Cermin Kebersahajaan Seorang Pahlawan

“Menjadi pemimpin haruslah mampu menduga apa yang terasa dalam hati rakyat, menggerakkan apa yang tidak bisa berjalan sendiri, menyuluhi jalan yang masih gelap di mata rakyat, tapi telah terkandung di hatinya.” —Bung Hatta

Firman Firdaus
Visual Herald
3 min readNov 16, 2023

--

Kutipan itulah yang segera muncul dalam benak saya ketika kami bergegas menuju rumah Bung Hatta di Bukittinggi. Ada rasa sentimental kebangsaan yang—pada titik tertentu—terasa ganjil. Mungkin karena pikiran saya disergap oleh bayangan kebersahajaan seorang Hatta, proklamator bangsa, pemimpin yang tidak pernah kehilangan prinsip hidup sebagai anak bangsa.

Rumah itu sederhana saja, meski besar. Bentuknya tidak seperti rumah-rumah tradisional Minangkabau (bagonjong), tetapi beratap limas dengan dua lantai. Saya kagum pada cermatnya proses rekonstruksi, yang membuat saya, pada awalnya, mengira itu rumah aslinya.

Menurut penuturan Dessi Wati, pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang bertugas merawat rumah itu, proses pembangunan dimulai dengan penelitian yang dilakukan pada November 1994 sampai Januari 1995.

“Tujuannya untuk mendapatkan bentuk rumah semirip mungkin dengan aslinya,” kata Dessi, 52 tahun, yang mulai merawat rumah ini sejak 1996. Uniknya, kelengkapan rumah seperti kunci-kunci, gerendel, tiang kuno, diperoleh dari warga sekitar.

Pelaksanaan pembangunan dimulai pada 15 Januari 1995, dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan tanggal kelahiran Bung Hatta. Pembangunan rumah ini menghabiskan 266 meter persegi sasak bambu dari Batusangkar, 525 meter persegi tadir pariang (bilik bambu) yang didatangkan dari Payakumbuh, 75 meter kubik kayu banio tampuruang dari Muara Labuh, 1.600 zak semen, 138 meter kubik batu kali, 25.000 batu bata, dan material pendukung lainnya.

Kayu banio atau surian, di antaranya digunakan untuk membuat kursi sice—semacam kursi tamu dengan sandaran tangan melengkung—yang diletakkan di ruang depan.

Bagian belakang rumah, yang terdiri dari istal, kamar tempat Hatta lahir (Hatta dibesarkan di rumah ini hingga usia 11 tahun), dan ruang bendi masih berarsitektur khas Belanda yang merupakan bangunan asli.

Saya terkesan pada begitu bersih dan rapinya rumah ini. Dessi menjelaskan, proses pemernisan terhadap perabotan dan dinding kayu dilakukan sekali setahun. “Saya yang merawat rumah ini sendiri. Selain karena memang sudah tugas saya, secara pribadi sejak kecil saya memang mengagumi sosok Bung Hatta,” ujar Dessi, dengan suara bergetar dan mata agak menerawang. Basah.

Akan tetapi, pemandangan yang agak mengganggu menurut saya adalah papan pemberitahuan yang dipasang di bawah jendela depan, yang berisi jadwal kunjungan. Sekilas, itu mirip papan nama untuk praktik dokter.

Bagaimanapun, sebagai upaya untuk mengenang dan meneladani kepribadian Bung Hatta, pembangunan rumah ini patutlah dihargai. Apalagi di tengah kenyataan begitu sedikitnya politikus masa kini yang mengikuti jejaknya: berkarya dalam kesederhanaan.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.