dalam Ruang Privat Kampung Batik Laweyan

Kalau Urbaners mengikuti seri ‘Urbs, Tempus et Fabula: part 1 “A City Without Old Building is like a Man Without Memory” Urban Reason episode kemarin, Urbaners akan paham tentang konsep dan pengaplikasian Citra Kota serta punya ide faktor apa aja yang dapat membentuk Citra di suatu kawasan. Ada 2 faktor penting yang harus dipenuhi yaitu legibility dan imageability. 2 faktor tersebut dapat muncul melalui aspek fisik dan non fisik dari suatu kawasan. Catra Adi (2019) dalam “Arahan Pengembangan Identitas Ruang pada Kawasan Kampung Batik Laweyan Solo” merinci elemen-elemen pembentuk Citra di kawasan KBL yang terbagi menjadi 7 aspek fisik dan 2 aspek non fisik, yaitu:

Aspek Fisik:

1. Bangunan Fisik

Bangunan fisik merupakan kunci utama untuk menghidupkan kembali Kampung Batik Laweyan, dimana bangunan dibagi menjadi dua tipe yaitu bangunan priyayi dan bangunan pekerja.

Dari kiri ke kanan: Rumah Priyayi/Saudagar Batik di KBL dan Rumah Pekerja Batik di KBL. Sumber: [1] dan [2] diilustrasikan oleh Cornelius Catra

2. Sirkulasi

Sirkulasi merupakan alur keluar masuk dan pergerakan barang, manusia, dan moda di dalam kawasan, sirkulasi ini memerlukan perencanaan detail untuk menjaga bentuk kawasan KBL.

3. Massa

Massa merupakan kriteria yang penting, karena ciri khas dari KBL sendiri adalah bangunan yang memiliki maksimal 2 lantai yang berada di jalur utama kawasan dan rata-rata 1 lantai untuk bangunan di sekitar sungai.

4. Ruang

Ruang merupakan kriteria yang penting karena ciri dari KBL yang memiliki kepadatan tinggi sehingga penting untuk mengatur bagaimana jalan bisa menjadi ruang publik untuk kepentingan bersama.

Peta persebaran ruang dan massa di KBL. Sumber: Cornelius Catra

5. Path

Elemen yang membangun identitas kawasan Kampung Batik Laweyan dapat berupa koridor, jalan, gang, vegetasi yang memunculkan kesan kawasan tersebut.

Elemen Path pada KBL kiri ke kanan: Jalan Utama (Perdagangan), Vegetasi pepohonan dan Jalan Utama, dan Gang-gang sempit. Sumber: Irfan Al Mujaddidi

6. Edge

Elemen yang berpengaruh untuk membentuk batasan antara rumah priyayi dan rumah pekerja pada saat itu dan memisahkan Kampung Batik Laweyan dengan kampung lainnya, serta batasan sebenarnya Kampung Laweyan yang hanya sebatas kelurahan Laweyan yang berbatasan dengan sungai.

Peta deliniasi KBL yang merupakan Kelurahan Laweyan. Sumber: [2]

7. District

Kawasan Kampung Batik Laweyan terbagi menjadi 3 bagian kawasan, yaitu bagian utara yang sudah berubah total, bagian jalan utama kawasan yang masih terasa citranya dengan ciri rumah priyayi Jawa dan bagian selatan yang memiliki kepadatan yang tinggi dengan model rumah pekerja batik.

Peta persebaran 2 distrik tipe bangunan permukiman saudagar/tipe priyayi dan pekerja/tipe kampung. Sumber: [2]

Aspek Non Fisik:

1. Budaya Batik

Budaya batik adalah kesenian batik meliputi segala proses penciptaan, pengerjaan, pemasaran hingga pemanfaatannya. Batik dijadikan sebagai warisan budaya yang dijaga dan dilestarikan juga sebagai icon/landmark Kota Solo juga tentunya dalam KBL.

2. Nilai norma turun-temurun

Merupakan perilaku ekonomi dan sosial yang diturunkan dari zaman dulu hingga sekarang, termasuk dengan regenerasi dari kebudayaan batik dan juga nilai-nilai sejarah yang ada.

Ciri khas bangunan dan efek yang terpengaruh oleh adanya bangunan yang ada di dalam KBL tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk Citra di KBL. Citra ini bersifat privat karena faktor-faktor pembentuk Citra di KBL berasal dari lingkup privat bangunan-bangunan milik saudagar/priyayi. Akibatnya keberlangsungan dan eksistensi Citra KBL ini bergantung pada keputusan para pemilik lahan privat di KBL dalam mengembangkan lahan privat mereka. Maka dari itu pemerintah kota Solo harus mempersiapkan solusi terhadap tantangan dengan menyusun dan membentuk regulasi (master plan) terkait insentif dan disinsentif zonasi di KBL, dengan memperhatikan peran pemilik lahan atau bangunan agar ciri kekhasan KBL yang telah lama dibangun ini jangan sampai hilang.

kalau Urbaners masih penasaran dengan apa itu Citra Kota, coba cek artikel Urb, Tempus et Fabula: part 1 “A City Without Old Building is like a Man Without Memory”

Kampung Batik Laweyan Nasibmu Kini

Dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2016–2026 Kota Surakarta, KBL termasuk sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata. Kawasan pariwisata yang menitikberatkan pada aspek wisata belanja dan wisata budaya, dimana wisatawan dapat mengetahui proses pembuatan batik, sekaligus mengetahui model, bentuk dan langgam rumah pedagang batik dengan ciri khas dan ornamen tertentu. Oleh sebab itu, pelestarian bangunan baik yang sudah memiliki label benda cagar budaya maupun belum, wajib dipertahankan bentuk dan keaslian bangunan maupun kawasannya.

Walaupun KBL telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.03/PW.007/MKP/2010 yang masih berlaku hingga sekarang dan masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2016–2026 No. 13 Tahun 2016, perkembangan KBL masih jauh dari sempurna. Selain kurang optimalnya pengembangan potensi KBL, modern ini bangunan-bangunan yang ada di KBL mulai meninggalkan ciri khasnya dan berubah menjadi bentuk bangunan ‘modern’ baru yang telah meninggalkan kekhasan tembok tingginya dan gaya indischenya dimana para pemilik lahan atau bangunan mulai membangun bentuk-bentuk bangunan yang tidak berirama dengan bangunan di sekitarnya. Terlebih lagi para pemilik toko batik yang membuka showroom/ruang pamer dan menjual kain mereka di rumah pribadi, tidak sedikit yang merubah fasad hingga bentuk bangunan untuk mengakomodir pemasaran dan penjualan batik.

Salah satu bangunan ‘modern’ yang janggal di kawasan KBL. Sumber Cornelius Catra

Sekali lagi, hal tersebut dapat terjadi karena belum ada aturan dan perencanaan yang mengendalikan pertumbuhan dan pengembangan bangunan, sehingga munculah bangunan-bangunan yang berbeda dari ‘langgam’nya. Hal ini sangat disayangkan melihat potensi yang dimiliki oleh KBL sendiri sangatlah menarik dimana bangunan indische bertembok tinggi ini tidak dapat ditemui di daerah lain di Indonesia selain di Solo, sehingga pemerintah perlu membuat peraturan-peraturan dan perencanaan guna mengontrol pembangunan serta memberikan insentif dan disinsentif terhadap masyarakat dan bangunan yang ada di kawasan KBL.

Contoh miris lainnya seperti pembangunan Hotel Solia Zigna yang baru di tengah pemukiman KBL, bangunan hotel yang menjulang dan nir akan ciri khas gaya indische ini memberikan efek ‘landmark’ baru yang tidak menunjukan ciri kekhasan KBL. Jika Anda ditempatkan di kawasan dimana maksimal tinggi lantai bangunan hanya 2 lantai saja, maka Anda akan merasa janggal melihat landskap yang terbentuk akibat bangunan hotel yang menjulang tinggi tersebut. Bangunan tinggi itu seakan-akan meredupkan kawasan di sekitarnya dan mengalihkan pandangan pengguna jalan yang melewati KBL.

Dari kiri ke kanan: Landskap kawasan KBL sebelum dan setelah munculnya menara Hotel Solia Zigna. Sumber: Cornelius Catra & Irfan Al Mujaddidi

Jika hal-hal tersebut mulai populer dan tidak terkendali, entah bagaimana nantinya bentuk dan jati diri KBL yang sudah lama berdiri ini, apakah nantinya semua akan berubah mengikuti zaman dan kelak KBL hanya dikenal sebagai sentra penghasil batik saja? Tidak bisakah satu kawasan terhenti di waktunya hingga kelak anak cucu kita dapat melihat keindahan hasil karya nenek moyangnya yang gagah dan tidak luntur termakan zaman?

Sebenarnya kekayaan budaya dan ragam arsitektur di kawasan KBL yang tidak dimiliki kota/kabupaten lain akan menjadi pusat tarikan wisata baru yang menarik, sehingga KBL dapat menjadi wajah baru destinasi wisata Solo demi mendukung visi dan misi kota Solo sebagai pusat kebudayaan di Jawa Tengah, jika didukung oleh peraturan dan perencanaan yang tepat. Pada akhirnya, Pemerintah kota Solo punya tugas ekstra untuk perlu memperhatikan dengan lebih, potensi yang dimiliki KBL jika ingin tetap relevan dengan tagline kota Solo sebagaithe Spirit of Java’.

In Conclusion

Perkembangan yang terjadi selama ini membuat KBL mulai kehilangan ciri khasnya sebagai Kampung Kota Kuno di Solo, membuat penulis tidak lagi merasakan memori yang sama seperti saat terakhir kali berkunjung kesana. Nilai sejarah dan peninggalan yang berharga pada kawasan KBL seharusnya terekam dalam bangunan dan membuat waktu terasa berhenti namun pada kenyataannya, penulis seperti hilang di tengah perkembangan KBL yang baru. Perkembangannya yang tidak terkontrol dan ketidakpedulian masyarakat untuk melestarikan peninggalan (baca:budaya) fisik dan non fisik di KBL bisa menjadi bom atom yang dapat menghantui identitas KBL.

Semakin sedikit orang yang mengenali ragam peninggalan di KBL, semakin rentan peninggalan tersebut hilang tergempur oleh zaman.

Pengembangan kawasan KBL melalui peraturan khusus dan perencanaan yang detail dapat dilakukan dengan peraturan disinsentif, seperti pembatasan penggunaan pola ruang di KBL, pembatasan Intensitas Massa Bangunan (IMB), pembatasan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), pembatasan bentuk dan fasad bangunan, dan pembatasan sirkulasi di dalam area KBL serta memberikan guideline bentuk bangunan. Selain itu perlu diberlakukan peraturan insentif, seperti bantuan dana untuk peningkatan kualitas rumah demi melestarikan bentuk bangunan yang ada di KBL, keringanan pajak dan kemudahan birokrasi untuk pemilik bangunan yang mengikuti langgam KBL, pemberian bantuan dana dan keringanan pajak usaha untuk UMKM Batik di KBL, bekerjasama dengan Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL) untuk pemasaran batik dan budayanya serta merencanakan event-event berkala demi menarik dan melestarikan budaya batik. Peraturan dan perencanaan tersebut akan menciptakan iklim wisata yang kondusif. Terciptanya iklim wisata tersebut diharapkan memumculkan butterfly effect yang meningkatkan aspek dan taraf kehidupan lainnya, terlebih dalam aspek ekonomi dan sosial masyarakat Kampung Batik Laweyan. Dengan meningkatkan aspek dan taraf kehidupan, masyarakat diharapkan bangga dan merasa memiliki budaya tersebut. Dimana hal tersebut akan menjadi trigger nantinya agar masyarakat mampu menjaga, mengontrol, dan mewariskan budaya tersebut.

Kawasan KBL merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang memiliki keunikan yang sangat istimewa dan tak dapat dijumpai di kawasan lain.

Dengan kondisi kawasan KBL saat ini, lalu bagaimana peran dan sikap pemerintah kota Solo untuk dapat mengembangkan kawasan KBL demi mewujudkan kota yang berbudaya?

Menurut Urbaners, alih-alih dikembangkan dengan mengikuti dan tetap menonjolkan ciri khas kawasan bersejarah, apakah memang sebaiknya kawasan tersebut dikembangkan dan di-branding dengan corak dan bentuk baru yang berbeda?

Written by: Cornelius Catra

Editor: Lala

References

[1] “Rumah Saudagar Batik di Laweyan Surakarta; Bangunan Berarsitektur HYBRID” Widayati P, Naniek. Surya, Rudy. Alvin (2021).

[2] “Arahan Pengembangan Identitas Ruang pada Kawasan Kampung Batik Laweyan Solo”. Wijaya, Catra Adi (2019).

[3] “Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta”. Priyatmono, Alpha Fabela. 2004. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

[4] Mlayadipuro, 1984, Sejarah Kyai Ageng Anis-Kyai Ageng Laweyan, Uripurip (penyunting : Santoso,Suwito) Museum Radya Pustaka Surakarta.

[5] https://www.tribunnewswiki.com/2019/07/09/kampung-wisata-batik-kauman-dan-laweyan-beda-atau-sama

--

--