Remah Prasejarah di Tanah Besemah

Tinggalan purbakala yang menjadi simbol budaya luhur masa lalu. Sayang, masih banyak masalah.

Firman Firdaus
Visual Herald
6 min readOct 27, 2023

--

Gunung Dempo menaungi situs megalitik Tegur Wangi, di Kelurahan Tegur Wangi, Kecamatan Dempo Utara, Pagaralam, Sumatra Selatan.

Kicau burung dan harum hutan membantu mengembalikan kesadaran saya dari lelap di dalam mobil. Meski begitu, sisa anggota tim masih dibuai mimpi.

Ya, perjalanan dari Lampung menuju Pagaralam lewat Manna memang begitu meletihkan, sehingga memaksa kami bermalam di dalam mobil, di tengah hutan antah-berantah.

Begitu sinar matahari mulai menghangat, satu per satu rekan perjalanan mulai terbangun. Rekan fotografer pun segera mengabadikan sudut-sudut pagi yang cahayanya masih lembut.

Sungai Tanjung Sakti, Desa Sindang Panjang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan.

Usai menyesap teh panas dan menikmati legitnya pisang goreng di sisi Sungai Tanjung Sakti di Desa Sindang Panjang, Kabupaten Lahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Pagaralam, Sumatra Selatan. Tim riset menyebutkan di Pagaralam ada beberapa situs megalitik yang layak tengok.

Kurang lebih setengah jam kemudian kami tiba di Situs Megalitik Tegur Wangi, di Kelurahan Tegur Wangi, Kecamatan Dempo Utara, Pagaralam, berada tepat di pinggir jalan antara Tanjung Sakti dan Kota Pagaralam. Setiap pelintas bisa melihatnya langsung dari jalan. Puncak Gunung Dempo menjulang angkuh di kejauhan.

Situs ini hanya berbataskan pagar sederhana dan gapura kecil tak berpintu bertuliskan “Lokasi Wisata Tegur Wangi” di bagian atasnya. Di sisi belakang, situs berbataskan sungai dengan lebar sekitar dua meter.

Gugus-gugus batu tersusun, agak tenggelam, di antara hamparan tanaman sawi nan menghijau. Seorang peladang terlihat sedang memotongi pangkal sawi, menghimpun panenan. “Siapa yang menunggui situs ini?” tanya saya. “Tidak tahu. Setahu saya tidak ada,” jawabnya.

Area situs dengan luas sekitar dua kali luas lapangan sepak bola ini terbilang komplit. Selain gugusan bongkah batuan dengan besar diameter bervariasi, antara 50 sentimeter hingga 150 sentimeter yang tersebar di sepanjang area kompleks, juga ditemukan empat patung manusia, rumah kubur batu, dolmen (semacam meja batu besar) lengkap dengan penyangga atau kaki berupa batu-batu kecil.

Di dekat jalan masuk setapak yang sudah disemen, ditemukan sebuah “tangga” menuju ruang bawah tanah purba. Sayangnya, ruang tersebut tenggelam oleh genangan air sehingga saya tidak dapat melihat lebih jauh.

Di sisi sebelah kiri dari pintu masuk ditemukan sebuah pondok yang dibuat untuk menaungi empat arca manusia di bawahnya. Posisi keempat arca itu disusun berjajar. Bentuknya tidak seperti manusia modern yang kita tahu: kepala dan hidung bulat besar, mata melotot. Dengan tinggi cuma sekitar satu meter, keempat patung itu terlihat seperti sekelompok manusia cebol bertubuh gendut.

Selain gugusan batu, dan patung manusia, juga ditemukan bilik batu yang tersusun atas dinding berupa lempeng batu tebal, dan atap yang juga terbuat dari batu sejenis.

Menjelang siang, penelusuran kami berlanjut ke kompleks situs lainnya: Batu Belumai, sekitar 15 menit perjalanan dari Tegur Wangi. Di kawasan ini ada beberapa situs yang terpisah meski tidak jauh, seperti situs Batugajah berupa bongkahan batu lonjong yang dipahat seperti bentuk gajah. Namun, karena keterbatasan waktu, yang akhirnya kami pilih untuk dikunjungi adalah kubur batu dan arca manusia.

Lokasinya tidak terletak di jalan utama. Selain itu, jalan setapak menuju situs juga tertutup kebun kopi. Jadi, pasang mata baik-baik saat mencarinya. Atau, tanya saja penduduk setempat.

Pagaralam dari kaki Gunung Dempo.

Situs yang terlihat bersahaja ini terdiri dari lubang batu persegi — beberapa peneliti beranggapan ini kubur batu purba — dengan kedalaman sekitar 1,5 meter, berbentuk seperti tempat perlindungan, ditutupi dengan lempengan batu setebal 20 cm di atasnya.

Di belakang lubang batu inilah letak arca manusia, yang diperkirakan berusia 3.000–4.000 tahun. Sekilas, bentuk wajah dan badannya mirip dengan arca yang ditemukan di kompleks Tegur Wangi. Di sekitarnya disimpan lesung batu dan pernak-perniknya, yang juga ditemukan bersamaan dengan temuan arca manusia.

Sudarman, “penjaga” situs ini, mengatakan tidak tahu persis apa kisah di balik patung dan lesung batu itu. “Mungkin sebagai petunjuk bahwa manusia kala itu sudah mulai mengolah makanan,” ujar pria berusia 44 tahun yang menghibahkan tanahnya yang seluas 4 x 6 meter itu untuk konservasi situs.

Saat senja mulai beringsut, dan hujan rebas-rebas perlahan mendedas kami pun bersicepat menuju satu lagi lokasi situs megalitik: situs Tanjung Aro, di Puripan Babas, Pagaralam Utara. Di situs Tanjung Aro, yang ditemukan oleh arkeolog Belanda Van der Hoop pada 1931, bisa temukan arca orang dililit ular, batu topi, dan rumah batu atau kubur batu.

Patung orang dililit ular dan batu topi berada di tengah areal persawahan warga, sementara rumah/kubur batu berada di tengah-tengah permukiman warga, sebelah kanan dari pintu masuk.

Di area sawah tempat patung orang dililit ular juga terdapat gugusan bongkahan batu yang tersebar di area seluas sekitar satu lapangan sepak bola. Namun, ukuran batunya tidak sebesar yang ditemukan di Sekala Brak dan Tegur Wangi.

Menurut penuturan Enli Betaria, perempuan berusia 21 tahun yang menggantikan ayahnya menjadi juru pelihara situs, masih ada masyarakat yang meyakini batu orang dililit ular itu adalah kutukan dari Si Pahit Lidah. “Ceritanya, ada sepasang kekasih yang hubungannya tidak direstui adat, tapi mereka tetap menjalani hubungan sampai akhirnya turunlah kutukan itu,” kata Enli sambil mengulum senyum.

Simbol budaya luhur

Pagaralam dan tetangganya, Kabupaten Lahat, memang dikenal sebagai tempat di Indonesia yang kaya akan tinggalan purbakala, utamanya kebudayaan megalitik. Belum lama ini, sedikitnya 15 kuburan batu telah ditemukan di tempat ini, tersebar di lima kecamatan.

Situs-situs megalitik di daratan tinggi Besemah (sebutan wilayah ini) meliputi daerah yang luasnya sekitar 80 kilometer persegi. Situs-situs megalitik tersebut tersebar di dataran tinggi, puncak gunung, lereng, dan lembah. Pada umumnya, situs-situs megalitik berada di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Para peneliti menduga, bahan baku batuan untuk membuat benda megalitik berasal dari letusan gunung api Dempo.

Orang pertama yang membahas tentang bangunan megalitik dan arca-arca megalitik di Besemah adalah L. Ullmann, yang pada 1850 menulis artikel Hindoe-belden in de binnenlanden van Palembang. Van der Hoop kemudian memulai penelitian tentang latar belakang tinggalan batu besar Besemah, yang pada 1932 menghasilkan sebuah buku berjudul Megalithic Remains in South Sumatra. Berdasarkan penelitian-penelitian itu, arkeolog dari Puslitbang Arkenas di Jakarta dan Balai Arkeologi Palembang memulai penelitian lanjutan.

Anak-anak bermain di situs rumah batu, Tanjung Aro.

“Tinggalan masa prasejarah Pagaralam menunjukkan bahwa pada ribuan tahun yang lalu daerah ini telah dihuni oleh masyarakat yang maju karena memiliki budaya dan peradaban luhur,” tulis Haris Sukendar, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Menurut Haris, tidak semua daerah memiliki tinggalan seperti yang ditemukan di Pagaralam.

“Budaya yang dibawa oleh bangsa Melanosoid (nenek moyang bangsa Indonesia) yang datang pada masa neloik (bercocok tanam) maupun paleometalik (masa logam awal) memberikan sumbangan pada kemajemukan hasil tradisi megalitik.” Haris juga menemukan bahwa tradisi megalitik Pagaralam tersebar hingga ke Lampung dan Batang (Jawa Tengah).

Sayangnya, temuan-temuan arkeologi yang begitu kaya di Pagaralam belum dioptimalkan fungsinya sebagai objek pariwisata. Setidaknya itu yang saya lihat dan rasakan saat mengunjungi lokasi tiga situs di Pagaralam: minimnya sarana dan prasarana, kurangnya perawatan, dan terutama lemahnya sosialisasi kepada warga sekitar situs. Hal lain yang juga dilematis adalah perihal pengelolaan kawasan.

Menurut Bambang Gunawan, staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pagaralam, tanah di beberapa situs memang belum dibebaskan dan masih milik masyarakat adat. “Masalah tanah itu pula yang menghinggapi sebagian besar situs bersejarah di Pagaralam,” katanya.

Padahal, banyak negara di dunia yang menjadikan tinggalan arkeologi sebagai tujuan wisata, seperti Mesir, China, India, dan Kamboja. Jika menilik syarat kelayakan objek wisata seperti keunikan, keanehan, kelangkaan, kemegahan, dan sebagainya, menurut saya Pagaralam memenuhi semua kriteria tersebut.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.