Proses revitalisasi songket kuno di studio ErikaRianti.

Filosofi dalam Sehelai Kain

Kecermatan dalam menenun songket di Minangkabau sejalan dengan falsafah hidup masyarakatnya.

Firman Firdaus
Visual Herald
Published in
6 min readNov 23, 2023

--

Faisal, pengemudi kami dalam ekspedisi Lintas Barat Sumatra ternyata menjadi berkah tersendiri. Apa pasal? Ketika sampai saatnya kami tiba di Bukittinggi, kami diperkenalkan kepada temannya, seorang staf kurator di sebuah galeri seni di Bukittinggi. Ichsan namanya.

Pada suatu malam yang cukup riuh di pusat kota Bukittinggi, saya bertanya kepada Ichsan—yang sudah hampir 10 tahun bermukim di sini—di mana saya bisa melihat pengrajin songket yang masih tradisional. “Kalau yang tradisional, bisa dilihat di Pandai Sikek, atau Silungkang,” jawab Ichsan. Tapi, Ichsan menambahkan, dia punya seorang kenalan yang kebetulan sedang bergiat merevitalisasi songket-songket tua yang sudah berusia ratusan tahun. “Mungkin menarik,” katanya. Saya setuju.

Esoknya, lepas mengunjungi Lembah Harau yang memesona di Kabupaten Lima Puluh Koto, kami pun mampir ke studio songket dimaksud. Namanya Studio ErikaRianti, terletak di Nagari Batutaba, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Sehari-hari, studio ini dikelola oleh Nanda Wirawan, seorang alumnus teknik lingkungan, dan suaminya Iswandi yang merupakan seorang seniman lukis.

Di studio, ada enam penenun yang sedang bekerja. Rata-rata berusia muda hingga setengah baya. Salah satu penenun mengamati sebuah foto motif songket yang ditempel di mesin tenunnya yang masih tradisional, lalu matanya beralih ke cetakan pola dari program komputer, kemudian kembali menenun. Kemudian melihat foto lagi, cetakan pola, dan seterusnya berulang-ulang.

Ini proses pembuatan kembali kain songket yang sudah punah. “Proses ini bisa berlangsung berbulan-bulan,” Nanda menerangkan. Wajar. Saya lihat motifnya memang rumit dan tenunannya terlihat amat rapi.

Nanda bercerita, proses revitalisasi songket-songket yang sudah hampir punah yang kini digelutinya bermula dari seorang pria asal Swiss bernama Bernhard Bart. Saya sedikit tersentak. Ya, mendengar bahwa upaya revitalisasi tradisi asli Nusantara dilakukan oleh orang asing sejenak membuat saya sedih.

Di Batutaba, saya gagal bertemu Bernhard. Akan tetapi, saya berkesempatan mewawancarainya sesampainya di Jakarta. “Lebih baik lewat surat elektronik (email), pendengaran saya kurang baik,” ujarnya ketika saya hubungi lewat telepon.

Sebagai seorang arsitek, Bernhard menemukan banyak persamaan antara membuat songket dengan mendirikan bangunan. “Bangunan, seperti halnya songket, sejak awal harus didesain, dikalkulasikan, dan direncanakan secara matang. Kita harus mengenal material, spesifikasi, teknik, dan warna yang berbeda,” katanya. Itulah alasan kenapa Bernhard merasa lebih familiar dengan kain songket ketimbang jenis kain lainnya.

Secara khusus, dirinya menyukai tenunan yang dihiasi motif secara langsung pada waktu menenun, yang ditemukan pada kain songket. Khusus songket lama Minangkabau, motifnya sangat kaya, dan setiap motif mempunyai makna filosofis. “Selain itu—menurut pengamatan saya—songket Minangkabau merupakan songket paling halus di dunia yang dibuat dengan tenunan tangan. Itulah yang membuat saya merasa harus mendalami songket lama Minangkabau,” dia menambahkan.

Banyak ujar-ujar yang mengatakan kecermatan dalam menenun songket di Minangkabau sejalan dengan falsafah hidup masyarakatnya: condong salero ka nan lamak, condong mato ka nan rancak (kecenderungan selera pada yang enak, kecenderungan mata pada yang indah). Mungkin juga hal yang sama tecermin pada ragam masakannya yang menggugah selera.

Karena kecintaannya pada songket, ke mana pun Bernhard pergi—dia juga seorang pejalan—pria berusia 63 tahun ini selalu menyempatkan untuk mengunjungi museum-museum yang diduganya menyimpan koleksi kain-kain songket tua. Iran, India, Thailand, Laos, Kamboja, China, adalah negara-negara yang pernah dijelajahinya sampai akhirnya sampai di Nusantara, antara lain ke Kalimantan, Tanimbar di Maluku Utara, kemudian tiba di Minangkabau, Sumatra Barat.

Di Minangkabau, Bernhard terpukau pada songket Minang dan mulai berburu songket-songket kuno untuk dipelajari. Dia memotret setiap songket tua yang ditemukannya, kerap kali dari museum-museum di luar negeri. Songket Padang Magek yang sudah punah di Tanah Air ditemukannya di Fowler Museum, Los Angeles, AS.

Lebih dari sepuluh tahun—sejak 1999—Bernhard melacak, mendokumentasikan, dan mempelajari songket Minang, sampai akhirnya dia berkesimpulan bahwa telah terjadi penurunan kualitas dari songket lama sampai pada songket masa kini. Sekarang, corak dan motif songket disesuaikan dengan selera pasar, metode pembuatannya pun disederhanakan.

“Perbedaan lain bisa dilihat dalam cara menenun. Khusus untuk songket yang ditenun secara bertabur (scattered pattern), kain songket lama ditenun secara terbalik (sisi belakang di hadapan penenun). Setiap simpul benang motif yang dihasilkan dari motif bertabur terletak di bagian belakang kain, sehingga kualitas hasil tenunan menjadi lebih baik,” Bernhard menjelaskan.

Telah memudarnya tradisi tenun songket lama membuat tekadnya untuk menghidupkan kembali tradisi itu semakin kuat. Dia pun menemukan jalan; bertemu dan berkenalan dengan suami-istri Alda Wimar dan Nina Rianti (orang tua Nanda). Keduanya asli orang Minang dan pencinta songket. Gagasan reproduksi songket lama pun datang dari Nina.

Proses reproduksi dimulai dengan mengurai motif songket yang rumit dari citra foto menjadi piksel-piksel yang lebih sederhana, dengan mempergunakan program komputer. Hasilnya kemudian dicetak. Berdasarkan dua gambar inilah (foto dan printout komputer) para penenun didikan Bernhard bekerja.

Sejak 2002, Bernhard mengajarkan teknik ini kepada beberapa orang penenun dari Kubang (Kab 50 Kota), Koto Gadang, Padang, Payakumbuh, Solok, dan Lunto.

“Karena sulitnya pengontrolan kualitas tenunan, kami memutuskan untuk membuat studio songket, agar proses menenun berlangsung di satu tempat,” Bernhard menambahkan. Sampai saat ini sudah ada sekitar 25 jenis songket yang sudah direproduksi. Songket-songket ini berasal dari daerah Koto Gadang, Padang Magek, Pandai Sikek (lama), Ampek Angkek, Canduang, dan Payakumbuh.

Motif songket Minang dikenal bukan hanya indah, melainkan juga mengandung makna filosofis, sesuai nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. “Sepanjang penelitian saya mengenai tekstil di Nusantara, saya belum menemui pemaknaan filosofis yang berlapis (tersurat, tersirat, dan tersembunyi) pada kain-kain tenunan di Nusantara seperti pada motif songket Minangkabau,” kata Bernhard.

Di daerah-daerah lain, Bernhard menambahkan, biasanya motif merupakan penyimbolan dari peristiwa bersejarah, seremonial, dan hal-hal yang dianggap suci untuk sebuah kaum adat. Ada juga motif yang hanya merupakan ornamen-ornamen yang indah. Dalam sehelai songket Minangkabau, setiap motif mempunyai makna, bukan sekadar ornamen penghias. “Bahkan sebuah garis vertikal saja mempunyai makna yang sangat mendasar (motif batang pinang),” ujar Bernhard lagi.

Masyarakat Minangkabau—yang terkenal dengan sistem matrilineal, konsep otonomi nagari, dan ajaran demokrasinya—“mencatat” setiap ajaran, hukum, dan undang-undang yang berlaku dalam kehidupan mereka ke dalam bentuk simbol (lisan). Bisa jadi karena Minangkabau tidak punya tradisi aksara.

Pemahaman orang Minang terhadap makna yang terkandung dalam motif tersebut akan sama, karena bersumber dari falsafah yang sama, dan falsafah itu lahir dari konvensi (kesepakatan) komunitas. Dengan demikian, pengertian muncul lebih dahulu, selanjutnya simbol dibuat untuk mengabadikan pengertian yang telah disepakati. “Pengertian diikat dengan rupa.”

Motif bada mudiak, misalnya. Makna tersuratnya memperlihatkan sekelompok orang kecil yang berjuang agar tidak terbawa arus. Jika diamati dinamikanya, mengapa ikan-ikan kecil itu harus berjuang mencapai hulu sungai? Sebab, air yang jernih ada di hulu. Inilah makna yang tersirat dari filosofi bada mudiak.

Untuk mendapatkan sumber yang jernih, kita harus kembali ke hulu. Ini karena air yang jernih berasal dari hulu. Untuk menyelesaikan permasalahan kita harus kembali ke pangkal persoalan. Ada makna sufistik yang tersembunyi dari filosofi ini, bahwa untuk mencapai kebenaran haruslah kembali pada sumber yang sebenarnya, yakni kebenaran Sang Pencipta.

Catatan: sangat disayangkan, berkas foto-foto saya terkait studio ErikaRianti gagal saya selamatkan. Hanya tersisa foto-foto di artikel ini.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.