Penat pun Luluh di Danau Gunung Tujuh

Danau meleburkan laksmi dan kesendirian. —Dale Morgan

Firman Firdaus
Visual Herald
4 min readOct 31, 2023

--

Teringatlah saya akan kutipan tersebut kala menginjakkan kaki di Danau Gunung Tujuh: tempat berpadunya keindahan dan kesunyian.

Sandal pun saya buka, celana saya gulung, dan kedua kaki saya ceburkan dalam jernihnya air danau nan dingin. Suara debur, akibat bersatunya air danau dengan aliran Sungai Sangir yang menuju kaki gunung, melengkapi keelokan surga tersembunyi ini. Keletihan setelah mendaki gunung setinggi 1.996 meter itu pupus sudah.

Badan ini saya manjakan dengan rebahan di atas batu besar di pinggir danau. Dengan mata terpejam, saya embuskan napas sembari mengingat betapa murah hatinya Sang Maha Pencipta yang menyodorkan alam yang begitu indah ini, secara cuma-cuma.

Di tepi-tepi cakrawala, puncak-puncak gunung yang berjumlah tujuh buah terpahat secara sempurna—sebagian tersaput halimun. Gerimis yang jatuh hari itu sama sekali tidak mampu menghapus pesona danau yang begitu tenang. Seluruh anggota tim pun seperti tersihir oleh panoramanya: seruan waaaawww! terlontar spontan.

Para peladang kentang (foto ini dan atas).

Danau Gunung Tujuh, sesuai namanya, terletak di atas Gunung Tujuh yang berlokasi di Desa Pelompek, Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, sekitar 56 kilometer dari Kota Sungai Penuh. Berhubung kami menginap di Kersik Tuo, lokasi Gunung Tujuh kami tempuh dalam waktu tidak sampai setengah jam.

Awalnya, jujur saja, dalam ekspedisi Lintas Barat Sumatra ini, kami masukkan Danau Gunung Tujuh dalam daftar lokasi yang masih tentatif, alias sebagai tujuan cadangan. Pasalnya, menurut penuturan beberapa rekan yang pernah mengunjunginya, untuk mendakinya saja butuh waktu sekitar 2 sampai 3 jam. Setelah berhitung waktu, setidaknya butuh 6–7 jam sampai turun kembali. “Itu sama dengan setengah hari penuh, sementara agenda perjalanan begitu padat,” kata salah seorang awak tim.

Akan tetapi, bujukan dari beberapa rekan di Sungai Penuh, termasuk dari para staf Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), telah meluluhkan hati kami.

Ladang kentang di kaki Gunung Tujuh.

Sabtu, 1 Mei 2010, niat itu pun kami tunaikan. Giyono, lelaki pendiam yang merupakan staf lapangan TNKS menjadi pemandu kami. “Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan saja ya, Mas,” katanya selepas kami berkemas di Pos Resort Gunung Tujuh.

Meski beberapa titik di kaki gunung sudah dirambah oleh para petani kentang, kondisi hutan hujan di Gunung Tujuh, yang menjadi bagian dari TNKS, secara umum relatif perawan. Pohon-pohon besar seperti medang, embun, dan gelam masih banyak dijumpai. Tidak saya temukan pula jejak-jejak pembalakan di jalur pendakian.

Sepanjang perjalanan mendaki, kicauan burung punai, murai batu, jalak, dan tagur terdengar bersahutan, seperti ingin meyakini kami bahwa mereka masih ada. “Kalau beruntung, rangkong juga bisa dilihat di sini,” kata Giyono. Tampaknya kami tidak seberuntung itu.

Ikan Danau Gunung Tujuh, dibawa oleh seorang nelayan yang menghampiri kami (foto atas).

Gunung Tujuh, yang dulunya bernama Gunung Sakti, juga menyimpan mitos. Masih ada warga yang percaya bahwa danau tersebut dijaga dan dihuni dua makhluk halus menyerupai manusia, yang dikawal oleh beberapa pengikut setia yang menyerupai harimau. Tentu saja, mitos tidak perlu dianggap serius. Akan tetapi, suasana yang menggetarkan di hutan Gunung Tujuh memang benar adanya. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Satu hal yang saya sesalkan adalah masih kurangnya kesadaran pengunjung akan kebersihan di tepi danau. Masih banyak dijumpai sampah bekas makanan atau minuman di sana-sini. “Sulit bagi kami untuk mengontrol semua pengunjung, karena keterbatasan tenaga,” Giyono menjelaskan.

Bagaimanapun, kami sama sekali tidak menyesal telah mendaki gunung ini, dan merasakan ketenteraman yang kian langka di Ibu Kota.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.