Sawahlunto: Ada Kejutan di Setiap Kelokan

Dalam kunjungan yang singkat, kesan yang didapat terasa begitu kuat.

Firman Firdaus
Visual Herald
6 min readNov 12, 2023

--

Jujur saja, sebelum berkesempatan mengunjungi Sawahlunto, tidak banyak yang saya ketahui tentang kota yang satu ini selain fakta sejarah bahwa tempat ini merupakan desa kelahiran pahlawan nasional yang saya kagumi, Agus Salim.

Keputusan tim ekspedisi Lintas Barat Sumatra untuk memasukkan Sawahlunto ke dalam daftar tempat yang harus dikunjungi adalah semata-mata untuk melihat Lubang Tambang (Lubang Suro) yang begitu tenar, karena salah satu sasaran dari kegiatan ini adalah mendokumentasikan tinggalan-tinggalan budaya dan sejarah di sepanjang lintas barat Sumatra. Selain, tentu saja, Sawahlunto menjadi titik persinggahan yang kami lewati untuk menuju Bukittinggi, kemudian Bonjol, guna bertemu dengan rekan-rekan dari Tim B yang datang dari Utara (Banda Aceh).

Kesan bahwa kami akan memasuki kota yang indah mulai terasa menjelang area perbatasan antara Solok dan Sawahlunto. Jalan yang mulus, meski berliku, dan pepohonan tinggi di kiri-kanan menyambut kami seakan ingin menegaskan bahwa ini kawasan yang masih terjaga.

Bebukitan nan hijau di ujung-ujung horizon dengan latar belakang langit yang biru menambah optimisme kami. Puji syukur cuaca saat itu cerah, padahal dalam perjalanan sebelumnya rinai gerimis bahkan hujan lebat kerap menemani.

Benar saja. Di Sawahlunto, tepatnya di alun-alun di sebelah timur kota, kami disuguhi tata kota yang begitu apik. Jalan-jalan dengan topologi yang tidak melulu landai yang pada akhirnya membuat bangunan dan rumah-rumah penduduk seperti menyembul-nyembul di perbukitan membuat kota ini sama sekali tidak terasa membosankan.

Kita seperti disuguhi sesuatu yang baru dalam setiap kelokan jalannya. Dalam hati, saya sempat bergumam, “saya bersedia menghabiskan masa pensiun di sini.”

Di sudut-sudut kota, terlihat bangunan peninggalan Belanda yang masih begitu anggun dan kokoh, sebagian besar sudah berubah fungsi sesuai perkembangan zaman. Salah satu yang terbesar adalah kantor perusahaan pertambangan batu bara PT Bukit Asam (dulu dikenal dengan PT Ombilin).

Sebuah kolam dengan diameter sekitar enam meter di depan Gedung Pusat Kebudayaan di Jl. Ahmad Yani, Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar, serta Hotel Ombilin — dibangun pada 1918 — yang juga berarsitektur Eropa lengkap dengan “gazebo” yang berfungsi sebagai beranda, semakin menguatkan kesan “amat Eropa”, jika tidak bisa dibilang “sangat kolonial”.

Mengingat waktu semakin bergegas, kami pun segera mengunjungi tujuan utama kami: Lubang Tambang Mbah Suro. Hasil bertanya sana-sini mengantar kami ke Infobox, pusat informasi wisata Sawahlunto yang letaknya di Jalan Muhammad Yazid, Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang Lembah Segar.

Di Infobox dipamerkan foto-foto tinggalan sejarah Sawahlunto karya fotografer terkenal seperti Oscar Motuloh dan Jay Subijakto, yang disebar di dinding-dinding lantai dasar. Di lantai dua akan ditemukan koleksi foto yang lebih lengkap, dengan setting layaknya sebuah galeri fotografi dengan tata cahaya yang apik.

Meski Infobox sendiri adalah bangunan yang relatif baru, di lokasi ini pada 1947 pernah berdiri Gedung Pertemuan Buruh. Di gedung ini berbagai aktivitas karyawan dan buruh perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin diselenggarakan, mulai dari pertemuan rutin, hingga acara hiburan yang biasanya diadakan setelah masa gajian. Wayang kulit, wayang orang, dan layar tancap merupakan pelepas penat bagi para pekerja tambang setelah bekerja seharian.

Pada 1965, nama Gedung Pertemuan Buruh berubah menjadi Gedung Pertemuan Karyawan. Lima tahun kemudian, seiring kebutuhan permukiman bagi para karyawan tambang bangunan ini pun dialihfungsikan menjadi perumahan karyawan dan akhirnya menjadi hunian masyarakat umum hingga akhir tahun 2007.

Di Infobox, kami berjumpa dengan Willi Zon. Pria berusia 52 tahun yang akrab dipanggil Pak Win inilah yang biasa mengantar para pengunjung yang ingin menelusuri Lubang Mbah Suro. Untuk masuk lubang tambang, kami mesti mengenakan helm dan sepatu khusus layaknya pekerja tambang. Awalnya saya sempat merasa “konyol”, tetapi setelah mendapat pengarahan dari Pak Win bahwa di lubang tambang apa pun bisa terjadi, saya pun sedikit gentar.

Sebelum memulai penelusuran, Pak Win membuka kunci gerbang besi yang dipasang pada mulut gua. Sejurus kemudian mantan operator crane pada tambang batu bara PT Ombilin ini memejamkan matanya, lalu mulai berkomat-kamit. Kedua tangannya disampirkan dengan khidmat. Sempat bergidik saya dibuatnya. “Apa itu tadi pak?” saya bertanya. “Kita akan memasuki ‘rumah’ orang lain, jadi kita mesti menghormatinya,” ujar Pak Win begitu selesai berdoa. Kami pun mulai masuk.

Udara pengap langsung hinggap di dalam lubang gua berukuran sekitar 1,5 meter (lebar) x 1,8 meter (tinggi). Untung ada angin yang disemprotkan melalui pipa-pipa yang dipasang di sisi dinding gua.

Menurut Pak Win, selain untuk membuat udara di gua lebih sejuk, angin tersebut juga untuk mengusir gas metana yang meruap dari celah-celah dinding gua yang kaya akan kandungan batu bara. “Ini batu bara ‘seluruh’,” ucap Pak Win. Maksudnya, jika Anda papas bagian mana pun dari dinding gua, hampir dipastikan akan ditemukan batu bara.

Untuk masuk ke dalam, kami mesti menuruni anak tangga dengan kemiringan 47 derajat. Anak tangga di level pertama berjarak 30 meter dari mulut lubang. Untuk turun lebih jauh lagi ke level dua, jarak tempuhnya 60 meter. “Total jarak tempuh 186 meter, termasuk persimpangan ke kanan antara level 1 dan 2,” Pak Win menjelaskan.

Sebenarnya tidak terlalu panjang jarak tempuh wisata tambang ini, namun melihat bagaimana Pak Win menjelaskan tiap bagian dengan begitu semangat—kerap kali dengan bumbu-bumbu mistis dan klenis—membuat kunjungan ke lubang tambang ini memiliki kesan tersendiri.

Akan tetapi, lubang tambang hanyalah salah satu objek wisata sejarah di Sawahlunto. Tidak jauh dari situ ada Museum Goedang Ransoem, dan, tentu saja, Museum Kereta Api. Di sisa sore hari itu, kami sempatkan untuk melihat-lihat keduanya.

Masih dengan kontruksi arsitektur Belanda, museum Goedang Ransoem dulunya memang menjadi dapur umum tempat menyuplai makanan bagi para pekerja tambang dan pasien rumah sakit. Di dalamnya masih tersimpan peralatan masak raksasa seperti periuk berdiameter 1,48 meter dengan tinggi hingga 70 cm berusia lebih dari 100 tahun untuk menyediakan makan dalam skala besar.

Di bagian belakang berdiri power stoom, semacam tungku raksasa berangka tahun 1894. Sebelum mulai berkeliling, saya sempatkan menonton tayangan video dokumenter yang disajikan petugas museum di sebuah teater mini yang letaknya di Bangunan Utama, untuk mendapatkan gambaran umum tentang museum itu.

Kunjungan di Sawahlunto kami tandaskan dengan mendatangi Museum Kereta Api. Saat itu sudah tutup. Maklum, kami ke sana menjelang senja beranjak. Mak Itam, kereta wisata bersejarah kesayangan masyarakat Sawahlunto terparkir dalam “rumahnya”. Tidak apa. Toh, saya sudah berjanji dalam hati bahwa saya akan kembali lagi ke sini. Entah kapan.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.